Puasa dan Detoksifikasi Alami

Puasa dan Detoksifikasi Alami
SALAH satu manfaat puasa yang kerap menjadi perhatian para ahli gizi serta kedokteran adalah terjadinya proses detoksifikasi tubuh selama puasa berlangsung. Detoksifikasi adalah proses normal tubuh mengeluarkan racun-racun melalui ginjal, paru-paru, hati, pankreas, serta kulit.

Proses detoksifikasi itu berlangsung, yaitu ketika puasa, di saat tubuh tidak mendapatkan asupan makanan dari luar, tubuh mulai merombak lemak untuk diubah menjadi energi. Pada proses ini, racun-racun yang bertumpuk di dalam lemak tubuh, mulai dieliminasi seiring organ-organ tubuh dan hormon-hormon tubuh berproses mengubah lemak menjadi energi.

Walaupun sesungguhnya tubuh kita mempunyai kemampuan untuk mengeliminasi zat-zat racun yang masuk ke dalam tubuh, namun proses tersebut akan jadi tidak efektif selama tubuh masih mendapat asupan racun lewat makanan. Saat berpuasa proses tubuh mengeliminasi racun akan berjalan lebih efektif karena organ-organ pencernaan tubuh tidak menerima tambahan asupan racun yang bisa masuk lewat makanan, selama kurang lebih 13 jam.

Organ pencernaan pun akan bersih, tidak terjadi kontak dengan racun dalam makanan yang biasanya memenuhi organ-organ ini, karena setelah bekerja 8 jam memproses makan sahur, organ-organ pencernaan istirahat. Dengan istirahatnya organ-organ pencernaan, kerja organ lain seperti hati, ginjal, pankreas, paru-paru dan kulit dalam mengeluarkan racun bisa lebih efektif.

Bahan beracun yang masuk ke tubuh kita bersama makanan bisa bersumber dari hal:
  1. Secara alami terdapat di dalam makanan itu sendiri seperti antitrypsin asam jengkolat pada jengkol, atau hermaglutinin pada kacang-kacangan mentah.
  2. Akibat reaksi-reaksi kimia dari komponen pangan yang terjadi selama proses pengolahan dan penyimpanan. Seperti akrilamida, zat karsinogen yang terbentuk saat bahan pangan berubah warna jadi coklat tua hingga gosong, atau mutasi dari bahan makan yang asalnya tidak berbahaya, karena salah dalam perlakuan proses memasak maka bermutasi menjadi bahan pangan berbahaya, seperti monosodium glutamat (MSG) yang akan berubah struktur menjadi senyawa karsinogen jika dipanaskan melampaui 120°C.
  3. Akibat penambahan senyawa tertentu selama proses pengolahan pangan, misalnya penggunaan bahan tambahan pangan (food additives) secara berlebihan, atau bahkan menggunakan bahan kimia bukan untuk makanan yang membahayakan kesehatan tubuh.
  4. Akibat migrasi senyawa beracun dari wadah/kemasan ke dalam makanan, seperti monomer dari plastiok atau logam-logam berat yang biasa terkandung dalam kemasan makanan-makanan tertentu.
  5. Akibat kontaminasi dari lingkungan yang tidak sehat, berupa kontaminasi senyawa kimia yang beracun atau mikroba penghasil racun.

Jika tubuh kita selama 9 bulan (di luar bulan Ramadan) terus menerus memperoleh asupan bahan makanan yang mengandung toksik, maka unsur-unsur toksik tersebut menjadi bahan berat bagi tubuh, tubuh dipaksa bekerja ekstra untuk mengeluarkan racun-racun tersebut. Akibatnya, daya tahan tubuh pun melemah, sehingga kita mudah diserang berbagai penyakit.

Lain halnya saat kita berpuasa, kerja tubuh membersihkan racun di siang hari tidak dibebani lagi oleh asupan makanan lain, sehingga proses pemecahan lemak yang mengandung racun-racun terperangkap bisa berlangsung optimum. Bahkan kandungan vitamin-vitamin yang berlebih yang terperangkap dalam lemak tubuh seperti vitamin A, D, E, dan K, juga dapat ikut terbuang.

