Berhijrah dari Kegelapan (Emha Ainun Nadjib, Kiai Kanjeng dan Himpunan Masyarakat Sholawat “HAMAS”)

Berhijrah dari Kegelapan (Emha Ainun Nadjid dan Kiai Kanjeng)
Berhijrah dari Kegelapan
Berhijrah dari Kegelapan (VCD) yang di produksi MUSICA sekitar pertengahan tahun duarebuan. Album Ini merupakan karya CAK NUN yang terakhir saya (arsip kula) simpan/koleksi.

Album berupa VCD ini memuat 9 lagu. Kesembilan lagunya merupakan lagu-lagu dari album-album (kaset) CAK NUN sebelumnya. Berikut daftar lagunya:

1. Ya Allah Ya Adhiim
Vocal: Haddad Alwi
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

2. Suluk Rosamtuka
Vocal: Zainul Arifin

3. Istighfar
Vocal: Ki Sudrun
Arr: Kiai Kanjeng

4. Tembang Kematian
Vocal: KI Sudrun

5. Allahu Allahu
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

6. Wirid Padang mBulan
Koor: Jemaan Padhang mBulan Jombang
Arr: Kiai Kanjeng

7. Sholli Wa Sallim
Vocal: Emha Ainun Nadjib
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

8. Ilir-ilir
Vocal: Emha Ainun Nadjib
Koor: HAMAS
Arr: Kiai Kanjeng

9. Sidnan Nabi
Vocal: Emha Ainun Nadjib
Koor: HAMAS
Arr: Kiai kanjeng


Bagi sobat yang belum sempat melihat karya CAK NUN (berhijrah dari Kegelapan). Sobat dapat melihat salah satunya dibawah ini. Lagu Tembang Kematian merupakan lagu yang diambil dari album karya Jaman Wis Akhir.


salam

“Derenten” Kebun Binatang Bandung

Derenten Kebun Binatang Bandung
R. Ema Bratakoesoema (Foto: Pikiran Rakyat)
DERENTEN adalah sebutan bahasa Sunda untuk Kebun Binatang Bandung. Kata dalam bahasa Sunda itu sesungguhnya diserap dari bahasa Belanda.

“DIERENTUIN” (taman hewan) yang dibangun pada 1930 oleh orang Belanda bernama Hoogland bersama orang asli Sunda bernama R. Ema Bratakoesoema (kelahiran Baregbeg, Kab. Ciamis tahun 1901) dengan modal patungan, dibawah suatu perkumpulan bernama Bandoengsch Park (BZP). Mendapat mengesahan Gubernur Hindia Belanda No.32 pada 12 April 1933, yang luasnya kurang lebih 14 ha dan hingga kini belum berubah.

Sebelum kemerdekaan, ketika Jepang datang ke Indonesia pada tahun 1942, Hoogland kembali ke Belanda. Sejak itu pengelolaan dilakukan oleh R. Ema Bratakoesoema dkk., sampai Indonesia merdeka pada 1945. Sekitar 1957 Hoogland datang kembali ke Indonesia, tetapi sudah tidak berminat mengelola. Dia berpesan kepada R. Ema Bratakoesoema agar meneruskan pengelolaannya dan meminta kembali uang bekas kongsi pendirian Taman Hewan. Permintaan itu harus diperjuangkan oleh R. Ema Bratakoesoema dengan menjual sejumlah kekayaannya baik di Baregbeg Ciamis maupun yang ada di Bandung dan dalam tenggang waktu tertentu permintaan tersebut dapat dipenuhi.

Sejak saat itu BZP oleh para pengelola dan anggotanya sejumlah orang Belanda dan Indonesia dibubarkan. Derenten menjadi murni milik R. Ema Bratakoesoema. Kemudian R. Ema Bratakoesoema mendirikan Yayasan Margasatwa Tamansari (Bandung Zoological Garden) pada 20 Februari 1957 berdasarkan akta pendirian No. 44 sebagai badan hukum dari Notaris Tan Eng Kiam yang kemudain disahkan dalam Lembaran Negara No. 96/9 November 1963 yang dikenal sebagai Kebun Binatang Tamansari Bandung. Yayasan tersebut telah diperbaharui sesuai dengan Undang-undang No. 25 tahun 2005 tentang Yayasan dengan pengesahan Menteri Hukum dan HAM no.32 Tahun 2012 Lembaran Negara No. 10 tanggal 2 Februari 2010.

