Kupat (ngaku lepat) Lebaran

Kupat (ngaku lepat) Lebaran
Kupat (ketupat) merupakan makanan khas di Asia Tenggara, terutama Malaysia, Brunai Darusalam, dan Singapura. Jadi bukan hanya ada di Negara kita. Bedanya di Indonesia (umat Islam), ketupat makanan yang tak bisa dilepaskan dengan lebaran (Idul Fitri).

Menurut sakaol yang memperkenalkan kupat (ketupat) adalah Sunan Kalijaga. Kupat asal kata dari ngaku lepat (dalam bahasa Jawa dan Sunda). Kupat (ketupat) simbol dari mengakui kesalahan yang ada pada diri kita. Di Jawa setelah puasa syawal (nyawalan), ada lagi lebaran yaitu ketupat lebaran yang pertama kali diperkenalkan oleh Paku Buwono IV. Saling kirim kuah bersantan dan kupat.

Kupat (ketupat) menganduung arti yang sangat dalam. Bungkusnya terbuat dari anyaman daun kelapa muda (janur). Menurut masyarakat jawa janur singkatan dari sejatine nur. Orang yang melaksanakann puasa dengan dibarengi amal kebaikan termasuk kesesama dengan ikhlas, dirinya akan terlihat bercahaya.

Bentuknya jajaran genjang persegi empat, melambangkan empat hawa nafsu: amarah (emosi), aluamah (nafsu menghilangkan lapar), supiah (nafsu, memiliki hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian), dan mutmainah (nafsu memaksakan diri untuk memperoleh keinginannya, termasuk jabatan). Dengan puasa ke empat nsfsu itu dibelenggu. (sumber: Nanang S., Galura)

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H / 2011 M

Mohon Maaf Lahir Batin

Menyorong Rembulan (Emha Ainun Nadjib dan Mini Kiai Kanjeng)

Menyorong Rembulan
Album Menyorong Rembulan dikeluarkan setelah album Jaman Wis Akhir. Album ini masih menyoroti keandaan bangsa yang waktu itu masih dalam proses perubahan. Perenungan dan pengharapan seorang Cak Nun, dituangkannya dalam Album ini.

Seperti biasanya, saya coba menulis ulang sebagian tulisan yang ada di dalam sampul Menyorong Rembulan

PRODUSER: Akhlis Suryapati. PRODUSER EKSKUTIF: H. Wawan Yuwardi, Dicky Sundri. DISTRIBUTOR: Indomusik. Studio: Ariesta. OPERATORPMIXING: Ferry, Jupri. DESAIN GRAFIS-VIDEO KLIP: Kreativa Entertainmen

Vokal: Emha Ainun Nadjib, Haddad Alwi, Ki Sudrun. Pemusik: Mini Kiai Kanjeng; Novi Budianto (keyboard, rebana, koor, aransemen). Bobit (keyboard, rebana, programmer, arransemen). Yoyok Prasetyo (bas gitar, rebana, koor), Bayu Kuncoro(rebana, koor), Djoko Kamto (rebana, koor). Koor: Kelompok Hamas—Himpunan Masyarakat Shalawat; Fatimah HA, Haydar Yahya, Effendy, Habib Husein, Ali Alical, Abinsa, Chepy, Ridho, Ali Alatas, Salim AF, Husein A, Hasan A, Dolah, Hilman Farkhi, Evey Supriyanto.

Kepemimpinan Blimbing
Hikmah Sunan Ampel

Bangsa Indonesia butuh keluar dari jurang. Butuh mengerti jurang apa yang menyerembabkannya dalam krisis yang sangat berkepanjangan. Butuh mengerti bagaimana cara merangkak naik dari kedalaman jurang. Butuh kesangguhan untuk membebaskan dari jurang secara bersama-sama, bukan sendiri-sendiri atau segolongan-segolongan.

Bangsa Indonesia perlu hijrah, berpindah dari kegelapan menuju cahaya. Bangsa Indonesia perlu memahami bukan hanya cara berhijrah, tapi juga terutama kemana akan berhijrah. Kedua-duanya “cara” dan “kemana” adalah pertanyaan tetang system nilai yang di sisitem nilai yang jelas pilih secara jelas. Perombakan system nilai yang tak jelas itu akan menyebabkan bangsa Indonesia belum mampu menyelenggarakan penyembuhan nasional secara tertata, belum mampu sanggup mengindentifikasi masalah-masalah secara tepat dan adil.

Dari khazanah Sunan Ampel, melalui konsep Ilir-Ilir, ada tawaran Kepemimpinan Blimbing. Negeri yang amat kaya raya namun dimanage secara buruk… Bocah angon (penggembala kebangaaan, pemimpin nasioanl, bukan pemuka gerombolan atau tokoh golongan) yang harus memanjat pohon selicin apapun untuk memperoleh blimbing yang bergigir lima… Sari blimbing itu dipakai untuk mencuci pakaian nasional yang robek (krisis moral yang melahirkan krisis politik.. Mungpung jembar kalangane, mungpung padhang rembulane… sepanjang masih sangat mungkin krisis diatasi..

Mudah-mudahan lantunan Ilir-Ilir dan sejumlah shalawat (agar kita melindungi diri dari tradisi dusta nasional) serta orasi sekitar seperempat jam ini bisa turut menjadi air blimbing untuk proses pencucian dan penyembuhan nasioanal.
Emha Ainun Nadjib
(Ta’zim pada Sunan Ampel, Cinta pada Guru Zaini, Martapura)

Fragmen-fragmen dari Renungan Emha:
“…. Bisakah luka yang teramat dalam ini memenuhi angkasa tanah air nanti akan sembuh, bisakah kekecewaan, bahkan keputusaan yang mengiris-iris hati berpuluh-puluh juta saudara kita ini akan pada akhirnya nanti akan kikis
Adakah kemungkinan kita akan bisa merangkak naik ke bumi, dari jurang yang teramat curam dan dalam
Akankah api akan berkobar-kobar lagi
Apakah asap akan membungbung lagi dan memenuhi angkasa tanah air
Akankah kita semua akan bertabrakan lagi satu sama lain,
Jarah menjarah satu sama lain dengan mengorbankan yang tidak akan terkirakan
Adakah kemungkinan kita tahu apa yang sebenarnya kita jalani
Bersediakah sebenarnya kita untuk tahu persis apa yang kita cari
Cakrawala yang manakah yang menjadi tujuan sebenarnya dari langkah-langkah kita
Pernahkan kita bertanya bagaimana cara melangkah yang benar
Pernahkan kita memcoba menyesali hal-hal yang barangkali memang perlu kita sesali dari perilaku-perilaku kita kemarin
Bisakah kita menumbuhkan kerendahan di balik kebanggaan-keganggaan
Masih tersediakah ruang di dada kita dan di akal kepala kita
Untuk sesekali bertanya kepada diri sendiri, bahwa yang bersalah
Bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa
Bukan hanya ia, tapi juga kita…”

“…. Terserah apa tafsirmu tentang blimling bergigir lima
Tapi selicin apapun pohon reformasi itu harus didaki, agar kita
Peroleh air sari blingbing untuk mencuci pakaian nasional kita
Dan yang memanjat harus “bocah angon”
Tentu saja ia boleh seorang doktor, boleh juga seorang seniman, boleh juga seorang kiai, jenderal, atau siapapun saja
Namun memiliki daya angon
Kesanggupan untuk menggembalakan
Karakter untuk merangkul dan memesrai semua pihak
Determinasi yang menciptakan garis resultan kedamaian bersama
Pemancar kasih sayang yang dibutuhkan dan diterima oleh semua warna, semua golongan, semua kecenderungan
Bocah angon adalah seorang pemimpin naasioanl, bukan tokoh golongan atau pemuka suatu gerombolan….”

