Tan Malaka (belakang, ketiga kiri) sebagai utusan “bangsa-bangsa timur” bersama Ho Chi-Minh (depan, kiri) dan katamaya pada Kongres Komintern.” (Dok. Harry A Poeze)
Layaknya seorang pemain sandiwara, TM memerankan dirinya begitu baik sehingga ia selalu lolos dari intaian dan pengejaran. Selama itu pula banyak kalangan pergerakan di Indonesia mengira ia telah tewas atau tak lagi mengenalnyta. Bahkan, kalangan pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Adam Malik, dan Sjahrir tak menduga bahwa orang yang mereka panggil dangan “Pak Husein” yang selalu hadir dalam rapat gelap pemuda penjelang proklamasi itu adalah TM.
“Bergelap-gelap dalam terang, berterang-terang dalam gelap” inilah prinsip sandiwara TM. Dengan sandiwaranya ini pula, sebagai “Ilyas Husein” ia bekerja di tamnbang batu bara, Banten. Saking apiknya ia bersandiwara, ketika Soekarno mengunjungi Bayah, ia sempat pula berdebat dengan Soekarno. Kecuali Hatta yang samar mengenali wajahnya saat TM menyajikan minuman, tak ada seorang pun yang mencurigainya. Termasuk Soekarno, yang tak sedikit pun merasa heran ada seorang romusha yang demikian kritis mendebatnya.
Seperti juga Deli dan Semarang, Bayah Banten menjadi tempat yang penting dalam menelaah perjuangan TM. Di tempat ini ia berada langsung bersama para romusha, mengurusi, mendengar dan melihat langsung penderitaan mereka sebagaimana ditulisnya dalam buku Dari Penjara ke Penjara. Di Bayah ini pula TM memperlihatkan bakatnya yang lain dalam ihwal sandiwara-bersandiwara. Seraya tetap bersandiwara sebagai Ilyas Husein, TM membuat kelompok sandiwara yang dimainkan oleh para romusha.
Bila Soekarno semasa pembuangan di Ende Flores menamakan kelompok sandiwaranya “Kelimutu”, dalam “Penjara ke Penjara” tak ada keterangan apa nama kelompok sandiwara yang dibentuk TM. Akan tetapi yang jelas, dialah yang menulis lakon sekaligus sutradaranya.
“Supaya pendirian sandiwara ini tidak mencurigakan kempei, maka sandiwara dijadikan saja “bagian hiburan” yang dimasukkan ke dalam anggaran dasarnya Badan Prajurit Pekerja (BPP) yang sudah diakui oleh tentara Jepang. Saya sendiri yang menulis lakonnya, dan memilih pemain dan melatih pemainnya,” tulisnya.
Lakon Perlawanan
Kelompok sandiwara itu bagi TM bukan hanya sarana hiburan Prajurit Pekerja, efeumisme yang digunakan Jepang untuk romusha. Melainkan juga sebagai strateginya menggunakan kesenian demi menularkan kesadaran perlawanan atas imprealisme. Lakon pertamanya berkisah tentang nasib kaum romusha sebagai “sepah tebu yang dibuang sesudah manisnya habis”.
Sukses dengan pertunjukan ini TM mengambil hikayat Hang Tuah dalam pertunjukan sandiwaranya. Kisah ini oleh TM difokuskan pada para elite pemimpin yang menjunjung tinggi majikannya, tetapi rakyatlah yang menderita. Sindiran yang diarahkan pada tokoh pergerakan yang bekerjasama dengan Jepang dan membiarkan rakyat sengsara ditindas.
Sandiwara ini mendapat sambutan, bahkan hingga ke cabang-cabang tambang batu-bara lainnya di Bayah. Pada pertunjukan berikutnya TM kembali mengambil ide cerita dari kisah kepahlawanan di Nusantara, seperti, lakon Diponegoro atau Puputan Bali. “Di sini pun dimajukan kritik yang tajam terhadap imprealisme beserta anjuran yang tegas kepada prajurit, pemuda, dan rakyat agar bersatu menjunjung tinggi hasrat kemerdekaan,” tulisnya lagi.
Lama kelamaan kelompok sandiwara ini semakin dikenal. Demikian pula group orkestra, wayang dan kelompok gamelan yang diusahakan TM pada tentara Jepang. Ia menuturkan lakon-lakon yang mereka mainkan tentulah tak luput dari sensor tentara Jepang. Dan bila terjadi demikian, TM maju ke muka melobi para tentara Jepang atas nama kebutuhan hiburan para romusha.
Di sinilah TM mengerti benar kekuatan bahasa seni untuk menularkan gagasan. Ia menulis, “Siapa pula di antara penonton Jepang yang mengerti apa yang terselip dalam bahasa Indonesia yang penuh dengan sindiran itu? Teristimewa pula apa yang terselip dalam gerakan badan dan wajah pemain, walaupun pemain itu tiada mengeluarkan perkataan apa-apa.”
Fungsi Seni
Perhatian TM pada seni sebenarnya bisa dilacak semasa ia bergabung sebagai pemain selo dan biola dalam dalam orkestra di sekolahnya semasa di Kweekschool Bukittinggi. Hobi itu diteruskan ketika melanjutkan di Rijskweekschool di Belanda.
Demikian pula dalam buku yang menjadi Magnum Opus-nya Madilog, TM membicarakan seni dan hubungannya masyarakat dalam sebuah pasal. Bahkan dalam Lampiran “Madilog”, TM menyebutkan bagaimana semestinya kesenian bisa memperkuat jasmani, pikiran, perasaan, cita-cita, dan iman manusia. Seni, kata dia, mesti berdasarkan atas kehidupan.
“Bukan sebaliknya, seperti candu yang merusakkan dada, pelesir jauh malam merusakkan kesehatan, obrolan tak karuan merusakkan perasaan dan kehormatan. Dengan begitu, seni tidaklah bisa dipisahkan dari hidup. Seni mesti berdasar atas hidup! Sebaliknya hidup manusia harus pula berdasarkan seni,” tulis TM.
Sebagai aktivis pergerakan yang mengembara dengan berbagai nama, TM telah fasih benar memahami semua itu. Seni bersandiwara memainkan perannya dalam berbagai nama menghindari mereka yang memburunya. Dan di Bayah Banten, ia menggunakan seni sandiwara itu untuk menularkan kesadaran perlawanan pada para romusha.
Sumber: Ahda Imran/*Pikiran Rakyat** Senin, 10 Februari 2014