Tahun 1984, R. Ema Bratakoesoema meninggal dunia. Beliau berpesan kepada keluarganya, supaya seni ketuk tilu harus terus tampil setiap minggu di kebun binatang. Selain bermaksud untuk melestarikan budaya Sunda, hal itu juga untuk menghibur para mengunjung kebun binatang.
--o0o--

Artikel diatas yang disimpan di arsip kula ini, merupakan sebagian dari hasil tulisan Sudaryo wartawan senior, Humas Kebun Binatang Bandung, dimuat di media cetak Pikiran Rakyat Edisi Sabtu 11 Agustus 2012.

Apabila sobat ingin lebih tahu tentang gambaran berwisata ke Kebun Binatang Bandung. Sobat bisa mengunjungi situs tipswisatamurah.com.

“Adat Ngariksa nu Kakandungan” Ritual Masa Kehamilan di Sunda

Adat Ngariksa nu Kakandungan Ritual Masa Kehamilan di Sunda
Babarik (Foto: detikhot.com)
Dalam sumber aslinya (su.wikipedia.org berbahasa Sunda), artikel ini masih satu bagian dengan postingan arsip kula sebelumnya Istilah di Sunda yang Berhubungan dengan Kehamilan.

Berikut di bawah ini adat ngariksa nu kakandungan, yang telah dialih bahasakan:

--o0o--



Adat ngariksa (menjaga) yang sedang mengandung/hamil di Sunda sangat erat kaitannya dengan sistem kepercayaan orang Sunda, yang mempunyai sifat – menurut Muhtar Lubis dalam Manusia Indonesai – percaya akan tahayul. Maksud adanya adat ngaraksa yang hamil yaitu untuk menjaga yang hamil dari pengaruh mahluk halus serta mengaruh buruk dari kekuatan alam yang mempunyai sifat gaib. Tarekah/usaha untuk menjaganya dilakukan dengan cara, seperti; mengadakan salametan/syukuran atau sidekah mekelan/memberi yang hamil berupa barang-barang yang diyakini mempunyai kekuatan tolak bala atau sebagai ajimat yang bisa memperhatikan dan menjaga supaya yang hamil tidak melanggar larangan/pantrangan leluhur.

Usia kandungan sampai dua bulan biasanya disebut ngadeg atau nyiram. Usia kandungan tiga bulan diadakan salametan/syukuran tilu(tiga) bulanan. Pada umumnya salametan tilu bulanan cukup dengan ngabubur beureum/merah ngabubur bodas /putih yang merupakan inti atau syarat yang harus ada dalam salametan mengikuti adat kebiasaan leluhur/karuhun. Untuk orang berada selain ngabubur beureum ngabubur bodas biasanya membuat/menyediakan juga tumpeng.

Setelah salametan tilu bulanan diadakan kembali syukuran saat usia kandungan 5, 7, 9 bulan. Ada keharusan mengadakan syukuran tiap hitungan ganjil usia kandungan. Pada syukuran yang kedua mengadakan hajat bangsal. Bangsal yang ditempatkan di bokor serta bagian atasnya ditutup daun waluh/labu. Maksud kata bangsal secara metonomis mirip dengan kata bengsal (sial). Sedangkan kata waluh secara metonomis menyerupai/mendekati pada kata waluya. Jadi maksud utama mengadakan hajat bangsal yaitu menghilangkan segala kesialan dan diganti dengan kawaluyaan.