“…… ilir-ilir, kita sudah ngilir, kita sudah bangun, sudah bangkit, bahkan kaki kita sudah berlari kesana kemari, namun akal pikiran belum hati nurani belum
Kita masih merupakan anak-anak dari orde yang kita kutuk dimulut, namun kita biarkan ajara-ajarannya terus hidup subur di dalam aliran darah dan jiwa kita
Kita mengutuk perampok dengan cara mengincarnya untuk kita rampok balik
Kita mencerca maling dengan penuh kedengkian kenapa bukan kita yang maling
Kita mencari penguasa lalim dengan berjuang keras untuk bisa menggantikannya
Kita membenci para pembuat dosa besar dengan cara setan yakni
Melarangnya untuk insaf dan bertobat
Kita memperjuangkan gerakan anti pengusuran dengan cara balik menggusurnya
Kita menolak pemusnahan dengan merencanakan pemusnahan
Kita menghujat para penindas dengan riang gembira sebagaimana
iblis, yakni kita halangi usahanya untuk memperbaiki diri
siapakah selain setan, iblis dan dajjal, yang menolak husnul khotimah manusia, yang memblokade pintu sorga, yang menyorong mareka mendekat ke pintu neraka? …”

“…. Sesudah ditindas, kita menyiapkan diri menindas
Sesudah diperbudak, kita siaga untuk ganti memperbudak
Sesudah dihancurkan, kita susun barisan untuk menhancurkan
Yang kita bangkitkan bukan pembaruan kebersamaan, melainkan asyiknya perpecahan
Yang kita bangun bukan niknatnya kemesraan, tapi menggelaknya kecurigaan
Yang kita rintis bukan cinta dan ketulusan, melainkan prasangka dan fitnah
Yang kita perbaharui bukan penyembuhan luka, melainkan rancangan-rancangan panjang untuk menyelenggarakan perang saudara…”

SIDE A
Ilir-ilir & Shalawat Badar
Renungan Ilir-ilir
Astaghfirullah

SIDE B
Nurul Musthofa
Penyembuhan Bangsa
Thoa’al Badru
Menyorong Rembulan
Shalawat Berdiri.

Sekali pun album ini sudah cukup lama dikeluarkan, tapi isinya tak kan usang di telan jaman. Jadi masih layak di dengar dan direnungkan.

Kesederhanaan Hidup Seorang Pemimpin

(Oleh A. HAJAR SANUSI. M. Ag., Pikiran Rakyat)

Bashrah adalah sebuah kota yang dalam perkembangan sejarah Islam menjadi terkenal lantaran di wilayah itu tumbuh dan berkembang gerakan tasawuf mazhab Khasyyah (takut). Hidup zuhud, untuk tidak dikatakan menolak kehidupan duniawi, merupakan bagian penting ajaran tasawuf mazhab ini. Oleh karena itu, tak heran ada suatu peristiwa berlangsung di kota itu.

Ketika itu yang menjadi Amirul Mukminin adalah Ali bin Abi Thalib. Sekalipun kesibukan menderanya setiap waktu, ia tidak pernah melupakan sahabat-sahabatnya. Bahkan, sesekali ia bertandang ke rumah mereka, sebagai upaya menjalin silaturahmi.

Salah seorang yang beruntung karena rumahnya dikunjungi, adalah al-‘Ala’ bin Ziyad al-Haritsi. Rumah al-‘Ala’ terbilang besar, dengan pekarangan yang luas. Maka tak heran kalau kemudian Imam Ali menegur gaya hidup sahabat yang satu ini.

Setelah bertegur sapa dan saling bertanya tentang kesehatan masing-masing. Imam Ali berkata kepadanya, "Apa sesungguhnya yang Anda kehendaki dengan rumah seluas ini di dunia, wahai sahabatku? Bukankah Anda lebih membutuhkan rumah seperti ini di akhirat nanti?"

Belum juga tuan rumah sempat menjawab, Imam Ali sudah melanjutkan dengan nasihat, "Namun, baiklah! Jika Anda ingin memperoleh kebahagiaan akhirat dengan rumah ini, hendaklah Anda lakukan tiga hal: Tuqri fiha al-dhayf {Menghormati dan menjamu tamu yang masuk rumah ini); Wa tashilu fiha al-rahim (Berbuat baik di dalamnya terhadap karib kerabat); Wa tuthli u minha al-huquq mathali’ aha (Anda menampakkan kebenaran yang harus ditampakkan)! Jika demikian halnya, Anda telah menjadikan rumah ini sebagai sarana meraih kebahagiaan akhirat!"

Al- ‘Ala’ bin Zirad al-Haritsi menyimak nasihat itu hamper kata demi kata. Ia tidak berusaha menyela sedikit pun. Yang demikian itu boleh jadi terhalang oleh rasa hormat terhadap Imam Ali, seorang pemimpin besar tetapi hidup dalam kesederhanaan.

Setelah Imam Ali selesai menyampaikan nasihatnya, baru kemudian al-‘Ala' berkata, " Wahai Amirul Mukminin! Aku ingin mengadukan saudaraku, 'Ashim bin Ziyad kepada Anda.". "Memangnya kenapa? Apa yang telah dilakukan saudaramu itu?" tanya Imam Ali.

Al- ‘Ala’ lalu menjelaskan, "Saudaraku itu sekarang mengenakan pakaian aba 'ah (sejenis mantel terbuat dari bahan kasar, lazim dikenakan oleh penduduk dusun). Ia betul-betul telah meninggalkan kenikmatan hidup duniawi, ya Amirul Mukminin!" "Panggillah saudaramu itu kemari!" titah Imam Ali

Sebentar saja, ‘Ashim telah berada di hadapannya. Penjelasan al- ‘Ala’ tentang saudaranya itu benar juga. ‘Ashim tampil dengan pakaian yang dapat dikatakan nyaris compang-camping.
Kepadanya Imam Ali berkata, “Wahai musuh kecil dirinya sendiri! Sungguh engkau telah disesatkan oleh si jahat (setan). Tidakkah engkau menyayangi istri dan anak-anakmu? Apakah menurut sangkaanmu. Allah SWT telah menghalalkan segala sesuatu bagimu yang baik, lalu Dia tidak menyukaimu untuk menikmatinya?

