Gedung Detasemen Markas Kodam III/Siliwangi (Gedong Sabau)

KEKALAHAN dari pasukan Inggris pada 1811 membuat pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan rencana pemindahan ibu kota dan pusat militer dari wilayah pesisir nusantara ke kawasan pedalaman. Setelah melalui berbagai pertimbangan, menjelang akhir abad ke-19, Bandung yang berada di dataran tinggi Priangan terpilih sebagai pusat pertahanan militer sekaligus pemerintahan sipil. Selain berdasarkan aspek geografis dan geostrategis, dipilihnya Bandung juga karena kawasan ini merupakan pusat kegiatan ekonomi yang menunjang kas Kerajaan Belanda.

Setelah menetapkan Cimahi sebagai garnisun militer, pemerintah kolonial Belanda kemudian memindahkan Departemen Peperangan/Pertahanan (Departement van Oorlog/DVO) dari Batavia ke Bandung. DVO menempati satu bangunan yang oleh masyarakat Bandung disebut Gedong Sabau. Dalam bahasa Sunda, kata sabau yang berarti satu bau merupakan satuan ukuran luas sebesar 7.096 m2. Gedong Sabau memang dibangun dengan menempati lahan seluas tujuh hektare. Desain bangunannya bergaya arsitektur klasik romantik, seperti gedung-gedung militer lainnya. Terlihat dari banyaknya jendela yang dipasang pada gedung ini. Dinding bagian luarnya berwarna putih dengan atap berwarna abu-abu. Sementara pada bagian eksterior bangunan minim ornamen.

Pembangunan gedung markas pusat komando militer Belanda tersebut telah dimulai sejak tahun 1908, tetapi baru rampung pada tahun 1913. Sementara itu, secara bertahap personel Departement van Oolog mulai dipindahkan ke Bandung sejak 1916, termasuk di antaranya adalah Panglima KNIL (Legercommandant Koninklijke Nederlands-Indiicshr Leger) yang turut dipindahkan dan berkantor di Gedong Sabau. Fasilitas militer yang juga dialihkan ke Bandung antara lain Paleis van den Legercommandant atau Istana Panglima Perang Tertinggi di Hindia Belanda dan rumah dinas untuk para perwira yang dibangun tak jauh dari Gedong sabau, sehingga terbentuklah suatu kompleks militer di kawasam tersebut.

Bangunan yang berlokasi di Jalan Kalimantan itu kini ditempati Detasemen Markas Komando Militer (Denma Kodam) III/Siliwangi. Sejak awal berdiri hingga sekarang, gedung ini telah menjadi saksi perjalanan militer di tanah air. Selain fungsinya yang masih hidup, bentuk asli Gedong Sabau yang hampir berumur satu abad ini juga tidak berubah. Gedung Denma Kodam III/Siliwangi merupakan satu dari ratusan warisan heritage peninggalan Belanda yang masih tersisa di Kota Bandung.

Gedung Detasemen Markas Kodam III/Siliwangi (Gedong Sabau)
Illistrasi: Fachri Fauzi/*PR*
Lokasi : Jln. Kalimantan No. 14 Bandung
Arsitek: V L Slors
Tahun berdiri: 1913
Pengelola saat ini: Kodam III/Siliwangi
Sumber: Hanif Hafsari C/Periset *Pikiran Rakyat* Minggu 7 Oktober 2012

Rumah Adat Cikondang itu Masih Bertahan

EMBUSAN angin membuat api kian besar. Dalam sekejap 39 rumah panggung di Kampung Cikondang, Desa Lamajang, Kabupaten Bandung, terbakar.

Api cepat membesar karena 39 rumah itu terbuat dari bambu dan kayu dengan atap ijuk. Titik api berawal dari suatu rumah. Saat itu, penghuninya sedang membuat tape pisang di halaman. Api dari lubang pembuatan tape menjalar ke rumah.