Syukuran ketiga dilaksanakan waktu kandungan tujuh bulan, merupakan syukuran paling besar diantara keempat syukuran. Syukuran ini biasa disebut tingkeban atau babarik (Ciamis), babarit (Majalengka). Setelah tingkeban urusan menjaga yang hamil jadi tanggung jawab paraji/dukun anak. Tingkeban merupakan syukuran kehamilan paling meriah (pangceuyahna) dari upacara-upacara lainnya, karena banyaknya proses upacara dan banyaknya syarat yang harus dipenuhi. Waktu usia kandungan sembilan bulan dilaksanakan lagi syukuran yang keempat. Syukuran ini disebut lolos dan sedekah lampu. Lolos (makanan yang terbuat dari tepung beras, gula dan santan yang dibungkus daun pisang) supaya waktu melahirkan, bayi keluarnya lancar dan selamat, sedangkan lampu memiliki maksud supaya bayi dilahirkan mempunyai hati yang terang. Biasanya menggunakan lampu cempor/damar atau lampu tempel.

Tak kurang dari 31 pantrangan/larangan untuk yang hamil, diantaranya; tidak boleh tidur tak berbantal sebab bisa jadi masalah waktu melahirkan; tidak boleh duduk di lawang panto/pintu sebab bisa-bisa sulit melahirkan (biasanya disebut ngalong); tidak boleh makan rebusan telur sebab nanti anaknya bisa-bisa bisulan di kepala; tidak boleh makan nanas sebab bisa-bisa anaknya korengan; tidak boleh mencicipi sop/sayur/angeun langsung di sendok sebab bisa-bisa anaknya jelek; dan sebagainya.

Selain pantrangan/larangan untuk yang hamil (pihak wanita), ada juga pantrangan/larangan buat suaminya, diantaranya; tidak boleh menyembelih binatang, tidak boleh menyiksa binatang; tidak boleh memancing; tidak boleh adu ayam, tidak boleh adu domba, dan sebagainya. Dan juga orang lain pun tidak boleh menyinggung perasaan yang sedang hamil. Kalau suami istri terpaksa harus mengerjakan sesuatu yang dilarang/pantrang, harus mengucapkan seperti ini “utun inji hayu urang motongan hayam, tapi kale ulah saptotongna lamun lain potonganana” (*utun inji ayo kita potong ayam, tapi hati-hati jangan asal potong)

--o0o--
* Biasanya bayi yang masih dalam kandungan disebut utun inji.

Seperti itulah ritual masa kehamilan yang ada di tatar Sunda. Hasil alih bahasanya mungkin jauh dari sempurna. Tapi kenapa saya keukeuh peuteukeuh penterjemahkannya, sekalipun bukan tukangnyah. Pertama, kalo masih pake bahasa Sunda, takutnya sobat yang sempat berkunjung tak paham maksudnya (siga cina dipangwayangkeun). Seperti postingan dongeng Sunda, tak sedikit yang kurang paham. Tapi biarkanlah itu hanya untuk para orang tua (bapa jeung ema) Sunda ngantar anaknya keperaduan. Kedua, maksudnya inih mah biar kelihatan lebih beragam sajah tentang artikel kasundaan. (begitulah kira-kira teori pembenarannya, jangan ada yang protes atuh yah! …sayah mah ngan saukur ngiring jabung tumalapung …hehehe..)

Lagu Enam Album Hijau Iwan Fals (1992)

Lagu Enam Album Hijau Iwan Fals (1992)
cover album hijau
Lagu Enam merupakan salah satu lagu di kantung album Hijau Iwan Fals produksi Pro Sound (1992). Lagu yang berkisah tentang kerinduan dan lebih dekat dengan kegelisahan seseorang akan bentuk dan jenis mainannya semasa kecil dulu.

Lirik “Lagu Enam” yang saya simpan di arsip kula, untuk mengenang kembali kaulinan/mainan lawas seperti: kuda-kudaan maupun bedil-bedilan (senjata) dari pelepah pisang/palapah cau. Sekaligus menjadi sebuah kekhawatiran. Menurut sumber: komunitas pemerhati kaulinan barudak, kaulinan barudak/permainan anak-anak khususnya di Jawa Barat banyak yang telah punah.