‘Ashim, yang sejak kedatangannya diam, mulai angkat bicara. Ia mengedepankan alasan mengapa dirinya menjalani cara hidup demikian. Ya Amirul Mukminin! Hadza anta fi khusyunah malbasik wa jasyubah ma’kulik (Wahai Amirul Mukminin! Bukankah Tuan ini mengenakan busana kasar dan mengonsumsi roti yang kering (kurang halus) pula" demikian kilahnya. Tampak jelas, ‘Ashim ingin meniru pola hidup sederhana yang dipraktikkan Imam Ali.

Namun, dalam pandangan Imam Ali, cara berpikir ‘Ashim itu kurang tepat. Oleh karena itu. Imam Ali meluruskannya. "Ketahuilah Wahai ‘Ashim! Inni lastu kaannak (Sesungguhnya aku tidak seperti Anda. Dengan kata lain, aku adalah seorang pemimpin). Innallaha faradha ‘ala a’imnah al- ‘adl an yuqaddiru anfusahum bi dha afah al-nas. Kayla yatabayyagha bi al-faqir faqruh (Allah telah mewajibkan atas para pemimpin adil, agar mengukur diri mereka dengan keadaan hidup rakyatnya yang lemah sehingga orang-orang miskin tidak merasa risau dengan kefakirannya).

Demikian percakapan antara Imam Ali sebagai Amirul Mukminin dan sahabatnya. Keterangan itu mengantarkan kita sampai pada beberapa kesimpulan. Pertama, Islam tidak melarang seseorang mempunyai rumah megah, asal diperoleh dengan cara halal.

Namun, jika dengan rumah itu dirinya ingin mendapatkan pahala akhirat, pemiliknya dituntut menunaikan hak-hak rumah itu. Kedua, seorang anggota masyarakat biasa tidak terlarang menampakkan anugerah Allah dalam bentuk gaya hidup dengan selera masing-masing. Sepanjang itu tidak berlebih-lebihan dan tidak berseberangan dengan norma yang berlaku.

Ketiga, kesederhanaan adalah pola hidup yang niscaya bagi seorang pemimpin. Terlebih ketika kesejahteraan masyarakat belum terwujud secara merata. Atau, manakala sebagian besar rakyat masih belum lepas dari deraan kesulitan hidup. Namun, jika dalam kondisi seperti itu, pola hidup seorang pemimpin justru menunjukkan berseberangan, sejatinya yang bersangkutan sudah tidak layak menyandang sebutan pemimpin.

Mungkin gelar penguasa, untuk tak menyebut tiran lebih patut dilekatkan. Adalah hak siapa pun untuk percaya atau tidak, tetapi fakta sejarah mengatakan, pemerintahan yang dibangun atas dasar ketidakadilan, pelan tapi pasti, pasti runtuh.

Untuk itu, pendapat Ibn Taimiyah agaknya relevan untuk dikedepankan. Dalam salah satu karya intelektualnya, al-Amr bi al-Ma ‘rufwa al-Nahy ‘an al-Munkar, pakar keislaman yang dianggap Bebagai pelopor gerakan muhyi atsar al-salaf ini mengatakan, Innallaha yuqim al-dawlah al- ‘adilan wa in kanat kafirah. Wa Ia yuqim al-zhalimah wa in kanat muslimah (Sesungguhnya Allah akan mempertahankan tegaknya suatu pemerintahan adil meskipun ia kafir. Dan Allah SWT tidak akan membiarkan pemerintahan zalim terus berdiri, meskipun berada di tangan kaum Muslim)

Oleh karena itu. waspadalah wahai para pemimpin! jangan sampai turun kedudukan tanpa penghormatan, apalagi disusul sumpah serapah rakyat. Bersikap adil dalam memimpin, adalah solusinya.

Proses Pembuatan Tahu Sumedang

Proses Pembuatan Tahu Sumedang
Postingan ini bukan hal baru. Sebelumnya sudah banyak yang memuat. Bahkan sudah ada yang membukukannya. Saya hanya berharap semakin banyak artikel tentang tahu Sumedang. Akan semakin banyak orang mengetahui keberadaan tahu Sumedang.

Saya pun disini akan coba mengupas secara ringkas proses pembuatan tahu Sumedang. Hasil menelusuran ke tempat pembuatannya.
[Jadinya ingat Tips Wisata Murah. Rupanya salah satu sobat terbaikku ini, hapal betul gurihnya makanan khas Sumedang ini. Maaf sobat saya belum sempat ngirim tahunya ... he-he-he].

Alat yang dipakai antara lain:
- Mesin giling.
- kuali besar.
- Tahang, tempat menyimpan hasil saringan.
- Tangok, alat yang digunakan sebagai alas untuk kain saringan.
- Cetakan terbuat dari kayu.
- Ancak, bentuknya persegiempat, bagian bawahnya dari anyaman
bambu yang sisinya dari bahan kayu.
- Kain saringan.
- Batu balok.
- Dan lain-lain

Bahan baku kacang kedelai ditambah cuka dan garam.

Proses pembuatan:
- Kacang kedelai yang sudah dimasukan ke dalam karung-karung kecil, direndam selama 3-5 jam.
- Kedelai hasil rendaman dicuci sampai bersih.
- Kemudian digiling sambil dikasih air, sehingga menghasilkan aci/bubur.
- Aci kedelai direbus/digodog dalam kuali di atas tungku dengan suhu yang sangat tinggi, kurang lebih 15 menit (selama penggodogan, buih-buih yang ada dibagian atas di buang).
- Hasil rebusan/godogan, disaring ke dalam tahang dengan menggunakan tangok dan kain saringan. Dengan tambahan air pana, untuk dipisahkan ampasnya.
- Hasil saringan di kasih air cuka (cuka bibit) dan didiamkan sampai olahan tahu mengendap. Air sisa rendaman yang ada di bagian atas tahang diangkat/dibuang.
- Olahan tahu diangkat dan dimasukkan ke dalam cetakan yang sudah dipasang kain kasa (ditutup/dibungkus), bagian atasnya dikasih beban (batu balok). Untuk mengurangi kadar air, kurang lebih 5 menit.
- Tahu yang sudah dicetak dipindahkan ke ancak, selanjutnya di potong menjadi bagian-bagian kecil.
- Tahu siap digoreng, setelah direndam air garam selama 3-5 menit.

Sekian dulu sobat (maklum bukan master chef, mengurainya rada-rada blepotan, maaf!!). Apabila sobat-sobat melintas ke Sumedang jangan lupa tahu Sumedangnya.

salam

Tak Jadi Berhaji demi Perut Tetangga

(Oleh: H. USEP ROMLI. H.M., Pikiran Rakyat)

Seusai musim haji. Abdullah bin Mubarrak, seorang ulama termasyhur abad ke-12 (118 M/797 H) tertidur dekat Multazam. Ia seolah-olah mendengar dua malaikat bercakap-cakap, “Ada enam ratus ribu jemaah haji tahun ini, Namun, tidak seorang pun yang mabrur, yang hajinya diterima,” kata malaikat yang satu.

“Ada, seorang. Walau pun tidak datang ke sini, tetapi Allah SWT berkenan memberinya ganjaran haji mabrur,” kata malaikat yang satunya lagi.

“Siapa dia?”

“Ali al Muwaffaq, tukang sepatu miskin di Damaskus.”

