• rss

Ketupat Idulfitri

arsip kula|Sabtu, 18 Agustus 2012|00.20
fb tweet g+
Ketupat Idulfitri
Tanpa terasa saya bersama archive69/arsip kula, memasuki tahun ketiga berjumpa dengan hari kemenangan umat muslim. Idul Firtri tahun lalu saya mengarsipkan Kupat (ngaku lepat) Lebaran. Lebaran tahun ini pun saya mencoba mengarsipkan kembali sebuah esai yang ditulis oleh Asep Salahudin, dosen di IALM Suryalaya dan UIN Bandung, yang berjudul Ketupat Idulfitri. Diterbitkan koran harian Pikiran Rakyat edisi Kamis (Pahing) 16 Agustus 2012.



Ketupat Idulfitri

Oleh: Asep Salahudin, dosen di IALM Suryalaya dan UIN Bandung

ADALAH Claude Levi-Strauss seorang seorang antropolog berkebangsaan Prancis yang sampai pada sebuah kesimpulan bahwa makanan dapat dijadikan pintu masuk untuk mengungkap geneologi kebudayaan seperti tampak dalam bukunya Myth and Meaning (1978)

Orang menelaah kebudyaan tidak lagi perlu melulu jalur “resmi” semisal tari, pemikiran, lukisan, sastra, kesenian, tapi juga dari jenis dan karakteristik makanannya. Makanan sebagai bagian dari kreasi budaya luhur manusia. Makan menjadi pintu masuk untuk meneguhkan bahwa “aku makan oleh karena itu aku (budaya) ada”.

Ketika Idulfitri dilambangkan dengan ketupat, maka ketupat itu sendiri tidaklah berdiri sendiri. maknanya menjadi berkelindan secara simbolik tidak hanya dengan ritus spiritualitas namun juga dengan situs kultural. Tanda seperti ini telah secara laten disepakati bersama, kita tidak bisa menggantinya secara serampangan (arbitrer). Ketupat digeser misalnya dengan timbel. Akan menjadi terasa ganjil seandainya kita mengirim kartu Lebaran dengan gambar pohon nangka di pojok sisi kiri.

Ketupat yang berbentuk segi empat dengan sudut penempatan mengarah secara diagonal pada gilirannya bukan hanya menjadi makanan khas Idulfitri tapi juga menjadi semiotika Idulfitri itu sendiri. itulah yang menjadi alasan utama dengan mudah ditemukan gambar ketupat itu dalam kartu pos, email, Facebook, MMS. Ketupat menyatu dengan munajat “semoga puasa Anda diterima, kembali kepada kesucian dan menjadi orang-orang yang berbahagia, minal aidin wal faizin.

Sejarah
Konon katanya ketupat ini sudah ada sejak pemerintahan Demak dipimpin Raden fatah awal abad ke-15. Raden Fatah sengaja membuat ketupat yang dibagikan secara rutin kepada rakyatnya sebagai bagian “politik kerajaan’ untuk mencari simpatik massa. Dengan ketupat hati mereka terbeli. Tak ubahnya hari ini para politisi membeli masyarakat dengan sebaran parsel dan hadiah hari raya lainnya sebagai investasi untuk pemilihan umum dan atau pilkada.

Riwayat lain menyebutkan bahwa salah seorang Wali Songo, Sunan Kalijaga, adalah orang pertama yang mengenalkan tradisi ketupat pada masyarakat pedalaman Jawa. Sang wali itu memilah ketupat buatannya dalam dua tipologi: ketupan saat Lebaran dan ketupat yang dibikin seminggu setelah Lebaran. Ketupat-ketupat ini kemudian dibagikan kepada penduduk sekitar sebagai lambang hasrat menegakkan kohesivitas sosial. Ketupat di tangan sang wali menjadi sengat bersentuhan dengan etos penyebaran sebuah agama sebagai ekspresi dari ijtihad budaya lokalnya. Sebentuk komunikasi ritual sang wali yang dibungkus dengan ketupat agar pesan-pesan keagamaannya lekas tersampaikan.

Lima Tanda
Minimal ada lima tanda di balik plihan ketupat sebagai simbol Idulfitri: Pertama, melambangkan tekad pemadatan pengalaman keberagaman selepas Ramadan. Tak ubahnya padatnya beras yang ada di dalam ketupat. Ramadan diposisikan sebagai kawah candradimuka untuk melakukan pelatihan rohaniah. Dan sejauh mana pelatihan itu berhasil, acuannya adalah dalam pertandingan resmi pada sebelas bulan sisanya.