Rumah Adat Cikondang itu Masih Bertahan
Situs Rumah Adat Cikondang (foto: Pikiran Rakyat)
Kebakaran itu terjadi pada 1942, tetapi warga masih mengingatnya. Tidak ada korban jiwa karena warga saling memperingatkan. Setelah api padam, warga bergotong royong membangun kembali rumah. Diperlukan waktu 39 hari untuk membangun 39 rumah panggung itu. sebenarnya, rumah di Kampung Cikondang berjumlah 40. Satu rumah tetap berdiri kokoh, walaupun sama-sama terkena percikan api dari ijuk yang berterbangan.

“Entah kenapa api malah padam saat merambat ke rumah ini. Itu salah satu bukti kekuasaan Allah swt,” tutur juru kunci Situs Rumah Adat Cikondang, Anom Juhana (67), saat dijumpai di lokasi rumah adat, Sabtu (22/2/2014).

Keberadaan Rumah Adat Cikondang merupakan saksi bisu kearifan lokal dan kebudayaan warga ketika itu. rumah panggung bermaterialkan bambu dan kayu menjadi simbol bahwa warga bisa hidup berdampingan dengan alam.

Model rumah panggung membuat keseimbangan alam karena lahan yang terpakai bangunan hanya sedikit. Warga pun yakin, rumah panggung membaut warga terhindar dari penyakit karena tidak lembab.

Dari segi kearifan lokal dan kebudayaan, Juhana menuturkan, warga sangat menjaga kesucian rumah. Tanpa terkecuali, bagi istri atau anak perempuan dewasa penghuni rumah.

Saat haid, penghuni perempuan tidak boleh memasuki ruangan utama rumah. Perempuan yang sedang haid, melakukan segala pekerjaan rumah dan tidur di sekitar bale.

Pada ruangan utama rumah, Juhana menuturkan, hanya ada ruang tengah, kamar, dan goah (ruang penyimpanan). Untuk menerima tamu, dilakukan di bangunan yang terletak beberapa meter dengan rumah utama dan disebut bale paseban.

Rumah Adat Cikondang telah mendapat pengakuan dari Pemkab Bandung sebagai situs cagar budaya. Lantaran bernilai sejarah dan budaya.

Rumah adat sering juga didatangi peziarah untuk bertawasul, mendoakan para leluhur agar diberikan keselamatan akherat oleh Allah swt. Peziarah dan peneliti tidak boleh hadir pada Senin, Selasa dam Jumat. Bagi peziarah perempuan tidak boleh masuk ke lingkungan rumah adat saat haid.

Setiap 15 Muharam, ada ritus tasyakur di Rumah Adat Cikondang. Pada ritus itu, warga bergotong royong membuat tumpeng lulugu dan tumpeng untuk dimakan bersama.

“Tumpeng lulugu, memiliki tiga congcot, ada yang terbuat dari beras biasa, beras ketan, dan beras huma. Filosofi setiap congcot, yakni mengingatkan manusia supaya membersihkan hati, berinisiatif berbuat kebaikan, dan menjauhi sifat serakah,”tutur Juhana.

Sumber: Satira Yudatama/*Pikiran Rayat* Senin, 24 Februari 2014

Sandiwara Tan Malaka

SEJAK ia diusir oleh pemerintah kolonial, mengembara selama 23 tahun ke berbagai negeri di Eropa dan Asia, serta kembali ke Indonesia pada tahun 1942, Tan Malaka (TM) hidup sebagai seorang pelarian politik. Ia tak sekadar dikejar dan diburu oleh intelijen Inggris, Belanda, dan Amerika Serikat, tetapi juga dimusuhi oleh Komunis International (Komintern). Selama dalam pengembaraannya itu TM hidup dengan banyak nama.