Abdulah bin Mubarrak terkejut. Begitu bangun, segera bersuci. Segera melaksanakan tawaf wada, dan segera berangkat ke Damaskus, ingin bertemu Ali al Muwaffaq. Ingin tahu, amal apa yang ia lakukan sehingga mendapat ganjaran haji mabrur tanpa datang ke Mekah. Padahal enam ratus ribu orang yang melakukan wukuf di Arafah, jumrah di Mina, dan rukun serta wajib haji lain, malah mardud. Tertolak hajinya.

Setelah Abdullah bersusah payang menempuh perjalanan Mekah-Damaskus, juga berkeliling ke seluruh pelosok kota bekas pusat Dinasti Umayyah (610-750 M) itu, akhirnya Ali al Muwaffaq dapat dijumpai. Sehabis mengucapkan salam dan istirahat sebentar, Abdullah memohon agar Ali al muwaffaq mengisahkan amal perbuatan yang menyebabkannya mendapat ganjaran haji mabrur tanpa mengikuti ritus haji di Mekah pada saatnya.

Semula Ali bungkam membisu. Namun, setelah terus didesak, akhirnya dia mau juga berbicara:

“Tiga puluh tahun aku menabung untuk mengumpulkan biaya perjalanan haji. Sangat susah payah mengingat penghasilanku sebagai pembuat sepatu, amat minim. Tahun ini tabunganku genap 350 dirham. Cukup untuk sekadar bekal dengan cara menghemat dan sederhana. Nah, semalam sebelum keberangkatan, istriku yang sedang mengidam, mencium harum masakan dari rumah tetangga sebelah. Ia merengek-rengek agar aku memintanya sedikit saja dari hidangan yang menggiurkan itu.”

“Maka kudatangi rumah tetanggaku. Seorang janda miskin dengan tiga anak kecil-kecil. Kuketuk pintu, dan kuucapkan salam, sambil menerangkan maksud kedatanganku membawa keinginan dari istri yang sedang mengidam. Ia tampak terkejut, lalu berkata pelan.

“Saudara Ali, memang aku sedang memasak daging unta. Akan tetapi, itu hanya halal bagiku dan anak-anak. Bagimu dan istrimu haram.”

“Mengapa?” aku tak kalah terkejut.

“Kami sudah tiga hari tidak makan. Hampir mati kelaparan. Tadi pagi anakku menemukan bangkai unta tergeletak di bawah rumpun. Kami kerat daging pahanya, dan kami masak, sekedar menghilangkan rasa lapar,” jawabnya.

“Mendengar itu, aku berlari pulang, kuambil uang 350 dirham untuk bekal haji. Kuberikan pada tetangga yang terpaksa memakan daging bangkai unta. Aku ingat sabda Rasulullah saw. yang mengatakan, tidak akan masuk surga orang yang tidur dengan perut kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan. Biarlah aku tak jadi berhaji tahun ini, asal tetanggaku tertolong.” Ali al Muwaffaq mengkahiri kisahnya.

Abdullah bin Mubarrak menetesklan air mata, dan berguman. “Malaikat-malaikat itu telah berkata benar dalam mimpiku, dan Penguasa Alam Semesta benar-benar Mahaadil pertimbangan-Nya.

Sumber: “Kitab Tadzkiratul Aulia” Fariduddin attar (1110- 1220 M)

Pemimpin Besar Tidur di Atas Tikar

(Oleh: A. HAJAR SANUSI. M. Ag., Pikiran Rakyat)

Dalam salah satu syairnya, Muhammad Iqbal menggambarkan kepribadian Rasulullah saw. sebagai berikut: Sungguh hati Muslim dipatri cinta Nabi / Dialah pangkal mulia Sumber bangga kita di dunia / Dia tidur di atas tikar kasar / Sedangkan umatnya mengguncang takhta Kisra / Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga / Sementara umatnya tidur di ranjang raja-raja.

Bait-bait di atas melukiskan zuhud Rasulullah saw. kebersahajaan dalam kehidupan duniawi memang merupakan atribut Rasulullah saw. yang sangat mengemuka. Namun, istilah zuhud kerap disalahpahami. Tidak jarang orang memahaminya sebagai pola hidup yang menolak secara total pelbagai hal yang berkaitan dengan dunia. Tengok misalnya sebagian pengamal tasawuf. Ada diantara mereka yang mengasingkan diri, hidup dalam ribat-ribat di daerah terpencil, jauh dari denyut nadi kehidupan masyarakat. Mereka tidak hirau lagi dengan masalah keduniawian. Sebab, menurut mereka, dunia tidak sekadar bernilai rendah dan kotor, tetapi juga dianggap sebagai penghambat jalan spiritual menuju keridaan Allah SWT.

Padahal, hidup zuhud tidak mesti begitu, bahkan, yang demikian itu sudah pasti tidak dibenarkan Islam. Bukankah agama yang satu ini mengajarkan kesimbangan (ekuilibrium) antara dunia profan dan sakral? Bukankah Alquran –sebagai sumber utama ajaran Islam— menitahkan manusia untuk berdoa agar memperoleh kesejahteraan dunia dan kebahagiaan akhirat?

Jika demikian halnya, apa sejatinya hidup zuhud itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, elok jika kita simak pendapat Ali bin Abi Thalib karramallaahu wajhah. Menurut sahabat yang satu ini, “Keseluruhan sifat zuhud terletak diantara dua kalimat dalam Alquran, yaitu QS. Al-hadid/57:23), yang berbunyi. Likaylaa ta’saw’alaa maa faatakum wa laa tafrahuu bimaa aataakum…(Agar kamu tidak berdukacita atas apa yang luput darimu dan tidak bersukaria atas sesuatu yang diberikan-Nya kepadamu). barang siapa yang tidak berdukacita atas sesuatu yang telah pergi dan tidak bersukaria karena sesuatu yang datang, maka sesungguhnya dia telah mencakup sifat zuhud dalam arti yang sebenarnya.

Dalam kesempatan lain, Ali bin Ali Thalib mendefinisikan zuhud dengan kalimat, Anta tamliku-d dunyaa wa laa tamlikuka (engkau memiliki dunia, tetapi dunia tidak pernah menguasaimu). Dalam pengertian inilah kita pahami sifat zuhud Rasulullah saw.