Kedua, melambangkan ihwal keniscahyaan membangun solidaritas kokoh yang melampaui sekat-sekat fanatisme kelompok dan ekslusifisme pemahan keberagamaan. Seperti kokohnya janur yang teranyam sehingga menjadi bentuk otonom dari sebuah ketupat segi empat tanpa pernah beras yang dimasukkannya ketika sudah matang kemudian menyembul ke luar dari garis kebebasan.

Tidak pernah terjadi nasi yang sudah matang (sikap beragama yang dewasa) menerabas bungkus ketupat karena merasa berhak untuk memonopoli kebenaran dan menganggap “lian” sebagai keliru.

Ketiga: membuat ketupat membutuhkan ketekunan agar anyaman yang dibuat sesuai keinginan, selaras dengan jalur yang telah terpolakan sebelumnya. Hal ini menunjukkan tentang kewajiban proses dalam hal ihwal termasuk dalam membangun kematangan iman. Iman yang rusuh tapi toleran lebih baik dari pada klaim keimanan yang stabil tapi tertutup, intoleransi dan tidak bersedia didialogan dengan iman orang lain. Hal ini dengan sangat bagus ditulis filsuf Sunda Haji Hasan Mustapa yang menempatkan dirinya yang berada terus dalam proses mencari kebenaran sebagaimana tampak dalam sebuah guguritan-nya:

…Kadungsang-dungsang kasandung/Manggih lain manggih lain//ek nanya nanya ka saha/Keur pada ngalain-lain/Teu kaur asa paisa/Asa enya asa lain/Di buru da lain kitu/Di lain-lain da bukti//i sidik-sidik aringgis/Wantu mapay nu neangan/Kapanggih aringgis lain.

Pencarian yang meghajatkan sikap terbuka kepada “orang lain” sebagaimana terbukanya anyaman ketupat dengan anyaman yang lainnya untuk dipersatukan dalam bentuk yang dikehendaki. Da ang kudu jeung batur/da batur kudu jeung aing/da aing kudu jeung saha/da saha kudu jeung hiji/da hiji kudu jeung hiji/da hiji kudu jeung dua/da dua kudu jeung hiji.

Keempat: ketupat mengandung arti sikap dari yang ngaku lepat (mengaku salah). Pengakuan ini yang kemudian menjadi motif substansial di hari raya penuh kemenangan. Orang saling meminta permafaan. Pengakuan lepat ini penting sebab hanya diharapkan orang bisa mengiventarisasi kesalahan-kesalahannya dengan niat kuat untuk tidak diulangnya lagi di kemudian hari.

Pengakuan lepat menjadi tidak penting ketika justru kesalahan yang sama terus terulang. Tentu pengakuan seperti ini bukan hanya akan menjebak seseorang pada perayaan Idulfitri yang artifisial, tetapi juga dapat menumpulkan nuraninya sehingga pada akhirnya menghilangkan sensitivitas kepekaan sebab dia telah melakukan dusta bukan hanya dengan dirinya, dengan pihak lain, juga dengan Tuhannya.

Kelima: maka ketupat terasa kurang sempurna kecuali dibarengi “kerabatnya” serupa opor ayam, rendang, tumis, dan kerupuk. Filosonya bahwa seorang pemimpin dikatakan pemimpin ketika ada rakyatnya. Ketika rakyat melakukan pembangkangan dan sudah tidak percaya lagi maka kepemimpinan itu bukan hanya tidak legitmit, tetapi juga kan terasa hambar sebagaimana hambarnya Idulfitri hanya dengan ketupat tanpa kerabatnya itu. Dalam kontkes ini kepemimpinan harus dijangkarkan pada haluan moralitas yang kokoh agar pada akhirnya terwujud keadaban publik; suasana tiis ceuli herang mata, hurip gustina waras abdina, rea ketan rea keton rea harta jeung rea harti.

Alhasil, agar Idulfitri yang kita rayakan setiap satu Syawal tidak hanya menghidangkan ketupat, maka simbol di balik makanan ketupat itu mesti kita perhatikan bersama sehingga Idulfitri benar-benar dapat menyentuh dimensinya yang paling hakiki. Betul apa yang dibilang Levi, dari makan kita dapat belajar banyak hal. Dari ketupat kita dapat mencapai hakikat.***

Sumber: Pikran Rakyat



Akhirulkalam, saya ucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri 1433 H / 2012 M, Mohon Maaf Lahir Batin”.