Di bawah ini lirik lagunya:
Lagu Enam

Kemana perginya mainanku ?
Mobil mobilan dari kulit jeruk
Kuda kudaan dari pelepah pisang
Entah kemana perginya

Sekarang sulit membedakan
Mana mainan mana sungguhan
Semua mahal
Semua harus dibeli di toko toko penggoda hati

Minta ampun harga mainan kini
Ada yang seharga gaji menteri
Terbuat dari plastik maupun besi
Hanya untuk gengsi anak bayi

Tak ada lagi bocah berkreasi
Semua sudah tersedia
Mereka menjadi cengeng dan manja
Kejernihan otaknya pun sirna

Mana mainanku yang dulu ?
Aku ingin melihat bentuknya
Aku ingin mengingat nama namanya
Yang pernah akrab dengan kehidupan ini
Nah begitulah kira-kira ungkapan rasa sono/rindu barudak baheula akan mainan semasa kecil dulu.

salam

Kesenian Tradisi Rengkong Hatong

Kesenian Tradisi Rengkong Hatong
RETNO HY/PR
Kesenian tradisional rengkong hatong yang pernah hidup di masyarakat agraris Bogor, Cianjur, dan Sukabumi pada awal tahun 1900-an digelar di Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat (BPTB Jabar), Bnadung, Sabtu (29/9) malam.
Rengkong hatong merupakan kesenian tradisi masyarakat agraris yang pernah hidup di daerah Bogor, Cianjur, dan Sukabumi pada awal 1900-an. Seiring dengan terus bergulirnya waktu dan berubahnya zaman, rengkong hatong terus tinggalkan para pelakunya

Pergelaran kesenian rengkong hatong diawali dengan “kidung bubuka” yang dibawakan oleh sesepuh kampung atau orang yang dituakan. Seusai semua doa dan pujian dipanjatkan, kaum pria yang membawa geugeusan (ikatan) padi dengan menggunakan rengkong (bambu pemikul) berjalan perlahan.

Gesekan tambang dari ijuk dengan bambu pemikul menimbulkan suara sangat seperti katak sedang bercengkerama. Tidak lama bersama dengan semakin ramainya suara rengkong, beberapa pria lainnya yang mendampingi wanita membawa air dari wadah bambu (bumbung) padi dengan menggunakan hatong, hingga menimbulkan suara saling bersautan.

Bah Mahat (kelahiran 1923) yang sudah memainkan seni rengkong hatong sejak usia 15 tahun. Menuturkan bahwa rengkong hatong berasal dari dua kata yaitu, rengkong dan hatong. Rengkong adalah sejenis alat yang digunakan untuk mengangkut padi yang berbentuk tanggungan (pemikul) terbuat dari bambu guluntung (satu batang utuh) dengan panjang sekitar 2,8 m dan ukuran lingkaran 30 cm.

Sedangkan hatong adalah sejenis alat tiup yang terbuat dari bambu tamiang, terdiri atas beberapa ruas yang disusun menjadi sebuah alat tiup. Biasanya untuk kesenian rengkong hatong, dipergunakan dua hatong dengan tiga bambu tamiang berukuran 5 hingga 8 cm sebagai nginungan, tiga hatong dengan 12 bambu sebagia dalang, serta goong bumbung yang berfungsi sebagai gong.

Seperti kesenian rengkong pada umumnya, rengkong hatong juga berfungsi sebagai sarana upacara ritual mengarak padi dari sawah ke lumbung. Biasanya digunakan saat tradisi pesta panen, yaitu bentuk kegiatan untuk menghormati Dewi Sri.

Rengkong digunakan untuk mengantarkan padi dari sawah ke lumbung atau alat yang digunakan untuk mengangkut padi dari sawah ke lumbung (tempat penyimpan padi). Sedangkan hatong adalah alat tiup uang terbuat dari bahan bambu tamiang yang berfungsi sebagai musik mengiring dan juga sebagai pengusir hama.

Sebelum dilaksanakan upacara mengangkut biasanya suka diadakan dahulu upacara ritual mipit yaitu dengan cara menyajikan sesajen rurujakan.

Tradisi dilakukan berharap pada keridaan alam akan tanaman padi yang hendak dipanen memilki manfaat dan diberkahi oleh Mahakuasa melalui Dewi Sri (Dewi padi). Dengan demikian, berkah itu sampai kepada tanah, air, tumbuhan padi dan manusia.