Tiga orang empu Hadis, Bukhari, Ahmad, Ibn Majah meriwayatkan bahwa pada suatu hari Umar bin Khattab bertamu ke rumah Rasulullah saw. sahabat sekaligus mertua itu mendapatkan beliau sedang duduk di atas tikar kasar dan tua. Mata Umar lantas mengamati isi ruangan, tempat ia bertemu dengan manusia agung itu. Umar tidak menemukan sesuatu apa pun, kecuali yang disaksikannya, yakni tas kulit yang tergantung di dinding (untuk menympan beberapa genggam gandum) dan sehelai tikar yang hampir koyak itu. Saat itu, Umar tak kuasa menahan tangis. Melihat Umar menangis, Rasulullah saw. bertanya, “Limaadzaa tabki, ya Ibnu-l khaththaab (Mengapa engkau menangis wahai putra Khattab)?” Sambil terisak, Umar menjawab, “Bagaimana aku tidak menangis, ya Rasulullah! Bukankah tikar tempat duduk Anda ini sudah begitu tua. Lagi pula, Anda tidak menyimpan sesuatu pun, kecuali yang aku saksikan saat ini. Sementara di negeri sana, Kaisar (Raja Romawi) dan Kisra (penguasa Persia) –sambil bersemayam di atas singgasana—mereka menghadapi hidangan serta buah-buahan yang lezat, lengkap dengan perangkat hidup serba mewah. Padahal bukankah anda ini, ya Rasulullah, seorang utusan dan kekasih-Nya?” Rasulullah saw. menenangkan Umar dengan berkata, “Afiya syakkun, anta ya Ibnu-l khaththaab? Ulaaika qawmun ‘ujjilay lahum thayyibatahum fi-l hayaata-d dunya (Apakah engkau masih ragu tentang diriku, wahai putra Khathab? Mereka itu adalah orang-orang yang disegerakan balasan atas kebajikannya dalam kehidupan di dunia ini)”.

Demikian pola hidup Rasulullah saw. Jika mau, Gunung Uhud pernah ditawarkan kepadanya untuk diubah jadi bongkahan emas, tetapi ditolaknya. Dengan kata lain, meskipun kunci kekayaan berada di tangan, Rasulullah saw. tetap hidup bersahaja. Inilah dia: Pemimpin besar yang tidur di atas kasar. Sebuah model par excellence.

Santap Sahur dengan Tahu (panas) Sumedang

Santap Sahur dengan Tahu (panas) Sumedang
Apa kabar sobat-sobat yang sedang menjalankan ibadah puasa, semoga dengan tulisan ini tidak mengurangi kadar puasa kita. Menu santap sahur saya sangat sederhana. Nasi plus tahu panas (mungkin lebih mantap dicocol ke sambal saos). Tapi berhubung lidahnya lidah orang kampung (he.. he..) jadi cukup dicocol pakai sambel goang (gerusan cengeng/cabe rawit sama uyah/garam).

Tapi perlu diingat, menurut ahli kesehatan, kita harus menghindari makanan pedas. Supaya terhindar dari penyakit sariawan. Jadi santap sahur hanya dengan tahu, tetap masih mantap rasanya.

Saya akan ulas sedikit asal usul tahu Sumedang. Orang yang pertama kali membuat tahu di Sumedang, warga keturanan Tionghoa. Nama tahu berasal dari kata Tou Fu (dari bahasa Tionghoa yang berarti sama). Lambat laun Tou Fu menjadi tahu disebutnya, mungkin karena terlalu sulit menyebut kata aslinya.

Ada satu lagi yang perlu sobat-sobat ketahui, yang menyebabkan tahu Sumedang rasanya begitu gurih, itu karena air yang ada di Sumedang. Kalau dibuat di luar Sumedang rasanya akan berbeda, walau pun pembuatnya orang Sumedang.

Selamat menunaikan ibadah puasa. Salam

Antara Memberi dan Menerima

(Oleh: Hj. NUNUNG KARWATI, Pikiran Rakyat)

Hakim bin Hizam adalah seorang musyrik yang mendapat jaminan keselamatan dari Rasulullah saw. pada penaklukan Kota Mekah. Meskipun ia kemenakan Khadijah binti Khuwaylid, istri Rasul, keislamannya baru dia raih dua puluh tahun kemudian saat Rasulullah menaklukan Kota Mekah.

Hakim lantas bertekad untuk menebus segala dosa yang pernah dia perbuat semasa hari-hari jahiliahnya serta apa pun yang pernah dia lakukan untuk menentang Rasulullah. Dia ingin menebusnya demi kemuliaan Islam.

Salah satu yang dilakukannya adalah menjual bangunan bersejarah di Mekah bernama Barun-Nadwah. Di tempat itu, biasanya para pemuka Quraisy berkumpul dan berdiskusi tentang banyak hal. Mereka pun banyak membuat rencana jahat terhadap Nabi Muhammad saw. di sana.

Hakim memutuskan untuk menjual bangunan ini untuk menghapus kenangan kelam masa lalu. Dijualnya bangunan tersebut seharga 100.000 dirham dan dia mendermakan hasilnya kepada fakir miskin.

Pada suatu musim haji. Hakim menggiring seratus ekor unta dan menyembelihnya sebagai kurban. Tahun berikutnya, ia membawa dan membebaskan seratus hamba sahaya yang masing-masing dibekali perhiasan perak. Tahun berikutnya, ia membawa 100.000 ekor kambing yang disembelih di Mina dan membagi-bagikan dagingnya pada fakir miskin.

Hakim memang amat dermawan, tetapi juga selalu ingin mendapatkan lebih. Seusai Perang Hunain, dia meminta sejumlah pampasan perang kepada Rasul dan permintaanya dipenuhi. Beberapa hari kemudian dia meminta lagi, dan Rasul kembali memberikannya. Untuk ketiga kalinya, hakim datang meminta bagian, Rasul pun kembali memenuhinya sehingga Hakim mendapat papmasan perang dalam jumlah cukup banyak.

Namun ketika memberikan pampasan perang, kali ini Rasul memberikan nasihat yang sangat berkesan dihatinya, ‘Wahai Hakim! Segala harta benda ini amatlah menarik. Barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang lapang, ia akan diberkahi. Dan barang siapa mengambilnya dengan jiwa yang sempit. Dia akan seperti orang makan tetapi tidak pernah merasa kenyang. Tangan di atas lebih baik dari tangan dibawah’.

Petuah Rasul itu sangat membekas di hatinya. Dia merasa tersentuh dan berjanji kepada Rasul untuk menjaga harga diri dari harta orang lain. Bahkan ia berjanji untuk menjaga kehormatannya dari meminta sesuatu kepada siapa pun. Ia pun berkata kepada Rasul, “Ya utusan Allah, aku tidak akan meminta kepada siapa pun sepeninggal Engkau dan tidak akan mengambil sesuatu pun dari siapa pun”.

Sejarah mencatat. Hakim benar-benar menepati ucapannya. Sehabat Rasul ini tidak pernah meminta apa pun kepada orang lain hingga dia meninggal dunia. Bahkan ketika cambuknya jatuh sementara ia berada di atas punggung kudanya, ia turun untuk mengambilnya, meski ia bisa menyuruh pegawai untuk mengambilnya.

Andaikan petuah Rasulullah kepada Hakim itu dicamkan baik-baik, maka di negeri ini tidak akan pernah ada korupsi. Sebab, hakikatnya, korupsi adalah mengambil harta dengan jiwa yang sempit sehingga tidak akan ada keberkahan dalam hartanya. Alih-alih diberkahi, justru pelakunya harus mendekam dipenjara. Itu adalah azab dunia. Audzubillah.

Sebungkus Makanan untuk Orang Lapar

(Oleh: H.USEP ROMLI. H.M., Pikiran Rakyat)

Tersebutlah kisah seorang ahli ibadah. Selama tujuh puluh tahun, ia tak pernah meninggalkan tempatnya rukuk dan sujud. Ia sanantiasa berzikir dan menyepi memuji Allah SWT. Karena ketekunannya itu, orang-orang menganggapnya sebagai ahli surga.