Mekanisme proses detoksifikasi tubuh melalui puasa satu bulan ini, berlangsung terus menerus secara perlahan-lahan, sehingga menyebabkan naiknya daya tahan tubuh, yang ditandai oleh naiknya HDL (kolesterol baik) dan menurunnya LDL (kolesterol jahat), aliran darah menjadi lancar, menyebabkan proses-proses regenerasi sel dan peremajaan organ-oragan tubuh pun berlangsung lancar.

Saat berpuasa, tubuh mendapat asupan karbohidrat, sehingga proses pembakaran karbohidrat yang melibatkan oksigen pun tidak berlangsung. Ini berarti tubuh terbebas dari radikal-radikal bebas yang biasanya timbul sebagai hasil samping pada proses pembakaran karbohidrat bersama oksigen. Terbebasnya tubuh dari radikal bebas aakan membuat ringan kerja tubuh melangsungkan proses-proses detoksifikasi tubuh.

Beberapa studi medis menunjukkan, puasa juga bermanfaat untuk mengendalikan pertumbuhan jaringan yang abnormal pada tubuh, seperti tumor. Tumor menjadi kekurangan nutrisi, sehingga menjadi lemah, akan lebih mudah bagi tubuh untuk memecahnya, dan mengeluarkannya dari tubuh. Hilangnya beban toksik dan radikal-radikal bebas yang mengganggu, memungkinkan tubuh untuk memanfaatkannya sumber daya di dalam tubuh, untuk fokus pada pembangunan kembali hingga ketingkat mikroskopis seperti DNA dan RNA. Proses DNA dan RNA mentranskripsikan protein menjadi lebih cepat.

Selain mengaktifkan tubuh untuk memecah lemak, puasa pun dapat mengaktifkan hormon-hormon positif penunjang metabolisme tubuh menjadi lebih berperan secara optimal.

Sumber: Y Zakiah A, alumnus FMIPA Unpad /*Pikiran Rakyat**, Kamis 26 Juni 2014

Saung Angklung Udjo

UDJO Ngalagena adalah seorang seniman asal Jawa Barat yang mendirikan Saung Angklung Udjo. Sejak kecil, almarhum Udjo sudah memperlihatkan bakatnya dalam dunia seni budaya, terutama dalam alat musik tradisional angklung. Ia juga mewariskan bakatnya ini kepada anak-anaknya.

Saung Angklung Udjo
Illistrasi: Fian/*PR*
Lokasi : Jalan Padasuka 118, Kota Bandung
Berdiri: 1966
Waktu pertunjukan reguler: Setiap hari pukul 15.30-17.00
Paket kunjungan Saung Angklung Udjo: 1. Pertunjukan Bambu dan Kesenian Sunda
2. Program Setengah Hari di Saung Angklung Udjo
3. Workshop Angklung
Setiap sore, Udjo mengajarkan kesepuluh anaknya bermain angklung di halaman rumahnya di jalan Padasuka, Bandung. Di luar dugaan, permainan angklung yang kerap dilakukan Udjo bersama anak-anaknya ini ternyata menarik perhatian banyak orang yang melihatnya. Permainan angklung mereka pun bahkan tersiar hingga ke luar negeri. Wisatawan asing pertama yang datang ke kediaman Udjo untuk melihat permainannya secara langsung itu berasal dari Prancis.

Melihat antusiasme orang-orang yang menonton serta kecintaan Udjo pada seni dan budaya, akhirnya Udjo bersama istrinya, Uum Sumiati, mendirikan sanggar kesenian yang kini dikenal dengan Saung Angklung Udjo. Sejak sanggar ini didirikan pada 1966, jumlah pengunjung, baik lokal maupun mancanegara yang datang ke Saung Angklung Udjo terus mengalami peningkatan. Permainan yang ditampilkan semakin beragam. Wisatawan pun mulai banyak yang tertarik belajar angklung di Saung Angklung Udjo. Tak jarang, Saung Angklung Udjo juga dipanggil ke luar negeri untuk menunjukkan kebolehannya di sana.

Pada 3 Mei 2001, Udjo menghembuskan napas terakhirnya. Langkah Udjo dalam melestarikan dan mengembangkan budaya Sunda lewat Saung Angklung Udjo pun dilanjutkan oleh anak-anaknya hingga sekarang. Berkat kekompakan anak-anaknya, Saung Angklung Udjo semakin berkembang. Awalnya, saung seukuran 100 meter persegi yang dulu dibuat Udjo untuk pertunjukan di rumahnya, berubah menjadi Bale Karesmen yang kini bisa menampung hingga 2.000 penonton sekaligus.