Sumber: Retno HY/”Pikiran Rakyat”***

Sasakala Biruang Jadi Galak :: Dongeng

Sasakala Biruang Jadi Galak :: Dongeng
ilustrasi: Mangle
Baheula mah biruang atawa ontohod téh béjana bageur, malah sok daék tutulung ka jelema. Di handap ieu aya dongéng hiji biruang jeung jurutani

Aya hiji jurutani boga sawah di sisi leuweung, sarta sosobatan jeung biruang. Waktu sawahna dipelakan paré, unggal peuting sok dijaga jeung dironda ku biruang. Atuh senang jurutani téh, datangna ka sawah ti beurang wungkul, henteu kudu katiisan kaibunan.

Kacarita waktu dibuat (ngala paré), buru-buru jurutani ngakut paré ka lembur, dibunikeun di imahna. Di sawahna teu ditinggalkeun saranggeuy-ranggeuy acan. Barang biruang ka sawah, kacida kagéteunana, nénjo paré kari jaramina wungkul. Gancang baé biruang téh ka jurutani nanyakeun paré bagianana. Ku jurutani dijawab yén bagian biruang ka handapna, ari ka luhurna geus béak kabéh didahar ku manéhna saanak pamajikan. Biruang asa katipu, da tadina ngajaga sawah sotéh ngarah kabagian paréna lain jaramina.

“Lamun sampéan rék muruhan ku jarami kula moal daék mangjagakeun ti peuting nepi ka bagong jeung beurit taya nu ngulampreng, da hayang sotéh ku paré,” ceuk biruang.

“Hampura wé sakadang biruang, sabab geus béak, keun taun hareup mah bagian kula ti handapana, anjeun ka luhurna,” ceuk jurutani.

“Hadé ari kitumah, ngan ulah jalir,” ceuk biruang.

Kocapkeun taun hareupna, jurutani di sawahna melak kumeli (kentang) lain paré. Biruang wantuning sato, teu nyahoeun bédana paré jeung kentang. Samarukna kumeli gé sok buahan kawas paré, nepi ka manéhna kabagéan luhurna. Sajero sakitu lilana, biruang suhud pisan tungguna, unggal peuting tara elat. Bray beurang kakara asup ka leuewung.

Jurutani lain kakara melak kumeli téh. Manehna apal pisan iraha waktu beutian. Dina waktuna, kumeli téh dirabut ku jurutani jeung pamajikan katut tatangana. Méméh magrib téh geus anggeus teu aya satangkal-tangkal acan. Beutina geus diringkid ka lembur.

Biruang, datang ka sawah nyampak kumeli tangkalna wungluk katut daunna ditumpuk-tumpuk. Unggal tumpukan ku biruang diguarkeun sugan aya hakaneunana, tapi lapur teu manggih naon-naon. Kakara manéhna ngarti, yén bagian handapna kumeli mah nu ngeunahna téh, nya éta tangtu anu geus diringkid ku jurutani ka imahna ogé.

Ayeuna biruang yakin yén jurutani téa teu beunang dipercaya, teu beunang di pikasobat. Manéhna ngomong jero haténa, “Aing sumpah nepi ka turun tumurun, jadi musuh jeung jelema. Lamun jelema datang ka leuweung, sina ngarasa pamales sobat nu geus ditipu.” Ti harita tug ka kiwari, biruang téh sato galak henteu beunang diheureuyan jelema. Kukuna jeung huntuna pohara pasakana, tanagana kacida pisan bedasna lain lawaneun jelema lumrah.** (Tina “Dongéng Sasakala” Rd. Satjadibrata / Galura)

Motif dan Penggunaan Ragam Hias Kasumedangan

Motif dan Penggunaan Ragam Hias Kasumedangan ini, arsip kula peroleh dari Lampiran Peraturan Bupati Sumedang Tahun 2009 Tentang Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS).

Motif khas ragam hias ini digunakan pada: 1) kain motif Kasumedangan; 2) gapura, gedung perkantoran, rumah tinggal dan bangunan-bangunan lainnya yang bersifat fisikal; 3) berbagai jenis kerajinan, cindera mata, dan karya seni lainnya. Penentuan dan pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan ragam hias Kasumedangan, ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

- Mahkota Binokasih. Merupakan lambang kekuasaan kerajaan Pajajaran yang diserahkan kepada Prabu Geusan Ulun oleh 4 (empat) orang Kandaga Lante.