Namun, pada suatu saat, ia terjebak ke dalam perbuatan maksiat. Semua bermula dari rasa waswas dan jenuh. Sebagai manusia, memang ia tidak luput dari kehhilafan. Alinsaanu mahallu-lkhatha’wannisyaan (manusia merupakan tempatnya salah dan lupa). Tujuh hari sudah ia melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai ibadahnya selama tujuh puluh tahun tersebut.

Ketika muncul kesadaran, segera ia bertobaat. Tempat beribadah semala tujuh puluh tahun itu ia tinggalkan. Sang ahli ibadah berjalan ke mana saja, sambil menyesali semua perbuatan dosa yang ia kerjakan selama tujuh hari itu. Di tengah perjalan, ia kehabisan bekal. Berhari-hari ia puasa. Untuk berbuka, ia hanya mengandalkan air minum di pinggir jalan yang ia lalaui.

Syahdan, tibalah ia di suatu tempat saat seorang dermawan menyumbangkan makanan kepada fakir miskin. Ia mendapat bagian. Sebuingkus makanan terakhir. Tiba-tiba datanglah seorang tua yang tengah kelaparan. Namun tempat pembagian sudah tutup. Semburan kesedihan tertampak jelas diwajah si orang tua. Tampaknya juga rasa penyesalan karena ia datang terlambat. Bagaimana dapat berjalan cepat jika tubuh lesu lunglai?

Menyaksikan keadaan demikian, sang ahli ibadah yang sedang bertobat itu menyerahkan bungkusan milinya kepeda orang uta kelaparan itu. Ia berkata. “Ini makanan rezeki Anda, wahai Pak Tua. Makanlah agar Anda kembali bertenaga”.

Beberapa waktu kemudian, sang ahli ibadah itu wafat. Di akhirat, ternyata timbangan amal ibadahnya selama tujuh puluh tahun itu kalah berat dibandingkan dengan dosa kemaksiatan yang ia lakukan meskipun hanya selama tujuh hari. Namun, pahala memberikan sebungkus makanan kepada orang tua yang kelaparan, ternyata lebih berat lagi. Pahala itu mampu menghapus dosa maksiat tujuh hari yang menodai tujuh puluh tahun ibadahnya.

Orang-orang menyangka. Ia sebagai ahli surga berkat ketekunan ibadah selama tujuh puluh tahun. Tak ada yang menyangka bahwa ia menjadi ahli surga lantaran kemurahannya membebaskan si orang tua dari kelaparan meskipun hanya dengan sebungkus makanan. (Dari kitab Sifatu-shshufwah karya Imam Abdurrahman Ibn Aljauzi)

Penulis, guru mengaji di perdesaan Cibiuk, Garut, pembimbing ibadah Haji & Umrah BPHU Megacitra/KBIH Mega Arafah Kota Bandung

Mengenal Fungsi dan Bentuk Kujang

kujang
Kujang identik dengan identitas dan eksistensi kebudayaan masyarakat Sunda. Orang Sunda tak bisa dipisahkan dengan kujang.
Menurut Anis Djati Sunda, berdasarkan Pantun Bogor, kujang mempunyai beberapa fungsi dan bentuk.

Kujang berdasarkan Fungsinya antara lain:
- Kujang Pusaka = kujang yang melambangkan keagungan
- Kujang Pakarang = kujang dipakai sebagai alat perang
- Kujang Pangarak = kujang yang dipergunakan dalam kegiatan upacara adat
- Kujang Pamangkas = kujang yang dipergunakan untuk keperluan bertani

Kujang berdasarkan bentuknya:
- Kujang Jago = kujang yang menyerupai ayam jantan (jago)
- Kujang Ciung = kujang seperti burung/manuk ciung
- Kujang kuntul = kujang yang hampir menyerupai burung bangau (kuntul)
- Kujang Badak = kujang yang bentuknya seprti badak
- Kujang Naga = kujang yang bentuknya menyerupai mitologi naga
- Kujang Bangkong = kujang bentuknya seperti katak

Ada juga bentuk kujang seperti wayang kulit yang menggambarkan sosok wanita. Bentuk dari kujang ini adalah simbol kesuburan.

Menurut beberapa sumber, kujang berasal dari kata kudihyang (kudi dan Hyang). Ada lagi yang menyebut kujang berasal dari kata Kudi yang ditukil dari bahasa sunda heubeul, yang mengandung arti pakakas (senjata) yang mempunyai kekuatan gaib, sakti, pusaka atau jimat, yang fungsinya untuk berjaga-jaga supaya terhindar dari segala macam mara bahaya.

Sumber lain menyebutkan kujang berasal dari kata Ku-Jang-Ji. Janji akan meneruskan yang dikerjakan oleh leluhur (karuhun) kita. Yang diteruskan bukan pekerjaan secara fisik, tetapi lebih mengarah kepada lima cara-ciri manusia Sunda: welas asih, anggah-ungguh, budi daya, budi basa, dan nyaliksik diri.

Kujang bukan sekedar alat yang dipakai untuk membersihkan semak belukar, dan dipakai melihat bintang jadi patokan bertani. Tetapi juga penuh dengan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan. *** (NMD, Galura)

Pejabat Berpuasa Agar Hirau Derita Rakyat

(Oleh: A. HAJAR SANUSI, M. Ag., Pikiran Rakyat)

Kisah Nabi Yusuf a.s. dipaparkan Alquran dalam satu surah yang sarat dengan pelajaran berharga. Misalnya, Yusuf bukan tipe manusia pendendam. Pada usia dini  Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya yang sebapak, karena rasa dengki. Dengan demikian, mereka berharap agar perhatian dan kasih sayang  Yaqub a.s. tidak tercurah kepada Yusuf sendiri.

Akan tetapi, ketika puluhan tahun kemudian Yusuf jadi pejabat tinggi, dia tidak menolak saudara-saudaranya itu datang meminta bantuan. Bakhan, ketika akhirnya mereka mengetahui pejabat tinggi negeri Mesir ini adalah Yusuf sehingga kemudian minta maaf kepadanya. Yusuf pun segera memaafkannya.

Ucapan Yusuf saat itu diabadikan dalam Alquran Surah Yusuf/12:92, “La tatsriba ‘alaikum al-yaum yaghfirullah lakum huwa arham al-rahimin.” “Tidak ada cercaan terhadap kamu pada hari ini. Mudah-mudahan Allah mengampuni kamu. Dan Dia Maha Penyayang di antara para penyayang.

Keutamaan berikutnya adalah Yusuf mempunyai kesadaran dan keyakinan tentang Kemahahadiran Allah dalam kehidupan. Dengan demikian, ia akan dijauhkan dari sifat khianat.

Simak saja, ketika dirayu oleh wanita cantik, kaya, dan berkedudukan tinggi untuk melakaukan pengkhianatan terhdapa istrinya, Yususf secara tegas menolaknya ia berkata, “Ma’adzallah, innahu rabbi ahsana matswaya, innahu la yuflih al-zhalimun.” “Perlindungan Allah. Sesungguhnya dia --suamaimu-- adalah majikanku. Dia telah memperlakukan aku dengan dengan baik. Sesungguhnya orang-orang yang dianiaya tiada beruntung’ (QS Yusuf/12:23). Oleh karena itu, Yusuf dipenjarakan.