Dihalaman samping kanan terdapat panggung terbuka untuk para penonton dalam jumlah terbatas. Di halaman belakang terdapat bengkel kerja pembuatan angklung. Bengkel kerja ini melibatkan sampai 400 pembuat angklung setiap harinya. Pada bagian pintu masuk pun terdapat berbagai macam cendera mata yang dapat dibeli oleh pengunjung. Sementara itu, pada halaman depannya terdapat tempat makan juga tempat menginap untuk para tamu atau orang-orang yang sedang belajar angklung di sini.

Sejak dulu hingga sekarang, daya tarik Saung Angklung Udjo tak pernah padam. Bahkan, setiap harinya Saung Angklung Udjo menyediakan paket pertunjukan bambu dan kesenian Sunda dalam empat sesi pementasan. Kini, Saung Angklung Udjo menjadi salah satu objek wisata budaya di Bandung yang menghadirkan pertunjukan kesenian sekaligus sebagai pusat kerajinan bambu dan workshop alat musik bambu.

Sumber: Mayang Ayu Lestari/Periset *Pikiran Rakyat** Minggu, 13 April 2014

Situ Cileunca – Pangalengan (Bandung)

PADA masa Pemerintahan Hindia Belanda, Situ Cileunca menjadi salah satu sumber listrik bagi Kota Bandung. Air dari Situ Cileunca dialirkan ke sungai buatan untuk menjadi penggerak turbin tiga pembangkit listrik tenaga air (PLTA) utama di Pangalengan. Listrik dari PLTA tersebut disebut-sebut merupakan listrik pertama yang dapat dinikmati oleh penduduk di wilayah ini, termasuk dimanfaatkan para preanger planter (pengusaha perkebunan). Sebelum menjadi situ atau danau buatan, kawasan ini merupakan area hutan belantara milik seorang Belanda bernama Kuhlan. Tahun 1918, area hutan tersebut direncanakan untuk dibangun situ dengan tujuan awal untuk memenuhi kebutuhan air bagi warga setempat. Pemerintah Hindia Belanda pun kemudian membangun situ tersebut pada tahun berikutnya, yakni tahun 1919.

Situ Cileunca – Pangalengan (Bandung)
Illistrasi: Fian Afandi/*PR*
Lokasi : Desa Warnasari, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung (45 km sebelah Kota Bandung
Ketinggian : 1.550 mdpi
Luas: 180 hektare
Kedalaman: 17 meter
Suhu: 15-25° Celsius
Sumber Air: Situ Cipanunjang, Sungai Cilaki Beet, dan Sungai Cibuni Ayu
Untuk membangun situ, aliran sungai yang ada di sekitar situ dibendung. Konon, pembangunan situ tersebut tidak menggunakan cangkul melainkan alu atau halu dalam bahasa Sunda. Tak sedikit orang yang dikerahkan untuk mengerjakan pembuatan situ tersebut. Atas perintah Hindia Belanda, proyek ini pun dikomandoi dua orang terpercaya, yaitu juragan Arya dan Mahesti. Hingga tujuh tahun lamanya, tepatnya pada tahun 1926, Situ Cileunca baru benar-benar rampung. Situ yang terletak diantara Desa Warnasari dan Desa Pulosari ini pun membentuk bendungan hingga akhirnya diberi nama Dam Pulo.

Tahun 1930, pemerintah mendirikan bangunan pengontrol ketinggian air di Situ Cileunca. Air dari bangunan pengontrol ini kemudian mengalir ke sungai buatan Palayangan, lalu menjadi salah satu sumber air yang digunakan untuk menggerakkan turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Plengan, Lamajan, dan Cikondang. Dari ke tiga PLTA ini dihasilkan daya listrik sekitar 5,5 MW. Tak hanya menjadi sumber listrik, kapasitas situ yang mencapai 9,89 juta meter kubik pun menjadi cadangan sumber air bersih bagi Kota Bandung.

