• rss

Kujang bukan Senjata

arsip kula|Selasa, 07 Agustus 2012|23.48
fb tweet g+
kujang
Oleh: Ajip Rosidi, Ketua Dewan Yayasan Kebudayaan Rancage

PADA awal tahun 1950-an, dalam masyarakat Sunda timbul ketidakpuasan terhadap orang Jawa, sehingga timbul gerakan kasundaan baik di kalangan orang-orang yang sudah aktif dalam gerakan kasundaan sejak sebelum perang, maupun di kalangan para pemuda dan mahasiswa. Tokoh-tokoh Sunda yang sudak aktif sejak masa sebelum perang seperti Ema Bratakusumah, Soetisn (Soetisna Sendjadja), Iwa Koesoemasoemantri, Otong Kosasih, Djoearsa, Joedakoesomah, dll. yang mendirikan organisasi al. Daya Sunda, Badan Musawarah Sunda, dll. Sedang para mahasiswa dan pemuda di Bandung, Bogor dan Jakarta seperti Adjam Syamsupradja, Hasan Wargakusumah, Saikin Suriawidjaja, Alibasjah Natapradja, dll, mendirikan organisasi al. Nonoman Sunda, Putra Sunda, Daya Nonoman Sunda, Front Pemuda Sunda dll.

Dalam majalah-majalah bahasa Sunda yang terbit waktu itu terutama dalam Kalawarta Kudjang (Bandung) dan majalah Warga (Bogor), banyak dimuat tulisan dan karikatur yang menyatakan ketidapuasan terhadap orang Jawa dan pemerintah pusat dengan Presiden Soekarno (walupun kemudian eksekutif di tangan perdana mentri) yang dianggap lebih mementingkan orang Jawa.

Hal itu disebabkan adanya kebijaksanaan dari pemerintah Republik Indonesia tentang "non" dan "kok". Yang disebut non (kooprator) ialah mereka yang menolak bekerja pada pemerintah Belanda, dan tetap bertahan sebagai "republikein". Sedangkan ko (opretor) ialah mereka yang bersedia bekerja pada pemerintah pendudukan Belanda. Setelah KMB (Konferensi Meja Bundar) dan Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia, pemerintah Republik Indonesia dengan kebijaksanaan tentang "non" dan "ko" itu menggeser orang-orang "ko" dari jabatannya dan menggantinya dengan orang "non". Padahal orang-orang Sunda yang menjadi "ko" di Jawa Barat itu berbuat demikian setelah ada anjuran dari Wakil Presiden M. Hatta – lama sebelum KMB – yang membolehkan kaum republikein yang tinggal di daerah pendudukan bekerja pada pemerintah pendudukan asal bukan dalam lapangan kemiliteran dan pertahanan, karena pekerjaan itu niscaya besar manfaatnya buat rakyat Republik Indonesia, seperti guru yang mengajar di sekolah pendudukan karena yang diajarnya adalah anak-anak kaum republikein. Yang dianggap kaum "non" ialah orang-orang Jawa yang pulang mengungsi dari Yogyakarta atau daerah Jawa Tengah lainnya. Dan ternyata para pejabat baru itu bukan saja tidak mampu melaksanakan pekerjaannya dengan baik, melainkan juga memboyong saudara-saudara atau teman-temannya dari daerah asal untuk menduduki berbagai lowongan. Karena itu, timbul perasaan dan umpatan tentang adanya "penjajahan oleh bangsa sendiri".

Peristiwa Bubat dihidup-hidupkan kembali untuk menunjukan bahwa orang Jawa (Gadjah Mada itu sifatnya khianat dan dalam persitiwa itu Raja Sunda dan putrinya Citreresmi atau Dyah Pitaloka menjadi korban. Untuk menunjukan bahwa orang Sunda juga ada yang berani melawan terhadap kekerasan jaman tentara Jawa zaman Mataram. Dihidupkan kembali cerita tentang Dipati Ukur. Ceritanya ditulis kembali oleh Rohendy Sumardinata & Supis (Supian Iskandar) diterbitkan oleh Daya Sunda Pusat (Bandung) setelah dimuat bersambung dalam Kalawarta Kudjang.

Dalam cerita Dipati Ukur yang itulah pertamakali ditulis bahwa orang Sunda berperang dengan menggunakan senjata khusus yang disebut kujang. Sejak itu dimitoskan bahwa kujanglah senjata orang Sunda, Sedangkan keris adalah senjata orang Jawa. Pendeknya orang Sunda tidak kalah oleh orang Jawa. Kalau orang jawa punya senjata keris, orang Sunda punya senjata kujang. Padahal keris juga sebenarnya senjata orang Sunda, seperi juga senjata orang melayu, karena itu ada keris yang disebut "keris Padjadjaran". Namun karena pada waktu itu ada semangat bahwa orang Sunda itu lain dari orang Jawa, dan tidak kalah hebat, pemitosan kujang sebagai senjata khas Sunda kian keras. Pada sekitar tahun 1960 sudah tebentuk anggapan bahwa kujang adalah lambang Sunda, sehingga dijadikan lambang pemerintah Jawa Barat. Tidak mustahil gagasan tersebut timbul dari Pak Ema Bratakusuma dan lingkungan Daya Sunda yang menerbitkan Kalawarta Kudjang. Dalam buku-buku naskah yang ditulis sebelum tahun 1950, termasuk dalam wawacan-wawacan, tak pernah dilukiskan bahwa orang berperang mempergunakan kujang. Tidak mustahil gagasan tentang kujang sebagai senjata orang Sunda itu berasal dari Pak Ema Bratakusumah dan lingkungan Daya Sunda yang menertbikan Kalawarta Kudjang.