 Sandiwara Tan Malaka
Tan Malaka (belakang, ketiga kiri) sebagai utusan “bangsa-bangsa timur” bersama Ho Chi-Minh (depan, kiri) dan katamaya pada Kongres Komintern.” (Dok. Harry A Poeze)
Ketika berada di Filipina ia mengaku bernama Ellias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera. Ong Song Lee atau Tang Ming Sion, Chen Kuan Tat, sewaktu ia berada di China dan Birma. Ketika berada di Singapura ia mengaku bernama Hasan Gozali, dan Ilyas Husein sewaktu ia datang ke Indonesia.

Layaknya seorang pemain sandiwara, TM memerankan dirinya begitu baik sehingga ia selalu lolos dari intaian dan pengejaran. Selama itu pula banyak kalangan pergerakan di Indonesia mengira ia telah tewas atau tak lagi mengenalnyta. Bahkan, kalangan pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, dan Sjahrir tak menduga bahwa orang yang mereka panggil dangan “Pak Husein” yang selalu hadir dalam rapat gelap pemuda penjelang proklamasi itu adalah TM.

“Bergelap-gelap dalam terang, berterang-terang dalam gelap” inilah prinsip sandiwara TM. Dengan sandiwaranya ini pula, sebagai “Ilyas Husein” ia bekerja di tamnbang batu bara, Banten. Saking apiknya ia bersandiwara, ketika Soekarno mengunjungi Bayah, ia sempat pula berdebat dengan Soekarno. Kecuali Hatta yang samar mengenali wajahnya saat TM menyajikan minuman, tak ada seorang pun yang mencurigainya. Termasuk Soekarno, yang tak sedikit pun merasa heran ada seorang romusha yang demikian kritis mendebatnya.

Seperti juga Deli dan Semarang, Bayah Banten menjadi tempat yang penting dalam menelaah perjuangan TM. Di tempat ini ia berada langsung bersama para romusha, mengurusi, mendengar dan melihat langsung penderitaan mereka sebagaimana ditulisnya dalam buku Dari Penjara ke Penjara. Di Bayah ini pula TM memperlihatkan bakatnya yang lain dalam ihwal sandiwara-bersandiwara. Seraya tetap bersandiwara sebagai Ilyas Husein, TM membuat kelompok sandiwara yang dimainkan oleh para romusha.

Bila Soekarno semasa pembuangan di Ende Flores menamakan kelompok sandiwaranya “Kelimutu”, dalam “Penjara ke Penjara” tak ada keterangan apa nama kelompok sandiwara yang dibentuk TM. Akan tetapi yang jelas, dialah yang menulis lakon sekaligus sutradaranya.

“Supaya pendirian sandiwara ini tidak mencurigakan kempei, maka sandiwara dijadikan saja “bagian hiburan” yang dimasukkan ke dalam anggaran dasarnya Badan Prajurit Pekerja (BPP) yang sudah diakui oleh tentara Jepang. Saya sendiri yang menulis lakonnya, dan memilih pemain dan melatih pemainnya,” tulisnya.

Lakon Perlawanan
Kelompok sandiwara itu bagi TM bukan hanya sarana hiburan Prajurit Pekerja, efeumisme yang digunakan Jepang untuk romusha. Melainkan juga sebagai strateginya menggunakan kesenian demi menularkan kesadaran perlawanan atas imprealisme. Lakon pertamanya berkisah tentang nasib kaum romusha sebagai “sepah tebu yang dibuang sesudah manisnya habis”.

Sukses dengan pertunjukan ini TM mengambil hikayat Hang Tuah dalam pertunjukan sandiwaranya. Kisah ini oleh TM difokuskan pada para elite pemimpin yang menjunjung tinggi majikannya, tetapi rakyatlah yang menderita. Sindiran yang diarahkan pada tokoh pergerakan yang bekerjasama dengan Jepang dan membiarkan rakyat sengsara ditindas.