Mahkota Binokasih

- Kujang. Merupakan alat pertanian masyarakat Sunda tempo dulu serta Lambang Jawa Barat

kujang

- Ragam Hias Pajajaran. Merupakan bukti bahwa Sumedang Larang merupakan penerus Kerajaan Pajajaran.

Ragam Hias Pajajaran

- Lingga. Merupakan tinggalan budaya untuk memperingati jasa dan kebesaran Pangeran Aria Soeria Atmadja dalam mensejahteraan masyarakat Sumedang.

lingga

- Garuda Mungkur. Merupakan ragam hias khas Kasumedangan yang terdapat dalam beberapa tinggalan budaya di Museum Prabu Geusan Ulun.

Garuda Mungkur

- Manuk Julang. Merupakan ragam hias khas Kasumedangan yang terdapat dalam beberapa tinggalan budaya di Museum Prabu Geusan Ulun.

Manuk Julang

- Naga. Merupakan ragam hias khas Kasumedangan yang terdapat dalam beberapa tinggalan budaya di Museum Prabu Geusan Ulun.

Naga

- Hanjuang. Merupakan tumbuhan yang menjadi pertanda perjuangan Mbah Jaya Perkasa dalam mempertahankan kehormatan masyarakat Sumedang.

Hanjunang

- Kembang Cangkok Wijaya Kusumah. Merupakan ragam hias khas Kasumedangan yang terdapat dalam beberapa tinggalan budaya di Museum Prabu Geusan Ulun.

Kembang Cangkok Wijaya Kusumah

- Teratai. Merupakan ragam hias khas Kasumedangan yang terdapat dalam beberapa tinggalan budaya di Museum Prabu Geusan Ulun.

Teratai

Demikian sebagian isi Lampiran Peraturan Bupati Sumedang 2009. Apabila ada sobat pengunjung yang lebih paham tentang peraturan di atas, mohon koreksi untuk kekurangannya atau informasinya jika ada perubahan peraturan.

salam

Keberagaman Busana Pengantin di daerah Jawa Barat

Keberagaman Busana Pengantin di daerah Jawa Barat
Foto: Pikiran Rakyat
Budayawan Elis Suryani menyebutkan bahwa kekhasan daerah itu tampak dari busana pengantin yang digunakan. Dari busana yang dikenakan itu terlihat adanya percampuran budaya yang tumbuh di wilayah tersebut.

Di dalam buku Pesona Busana Pengantin dan Batik di Jawa Barat yang diterbitkan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat digambarkan perbedaan pernikahan adat di Jawa barat.

Pengaruh Betawi dan Melayu tampak dalam busana pengantin di Bogor dan Bekasi . Pengantin lelaki Bogor biasanya mengenakan kopiah putih, sedangkan pengantin perempuannya mengenakan gaun berwarna merah. Gaun ini menandakan adanya pengaruh Eropa terhadap budaya di wilayah Bogor. Tatanan rambutnya dihiasi deretan kembang goyang khas Betawi. Untaian bunga sedap malam yang selalu ada dalam pernikahan adat sunda pun turut terpasang. Uniknya kedua pasangan mengenakan kacamata hitam selama upacara dilangsungkan.

Di Karawang, meskipun busananya tampak dipengaruhi oleh adat Melayu dan Betawi, masyarakat setempat menyebutnya sebagai pakaian pernikahan khas pesisir. Menururt Kepala Dinas pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang Acep Jamhuri, yang khas dari mempelai perempuan adalah hiasan di kepala yang sering disebut kembang gede. Hiasan di kepala itu terbuat dari perak dan disususn dalam tiga undakan. Seperti Bekasi dan Bogor, kedua mempelai juga mengenakan kacamata hitam selama upacara pernikahan.