Dari segi panorama, Situ Cileunca memiliki keindahan yang tak kalah menarik untuk dijadikan objek wisata.hamparan perkebunan teh dan pegunungan yang memanjakan mata menjadai latar belakang Situ Cileunca. Situ Cileunca dikelilingi dua perkebunan teh Malabar dan tiga gunung yang berdiri kokoh, yaitu Gunung Windu, Gunung Malabar, dan Gunung Wayang. Untuk lebih menikmati pemandangan Situ Cileunca, pengunjung dapat menyewa perahu mengelilingi situ. Pengunjung pun dapat menyambangi kebun stroberi dan arbei yang berada di seberang Situ Cileunca. Bagi menyuka wisata menantang, tersedia olahraga arung jeram yang mengarungi Sungai Palayangan sepanjang 7 kilometer atau permainan ekstrem lainnya seperti flying fox. jika hanya ingin bersantai, area berkemah dekat danau pun dapat menjadi pilihan pengunjung.

Sumber: Kania DN/*Pikiran Rakyat** Minggu, 2 Desember 2012

MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN: Menyimpan Jejak Sumedang Masa Lalu

BUKU Waruga Jagat merupakan salah satu naskah kuno yang menjadi koleksi Museum Prabu Geusan Ulun Kabupaten Sumedang. Naskah kuno tersebut dibuat oleh Mas Ngabehi Paranah warga Sumedang. Umur naskahnya diperkirakan sudah mencapai 300 tahun.

MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN: Menyimpan Jejak Sumedang Masa Lalu
Mahkota Binokasih (foto: google)
Naskah kuno tersebut, menjadi dasar pengambilan tanggal hari jadi Sumedang yang jatuh tanggal 22 April. Tanggal itu berbarengan dengan penyerahan Dinasti Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Ragamulya Suryakancana ke Kerajaan Sumedang Larang yang dipimpin Prabu Geusan Ulun.

Penyerahan tampuk kekuasaan dari Pajajaran ke Sumedang Larang terjadi ketika menjelang keruntuhan Kerajaan Pajajaran sehubungan Pajajaran diserang Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dan Kesultanan Cirebon.

Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan kecil di bawah Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang terpilih menjadi penerus Kerajaan Pajajaran yang berkuasa di tanah Parahyangan. Terpilihnya Kerajaan Sumedang Larang, selain karena kepercayaan dan diperkuat wangsit Raja Panjajaran, juga Sumedang Larang merupakan kerajaan yang sangat kuat yang dipimpin Prabu Geusan Ulun. Dia sosok raja yang gagah berani, bijaksana, berilmu tinggi serta masih keturanan Raja Pajajaran.

Penyerahan tampuk kekuasaan, ditandai dengan penyerahan mahkota Raja Pajajaran bernama Mahkota Binokasih sekaligus penobatan Pangeran Angkawijaya atau Pangeran kusumadinata II dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578-1601) sebagai Raja Sumedang Larang.

Mahkota Binokasih masih tersimpan di museum. Begitu pula semua atribut dan benda-benda pusaka Kerajaan Pajajaran lainnya, seperti halnya kujang dan kereta kerajaan yakni Kereta Naga Paksi. Hanya, keretanya tak utuh lagi. Yang tersimpan di museum berupa rodanya. Setiap acara tertentu replika kereta Naga Paksi selalu diarak dengan barang-barang pusakan peninggalan sejarah lainnya.

Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun merupakan kebebasan Sumedang Larang untuk menyejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon.

Prabu Geusan Ulun saat itu sudah memeluk agama Islam dari orang tuanya, yakni Pangeran Santri atau Pangeran kusumadinata I dari Kesultanan Cirebon dan ibunya Ratu Inten Dewata Pucuk Umum yang sebelumnya Raja Sumedang Larang.

Dalam naskah kuno lainnya, yakni Buku Wawacan yang dibuat RAA Martanegara yang sudah ditik ulang, tertulis cerita sejarah lainnya tentang kisah cinta Prabu Geusan Ulun dengan Putri Harisbaya dari Kerajaan Cirebon. Pernikahannya menimbulkan peperangan antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kerajaan Cirebon. Di masa peperangan, munculah situs Hanjuang di daerah Kutamaya yang dulunya tempat Kerajaan Sumedang Larang. Namun, saat itu Prabu Geusan Ulun mencari tempat aman bersama rakyatnya hingga kerajaan dialihkan ke Dayeuh Luhur di Kecamatan Ganeas,

“Dipuncak Dayeuh Luhur itu lah, tempat makam Raja Sumedang Larang, Prabu Geusan Ulun”, tutur Ketua Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang Rd. Achmad Wiriaatmadja.

Sumber: Adang Jukardi/*Pikiran Rakyat** Selasa, 24 Desember 2013