Sandiwara ini mendapat sambutan, bahkan hingga ke cabang-cabang tambang batu-bara lainnya di Bayah. Pada pertunjukan berikutnya TM kembali mengambil ide cerita dari kisah kepahlawanan di Nusantara, seperti, lakon Diponegoro atau Puputan Bali. “Di sini pun dimajukan kritik yang tajam terhadap imprealisme beserta anjuran yang tegas kepada prajurit, pemuda, dan rakyat agar bersatu menjunjung tinggi hasrat kemerdekaan,” tulisnya lagi.

Lama kelamaan kelompok sandiwara ini semakin dikenal. Demikian pula group orkestra, wayang dan kelompok gamelan yang diusahakan TM pada tentara Jepang. Ia menuturkan lakon-lakon yang mereka mainkan tentulah tak luput dari sensor tentara Jepang. Dan bila terjadi demikian, TM maju ke muka melobi para tentara Jepang atas nama kebutuhan hiburan para romusha.

Di sinilah TM mengerti benar kekuatan bahasa seni untuk menularkan gagasan. Ia menulis, “Siapa pula di antara penonton Jepang yang mengerti apa yang terselip dalam bahasa Indonesia yang penuh dengan sindiran itu? Teristimewa pula apa yang terselip dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu tiada mengeluarkan perkataan apa-apa.”

Fungsi Seni
Perhatian TM pada seni sebenarnya bisa dilacak semasa ia bergabung sebagai pemain selo dan biola dalam dalam orkestra di sekolahnya semasa di Kweekschool Bukittinggi. Hobi itu diteruskan ketika melanjutkan di Rijskweekschool di Belanda.

Demikian pula dalam buku yang menjadi Magnum Opus-nya Madilog, TM membicarakan seni dan hubungannya masyarakat dalam sebuah pasal. Bahkan dalam Lampiran “Madilog”, TM menyebutkan bagaimana semestinya kesenian bisa memperkuat jasmani, pikiran, perasaan, cita-cita, dan iman manusia. Seni, kata dia, mesti berdasarkan atas kehidupan.

“Bukan sebaliknya, seperti candu yang merusakkan dada, pelesir jauh malam merusakkan kesehatan, obrolan tak karuan merusakkan perasaan dan kehormatan. Dengan begitu, seni tidaklah bisa dipisahkan dari hidup. Seni mesti berdasar atas hidup! Sebaliknya hidup manusia harus pula berdasarkan seni,” tulis TM.

Sebagai aktivis pergerakan yang mengembara dengan berbagai nama, TM telah fasih benar memahami semua itu. Seni bersandiwara memainkan perannya dalam berbagai nama menghindari mereka yang memburunya. Dan di Bayah Banten, ia menggunakan seni sandiwara itu untuk menularkan kesadaran perlawanan pada para romusha.

Sumber: Ahda Imran/*Pikiran Rakyat** Senin, 10 Februari 2014

Sasakala Gunung Guntur

Tersebutlah Sunan Ranggalawe yang menjadi Raja di Timbanganten, dengan ibu kotanya di Korobokan. Raja mempunyai seorang kakak perempuan, namanya Maharadja Inten Dewata, yang dalam kesehariannya tidak mau tinggal di keraton, tetapi tinggal di perkampungan diiringi penasihat, seorang kakek, namanya Batara Rambutputih.

Sasakala Gunung Guntur
ilustrasi: Rikiran Rakyat
Dikisahkan, Sunan Ranggalawe akan menambak sungai untuk merendam tegalan menjadi persawahan sehingga rakyatnya dapat meningkat kesejahteraannya. Namun, penambakan terus dilaksankan tanpa restu kakaknya. Air mulai tergenang. Maharadja Inten Dewata merasa tidak enak dengan upaya adiknya tersebut. Diambilnya selendang dan pakaian, lalu pergi ke bukit kecil yang sekarang dinamai Gunung Putri, yang letaknya tidak jauh dari Gunung Kutu.