Sementara itu, di wilayah Priangan, seperti Bandung, Garut, Ciamis, Tasikmalaya, dan Sumedang, pakaian pernikahan mengikuti gaya berbusana bangsawan. Contohnya Sumedang dengan busana pernikahan mengadopsi busana yang dikenakan oleh Prabu Sumedanglarang. Sementara busana pengantin Bandung dipenuhi oleh aksesori dibagian sanggul yang dikenakan mempelai wanita. Mempelai pria mengenakan beskap yang dihiasi tempelan dasi kupu-kupu serta bendo. Kedua mempelai juga menggunakan selop tertutup.

Wilayah yang bersisian dengan Jawa Tengah yaitu Cirebon dan Indramayu, busana pengantinya dipengaruhi oleh wilayah tetangganya tersebut. Busana pengantin Cirebon dikenal sebagai busana kepangeranan dan busana pengantin kebesaran. Busana kepangeran ditandai dengan pemakaian rompi tanpa tanpa lengat dan berkancing tiga. Pemakaian dipadukan dengan selop tertutup. Sementara untuk busana kebesaran, pengaruh dari Jawa tengah sangat terlihat yakni dengan mengenakan bawahan dodot kesatria.

Sumber: Lia Marlia – Weyatini/*Pikiran Rakyat***

Wayang Cepak, Kesenian Warisan Sunan Gunung Djati

Wayang Cepak Kesenian Warisan Sunan Gunung Djati
RETNO HY / PR
Ki Dalang Atik Rasta Prawira (62) memainkan wayang pada pergelaran kesenian tradisional wayang cepak, di lapangan parkir RT 01 RW 01 Kel. Sukaraja, Kec Cicendo, Kota Badnung, Selasa (18/9) malam.*
Setelah sebelumnya arsip kula menyimpan artikel seni wayang tradisi Sunda; Wayang Golek dan Wayang Purwa, serta seni wayang tradisi Jawa; Wayang Purwa Jawa

Pada kesempatan kali ini, akan diarsipkan sebagian artikelnya Retno HY yang mengulas tentang wayang cepak, dimuat di media cetak Pikiran Rakyat (Rabu, 26 September 2012).
--oOo—

Kesenian wayang cepak merupakan warisan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati. Sekitar tahun 1500-an wayang cepak dijadikan sarana untuk menyebarkan ajaran agama Islam oleh Sunan Gunung Djati.

Perbedaan wayang cepak dengan wayang golek ataupun lainnya ada pada ornamen hiasan pada kepalanya (topi), cepak (rata) sejajar dengan bagian atas kepalanya. Berlainan dengan wayang golek purwa yang berkembang di Priangan. Ornamen pada kepalanya mengenakan makuta (mahkota, crown) yang berbentuk nyungcung (piramida), dan berbentuk telekung (melengkung).

Ornamen yang dikenakan sebagai penutup kepala (topi) pada wayang cepak, ada yang mengenakan destar (penutup kepala dari kain yang umumnya dikenakan ulama Islam), dan ada pula yang mengenakan bendo (penutup kepala dari kain batik yang umumnya dikenakan oleh ningrat Sunda). Karena mengenakan bendo itulah, wayang cepak dari Cirebon disebut juga wayang bendo.

Sementara itu, cerita yang dibawakan dalam pertunjukannya mengadaptasi dari hikayat sastra Arab, diantaranya cerita Amir Hamzam dan Rangganis. Itulah yang menyebabkan wayang cepak sering diebut wayang Arab. (Retno HY/PR)
--oOo—


Dapat Hadiah Lewat SMS, Den

alt
Plgn x-xxx Yth slmt no pin Anda xxxxx mndptkan Hadiah Poin U/info
www[dot]xxxx-xxxxxxxxx[dot]blogspot[dot]com
Atau Hub:
xxx-xxxxxxxx, xxx-xxxxxxxx


Itu isi SMS yang saya terima hari Senin (01-10-2012). Bukan kali pertama saya mendapat SMS atau pun dihubungi langsung dengan iming-iming mendapat hadiah. Tapi kata-kata seperti SMS di atas adalah model terbaru yang saya terima, yang sebelumnya isi (SMS) hanya disuruh menghubungi nomor tlp, atau dengan kalimat “pengundian telah ditarik/dilakukan semalam di salah satu TV swasta Nasional”.