Selang beberapa tahun, sang raja berkenan mengeluarkannya dari penjara, karena sang raja memerlukan kontribusi Ysusf untuk memaslahatan negeri Mesir. Namun, Yususf tidak mau keluar, sebelum namanya direhabilitasi.< Raja lalu mengumpulkan kaum wanita yang dulu mengiris-iris tangan, karena taktub menyaksikan penampilan Yusuf. Kepada mereka sang raja bertanya perihal dirinya. Para wanita itu dengan jujur mengatakan, “Hasya lillah, ma ‘alimma ‘alaihi min su.” “Maha suci Allah. Kami tidak mengetahui sedikitpun keburukan padanya’ (QS. Yususf/12:51). Setelah mereka memberikan kesaksian, giliran istri al-aziz (wanita penggoda itu) berkata, “Al-an, hashasha al-haqq. Ana rawadtuhu ‘an nafsih wa innahu la min al-shadiqin.” “Sekarang jelaslah kebenaran itu. Akulah yang menggodanya untuk menundukan dirinya, dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (QS Yusuf/12;51).

Setelah jelas siapa yang salah, akhirnya Yusuf mau keluar dari penajra dan kemudian oleh raja diangkat menjadi pejabat Negara. Kini Yusuf sudah berkedudukan tinggi setingkat menteri, al-aziz.

Meskipun demikian menurut Dr. Abdullah Syahatah dalam karyanya Ramadhan al-Mu ‘adhadham, Yususf kerap menahan lapar dan dahaga pada siang hari, alisan suka melaksanakan puasa. Terang saja yang demikian itu menimbulkan tanda Tanya bagi para pembantu dekatnya. Yusuf lantas menjawab, “Inni akhafu idza syabi’tu an ansa ju’a al-faqir” (Sesungguhnya aku merasa khawatir, seandainya perutku ini selalau kenyang, jangan-jangan kelak aku melupakan perasaan lapar yang mendera perut fakir miskin).

Jadi, Yususf berpuasa karena ingin memelihara kepedulian terhadap orang-orang kecil. Yang menjadi pertanyaan adalah, adakah di negeri ini pejabat seperti dia, yang kerapa menahan lapar dan dahaga lantaran peduli terhadap derita rakyat? Semoga.

Waspadai Penyakit-penyakit di Bulan Puasa

Bulan Puasa merupakan kesempatan emas dalam mendulang pahala. Tak hanya ibadah yang besar, bahkan tidur orang yang berpuasa konon merupakan ibadah yang akan diberi pahala oleh Allah SWT. Tapi tentu saja, puasa yang dijalani harus sesuai dengan syariat yang berlaku.

Dalam menjalankan puasa, tubuh kita sering kali mendapatkan banyak gangguan dan halangan. Gangguan dan halangan ini kadang kala mengurangi kekhusyukan kita dalam menjalani ibadah yang dijalankan sebulan dalam setahun. Apa sajakah gangguan yang sering menimpa tubuh kita pada saat puasa?

Sariawan
Sariawan biasanya timbul akibat kulit dalam rongga mulut yang tergigit, mengonsumsi makanan atau minuman panas dan pedas, kekurangan vitamin C, kekurangan zat besi, kebersihan mulut yang tidak terjaga, hingga adanya kelainan saluran pencernaan. Namun pada saat kita puasa, sariawan terjadi biasanya karena tubuh kekurangan vitamin C. Untuk itulah, mengonsumsi vitamin C yang cukup saat berbuka dan sahur merupakan cara yang paling efektif dalam mencegah dan mengobati sariawan. Caranya bisa dengan mengonsumsi suplemen vitamin C secara langsung ataupun dengan makan buah-buahan yang kaya akan vitamin C seperti jambu batu dan jeruk.

Mag
Sakit mag adalah gangguan yang juga sering hadir mengisi waktu puasa. Penyakit yang satu ini tak hanya menghinggapi orang yang terbiasa dengan penyakit ini. Bahkan, orang yang sebelumnya tak pernah mempunyai gejala sakit mag, bisa terjangkiti. Penyebabnya sederhana, yaitu karena lambung kaget dan belum terbiasa dengan pola makan yang berubah drastis. Alhasil, perut perih melilit dan juga kembung.

Untuk menyikapi penyakit yang satu ini, ada banyak cara yang bisa dilakukan. Misalnya saja mengonsumsi makanan yang aman yang tidak bersifat memancing pengeluaran asam lambung yang berlebih, seperti makanan asam dan pedas, serta kopi dan soda. Tak hanya itu, mengonsumsi obat mag sesudah berbuka dan sesudah sahur juga mampu mengurangi risiko munculnya penyakit mag.

Tekanan darah rendah dan kurang darah (anemia)
Tekanan darah rendah dan kurang darah (anemia) sering kali muncul saat kita berpuasa. Hal ini tentu saja karena tubuh kekurangan banyak zat selama berpuasa. Gejala yang muncul biasanya adalah keringat yang berlebihan, tubuh lemas, letih, lesu, tidak bertenaga, pucat, serta pusing saat bangun dari posisi duduk.

Untuk menyikapi kondisi tekanan darah rendah dan juga kurang darah (anemia) saat berpuasa, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Misalnya saja adalah mengonsumsi cairan isotonik ketika berbuka dan sahur dalam jumlah yang lebih banyak; mengonsumsi makanan penambah tekanan darah seperti sayur-sayuran hijau dan hati; serta jika diperlukan, konsumsilah suplemen penambah darah saat berbuka atau sahur.

Sakit kepala
Sakit kepala juga sering menyerang saat kita berpuasa. Penyebabnya bisa macam-macam, misalnya saja karena merokok dan minum kopi di siang hari; pekerjaan yang menuntut banyak tenaga; serta menahan rasa kantuk dan juga kurang tidur. Sakit kepala ini bisa semakin parah jika dibarengi dengan penyakit tekanan darah rendah.
Untuk gangguan sakit kepala saat puasa, berhentilah mengonsumsi kopi dan rokok selama puasa. Tak hanya itu, pengaturan pola tidur juga akan sangat membantu.

Gula darah rendah
Saat berpuasa, kadar gula dalam darah kita akan rendah. Pada saat itu biasanya muncul gejala lesu, pusing, lelah, susah berkonsentrasi, berkeringat, dan sakit kepala. Ini tentu terkait dengan adanya hormon, adrenalin yang segera bekerja mengubah glukosa darah (gula darah) menjadi glikogen (gula otot).

Untuk mengantisipasi naik-turunnya kadar gula darah yang drastis saat berpuasa dan berbuka, dianjurkan untuk menyantap makanan yang kaya akan karbohidrat kompleks saat berbuka dan sahur. Hal ini tentu saja karera karbohidrat kompleks tidak akan langsung dicerna tubuh menjadi gula. Untuk yang diabetes sebaiknya dilakukan konsultasi dengan dokter yang berwenang.