Maharadja Inten Dewata berkata kepada Batara Rambutputih agar segera membuat jolang untuk wadah air dan membawa tanah segenggam. Ratu dan Kakek penasihat itu segera mendaki Gutung Kutu. Sesampainya di puncak gunung, tanah ditaburkan dan air dari jolang ditumpahkan. Keduanya kemudian bergegas turun. Seketika itu kawasan Timbanganten gelap-gulita. Terdengar letusan dari puncak Gunung Kutu. Api membakar semua yang dilaluinya, hutan, perkampungan dengan segala isinya. Bebatuan dan lumpur menguruk Nagara Korobokan sehingga mengalami kerusakan yang berat. Warga yang tidak terkena bencana segera melarikan diri ke Bandung dan ke Kawarang.

Sunan Ranggalawe merasa bersalah karena tidak mengindahkan harapan kakaknya. Akhirnya Sang Raja pergi menemui kakaknya, dan kesalahannya dimaafkan. Api yang membakar itu tiba-tiba mengecil dan padam. Dentuman dan hujan batu, kerikil,, dan pasir dengan seketika berhenti. Ketika Sunan Ranggalwe akan turun gunung dan mengajak kakaknya untuk ikut pulang, tetapi ditolaknya, kemudian menghilang bersama Batara Rambutputih.

Maharadja Inten Dewata berkata, “Bila suatu ketika gunung ini meletus, sebut nama ceuceu (kakak) dan kakek Batara Rambutputih, akan selamat tidak terjadi apa-apa”. Sepulangnya Sunan Ranggalawe ke Nagara Korobokan, hatinya diliputi kesedihan karena kehancuran alam yang luar biasa. Penduduk yang meninggal dunia sebanyak 11.000 jiwa, sebagian lagi mengungsi ke tempat lain sehingga daerah ini menjadi kawasan yang kosong. Sejak itulah nama Gunung Kutu berubah namanya menjadi Gunung Agung, dan sebagian menyebut Gunung Guntur. Ibu kota Nagari Rimbanganten dipindahkan dari Korobokan ke Tarogong.

Sumber: GUNUNG GUNTUR “Kisah Banjir Lahar Letusan Gunung Api”, T.Bachtiar/*Pikiran Rakyat**

Karinding Pendobrak Tradisi “Pingit”

Karinding Pendobrak Tradisi Pingit
Karinding
ALAT musik karinding awalnya dikenal sebagai alat musik pergaulan di kalangan remaja. Alat musik sebesar jari tengah ini bahkan dianggap sebagai pendobrak tradisi “pingit” yang diberlakukan para orang tua terhadap anak gadis mereka.

Kimung, musisi karinding mengakui, dari sejumlah naskah Sunda diketahui bahwa alat musik karinding cukup erat kaitannya dengan Dewi Padi dan budaya agraris di tanah Pasundan. Bahkan, ia mengungkapkan, banyak yang percaya nama karinding tersebut berasal dari nama seekor binatang penanda air jernih di sawah, yakni kakarindingan.

“Karinding yang dikenal sebagai jenis alat musik lamelafon itu serupa dengan genggong dari Bali, rinding dari Yogyakarta, serupa bahkan seperti jewsharp di Eropa, danmoai/patta di Vietnam, dan murcunga di Nepal”, kata Kimung, Sabtu (30/11/2013) di base camp Common Room, Jalan Muararajeun, Kota Bandung.

Namun, Kimung juga mengatakan, banyak yang percaya alat itu lahir pertama kali di tanah Pasundan. Keberadaan alat musik serupa di berbagai daerah di tanah air dipercaya merupakan serapan atau mengembangan dari karinding yang dimiliki suku Sunda.

“Semua alat musik tersebut dimainkan dengan cara yang sama, tetapi ada juga yang “menyintir” tali ujungnya, seperti genggong dari Bali”, kata Kimung.

Sumber : Hilmi Abdul Halim/*Pikiran Rakyat** Senin, 2 Desember 2013