Saya penasaran ingin tahu seperti apa isi blog yang disebut dalam SMS itu. Ternyata hadiah utamanya 1 mobil mewah, hadiah lainnya mobil, dan puluhan juta rupiah.

Semua pada tahu, operator seluler yang cukup ternama di negeri ini punya website sendiri. Tapi kenapa untuk pengumuman hasil undian dengan seabrek hadiah malah di blog gratisan (seperti yg saya punya).

Maaf saya kalau sedikit ragu dengan isi SMS itu, soalnya datanya cuma nomor pin (itu pun saya tak tahu cara ngecek nmr pin). Padahal waktu registrasi kartu, saya isi sesuai dengan yang ada di KTP. Jadi kalo bisa mah, nanti-nanti buat yang mau ngirim hadiah lewat SMS, tolong datanya yang komplit sesuai saat registrasi (biar meyakinkan gituh, Herang caina beunang laukna). Oh iyah saya minta maaf sekali lagi buat si pengirim SMS, karena saya tak mengikuti anjuran untuk menghubungi nmr tlp yang Anda cantumkan.

Tapi ada hal yang sangat penting. Jujur, dari dulu saya ingin masukin di arsip kula gambar HP jadul milik saya ini (rajakaya eta téh,Den). Gara-gara SMS nyasar ke HP ini (bari jeung teu nyambung gé nu penting eksis), akhirnya ke-sampe-an juga, hatur tengyu yah!!!!.

Sebagai sebuah penghargaan, terucap terima kasih buat pengirim SMS berhadiah ini, paling tidak Anda telah menghibur (tahu ajah sayah lagi ga punya duit).

salam

”Labuh” musim peralihan Pranata Mangsa Sunda

Labuh, begitu istilah dalam pranata mangsa Sunda untuk menyebut keadaan alam (musim peralihan) antara di akhir musim kemarau awal musim hujan. Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) disebut pancaroba. Musim peralihan dikarenakan pergantian musim kemarau ke musim hujan.

Dalam kalender Masehi usum (musim) labuh minggu akhir bulan September sampai minggu akhir Desember. Kalau dalam kalender Sunda, mulai budan Kadasa, Hapitlemah sampai bulan Hapitkayu. Berdasarkan hitungan putaran Bumi mengelilingi Matahari atau Suryakala.

Kalender Sunda mengenal dua sistem penanggalan Suryakala dan Candrakala. Candrakala berdasar pada putaran bulan mengelilingi Bumi. Kedua sistem ini memiliki fungsi masing-masing, Suryakala sifatnya bertalian dengan alam.

Bulan Kadasa memasuki usum labuh, angin datangnya dari arah barat laut. Pepohonan yang berbuah setahun sekali, seperti rambutan, mangga mulai berkembang. Burung pipit dan manyar mulai menyiapkan sarang buat bertelur. Masa kawinnya binatang berkaki empat (domba, sapi, kerbau, dsb), ikan-ikan mulai keluar dari persembunyiannya.

Petani membuka ladang (huma) untuk ditanami padi dan palawija. Bulan Hapitlemah, angin datang dari arah selatan, pepohon banyak yang tumbang dikarenakan angin yang cukup kencang berhembus. Curah hujan lebat.

Bulan hapitkayu, angin datang dari arah barat. Frekwensi hujan mulai sering dibarengi kilat dan petir. Buah-buahan mulai matang. Petani mulai sibut mengolah sawah, kebun, lading (huma). Habis Hapitlemah mulai masuk musim hujan: bulan kasa, Karo, sampai bulan Katiga. Musim mamaréng (curah hujan mulai berkurang) atau dangdarat.

Dahulu siklus alam, usum-usuman (musim): usum halodo (kemarau), labuh (pancaroba), hujan, dan mamaréng, tetap tidak berubah. Setiap musim memiliki karakter sendiri-sendiri yang sangat bermanfaat untuk kelangsungan kehidupan di bumi; manusia, tumbuhan dan binatang. Tapi sekarang …..? (sumber: NS – Galura)