Ahli sejarah dan kesenian Sunda, almarhum Saleh Danasasmita dengan menggunakan nama samara Asmalasuta menulis dalam karangan berjudul Semar Djeung Kudjang (majalah Handjuang No. 5, 1971) bahwa ia merasa berdosa kalau mebiarkan saja, karena telah terjadi kekeliruan yang telah diterima masarakat secara luas tentang Semar dan kujang. Menurut para ahli ternyata kepercayaan itu bisa dibentuk. "Sanajan carita hayal mun ditabeuh unggal waktu, dipisieup siga heueuh, lila-lila bakal dianggap enyaan". (Meski ceria hayali, kalau diberitakan setiap waktu, dibuat-buat seakan-akan benar, lama-lama akan dianggap benar). Karena itu dia merasa perlu menulis karangan untuk mnejelaskan hal yang sebenaranya walupun ia tahu bahwa "mun beja geus dipercaya hese ngabedokeunana" (kalau berita sudah dipercaya, susah membatalkannya).

Saya tidak akan mengutip yang ditulis Saleh mengenai Semar, melainkan hanya akan mengutip tentang kujang. Menurut Saleh dia menunjukkan bahwa tentang kujang sudah diteliti dan dibahas oleh Snouck Hurgronje dalam TBG (Tijdchrift van het Bataviaasch Genootchap van Kunsten en Wetenschappen) jilid 41 (1904) Snouck melakukan penelitiannya di daerah Priangan yang masih ditemukan berbagai macam kujang. Tapi pada waktu itu pun (awal abad ke-20), sudah tidak dapat diperoleh keterangan tentang bagaimana menggunakannya. Kujang yang sekarang popular adalah kujang Bandung yang dengan fantasi yang cukup dapat dianggap sebagai senjata. Padahal kujang-kujang yang terdapat di daerah-daerah lain bukanlah bentuk senjata untuk perang. Yang terdapat di daerah Banten lebih dekat dengan bentuk arit.

Dalam naskah Sunda Kuno koropak 630 (Siksa Kanda ng Karesyian) waktu mengurai tentang dina nataan senjata buat pakakas poertang yang disebut adalah pedang, abet panusuk, golok, peso poateundeut, nusuk, golok, dan keris. Kujang tidak disebut. Kujang disebut dalam alat bertani, yaitu, kujang, baliung, parkit, koered, sadap. Di Banten ada pribahasa yang kira-kira berbunyi "mun aya bentang kidang, turun kujang" (kalau bintang kidang telah tampak, kujang pun ditutunkan untuk digunakan". Bintang kidang menjadi tanda bahwa musim hujan sudah tiba, waktunya turun ke ladang. Dari pribahasa itu jelas bahwa kujang itu alat bertani.

Setelah dimitoskan sebagai senjata orang Sunda, wajarlah kalau tumbuh kebanggaan terhadap kujang dan didorong oleh rasa bangga itu lantas banyak yang membuat kujang senjata sesuai dengan fantasinya. Konon Prof. Dr. Kusnaka Adimihardja pernah mengemukakan pendapat bahwa kujang memang mempunyai beberapa fungsi. Ada yang memang sebagai pekakas bertani tetapi ada juga sebagai senjata untuk perang, di samping kujang yang diberikan oleh penguasa sebagai penghargaan, yang disebut "kujang nugraha". Apakah penemuan fungsi-fungsi (yang diperoleh oleh Snouck Hurgronje pada awal abad ke-20) itu berdasarkan penelitian yang cermat dan ilmiah? Sebab mungkin saja, karena didorong oleh kebanggaan terhadap senjata warisan leluhur seperti yang dimitoskan, belakangan banyak yang membuat kujang sesuai dengan fantasinya.

Karena itu, saya merasa lucu (dan sedih) waktu membaca berita "Kujang Didaftarkan ke UNESCO" (Pikiran Rakyat Sabtu, 21 Juli, 2012). Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat bersama dengan Tim Gugus Hak Kekayaan Intelektual (HKI) hendak mengajukan agar UNESCO mengakui kujang "sebagai senjata tradisional orang Sunda". Selain Tim Gugus HKI dan juga dosen ITB dan para sarjana pejabat pemda staf gubernur dan wakil dari komunitas kasundaan.

Entah siapa yang pernah mengadakan penelitian tentang kujang. Yang jelas dalam berita itu alasan yang dikemukakan oleh Aris Kurniawan, M.Sn, staf pengajar Seni Rupa ITB sama sekali tidak bersifat alamiah melainkan "ngelmu" karena alasan itu merupakan kirata basa. Katanya setelah melakukan penelitian selama tujuh tahun, dia sampai pada kesimpulan bahwa "Kudi" dalam arti Kudia atau Ku Anjeun memberi pengertian "Titah" atau perintah dari Kahayangan kepada manusia atau manu. Kudi dianggap mempunyai bentuk menyerupai kepala burung, hal ini memberi makna bahwa manusia sebagai bentuk perwakilan Hyang Tunggal atau Tuhan yang senantiasa harus meningkatkan bakti atau bukti kepada Negara dan Tuhan Yang Maha kuasa dimarcapada atau buwana Panca Tengah. Nah lu!!

Sumber: Pikiran Rakyat