Kejang otot (kram otot)
Pada saat puasa, otot kita sering kali terasa kaku. Hal ini terjadi karena tubuh kita kurang beberapa mineral yang terlibat dalam kelenturan otot. Mineral-mineral tersebut adalah kalsium. magnesium, dan juga kalium.

Untuk mengantisipasi kejang dan kaku otot saat puasa, konsumsilah makanan yang kaya akan mineral-mineral, misalnya seperti produk-produk susu, produk-produk daging, buah-buahan, serta sayur-sayuran.

Batu ginjal
Jika tidak mendapat asupan air yang cukup, apalagi jika ditambah dengan konsumsi makanan berkalsium tinggi, bukan tidak mungkin, di saluran kencing bisa terbentuk batu ginjal. Dan ini tentu sangat berbahaya.

Untuk mengantisipasinya, minumlah air yang banyak saat berbuka dan sahur. Delapan gelas sehari bisa tetap menjadi patokan. Misalnya saja 5 gelas saat berbuka dan 3 gelas saat sahur.

Konstipasi (sembelit) dan diare
Susah buang air besar jika dibiarkan! bisa menyebabkan penyakit lain. Ya. penyakit itu adalah ambeien (haemorroids) dengan gejala rasa nyeri dan panas di lubang dubur. Adapun diare biasanya muncul jika saat berbuka atau sahur kita mengonsumsi makanan yang pedas, asam, dingin, atau yang lainnya.

Cara yang bisa dilakukan untuk sembelit adalah dengan memperbanyak konsumsi makanan berserat tinggi, nasi beras merah, sayur-sayuran, agar-agar, dan juga buah-buahan.

Sumber: Nia Haryanto, penulis lepas, alumnus Dept. Biologi ITB. (Pikiran Rakyat)

Menyedekahkan yang Dicintai

(Oleh: Hj. NUNUNG KARWATI, Pikiran Rakyat)

Abu Thalhah adalah orang Anshar yang paling banyak harta kebun kurmanya. Dari sekian banyak kebun kurma yang dimilikinya, kebun yang paling dicintainya adalah Bairuha, yang terletak di depan masjid yang selalu Nabi datangi dan masuki. Nabi kerap minum air yang di kebun itu.

Namun, suatu hari, turun Surah Ali Imran ayat 92 yang artinya berbunyi, “Kalian tidak akan memperoleh kebaikan (yang sempurna) hingga kalian menginfakkan sesuatu yang kalian cintai”

Mendengar ayat tersebut, Abu Thalhah bangkit dan berkata, “Wahai Rasulullah! Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah Bairuha, harta itu aku sedekahkan di jalan Allah, aku harapkan kebaikan dan pahalanya di sisi Allah”.

Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam kemudian bersabda, “itu harta yang baik, aku telah mendengar apa yang kamu katakana. Menurutku engkau berikan harta itu kepada kerabat-kerabatmu.”

Mendengar anjuran Rasulullah, Abu Thalhah berkata, “Aku akan melakukannya wahai Rasulullah”. Dia pun bergegas membagikan harta itu kepada kerabat-kerabatnya dan anak-anak pamannya (Hadis Tiwayat Bukhari)

Merujuk pada hadis tersebut, kita bisa melihat bahwa para sahabat lebih mengutamakan cintanya pada Allah dan Rasulnya. Mereka tidak segan-segan untuk menyedekahkan pokok hartanya hanya untuk bisa menjalankan perintah Allah. Dan itu hampir dilakukan oleh semua sahabat Nabi.

Apakah mereka tidak mencintai hartanya? Tidak seperti itu. Manusia diciptakan dengan kecenderungan mencintai harta benda. Semua manusia memliki kecenderungan ini. Allah berfirman, “Dan kamu mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebih ,” (Al-Fajr: 20). Dengan demikian, tidak ada manusia yang tidak mencintai hartanya. Oran-orang beriman yang rajin bersedekah pun, bukan orang-orang yang tidak mencintai hartanya. Orang-orang yang rajin bersedekah adalah orang yang mampu menekan kecintaan itu sehingga tidak melebihi batasnya.

Penunggu Kebun yang Pemurah

(Oleh: H. USEP ROMLI H.M., Pikiran Rakyat)

Seekor anjing tersesat ke tengah perkebunan kurma di Madinah, yang sedang berbuah. Jalannya gontai, lidahnya terjulur. Tak ada secuil pun makanan ditemukan selama menempuh perjalan jauh selama dua hari.

Di dekat gerbang sebuah kebun, anjing itu benar-benar ambruk. Tak dapat lagi menahan lelah, lapar, dan dahaga. Seorang penjaga berkulit hitam, melihat kejadian itu. Tergerak hatinya untuk menolong. Segera ia mengambil jatah makan siang yang dikirimkan pemilik kebun. Sekerat roti, sekerat ikan, dan semangkuk air.

Ia berjongkok. Meneteskan air ke mulut anjing yang sudah hampir pingsan itu. Setetes air yang disertai ketulusan hati pemberinya, membuat sang anjing mulai bertenaga kembali. Apalagi setelah mangkuk air masuki ke tenggorokannya yang kering kerontang.

“Anjing dari mana ini? Mungkin datang dari tempat jauh, sebab di sekitar sini tidak ada anjing seekor pun,” gumam penjaga kebun, sambil mengangsurkan secabik roti ke dekat mulut anjing hingga habis semua roti jatah makan siangnya. Akan tetapi, sang anjing masih kelihatan lapar. Setelah mangkuk air dan sekerat roti, baru mampu memulihkan tubuhnya saja. Belum mampu mengusir rasa lapar.

Maka sekerat ikan yang ada, segera diberikan. Juga sisa setengah mangkuk air. Baru lah sang anjing kelihatan bertenaga kembali dan cukup kuat untuk berdiri. Sang anjing mengibas-ngibaskan ekornya, seolah-olah mengucapkan terima kasih kepada penjaga kebun yang pemurah itu.

Jika dapat berbicara, sang anjing mungkin akan berkata, “Berkat kebaikanmu memberiku makan, aku selamat dari kematian akibat kelaparan.”

Peristiwa itu, disaksikan dari awal hingga akhir oleh sahabat Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, dari kebunnya yang berbatasan dengan kebun itu. Ia heran dan amat terkesan oleh sikap dan tindakan penjaga kebun tetangganya memberi makan anjing kelaparan. Segera ia datang ke tempat itu dan bertanya, “Wahai penjaga kebun, engkau memberikan jatah makan siangmu kepada anjing. Lantas yang akan engkau makan hingga selesai bekerja sore nanti?”

“Tidak ada. Karena majikanku hanya memberiku jatah makan siang sekali itu saja,” jawab penunggu kebun.

“Mengapa engaku berikan semua kepadaa seekor anjing, sementara engkau sendiri tak punya makanan lagi?” Tanya Abdullah.

“Tidak apa. Aku masih kuat. Tidak merasa lapar. Jika anjing tadi mati kelaparan di sini, padahal aku punya makanan untuk menyelamatkannya dari kelaparan, tentu aku akan mendapat celaan di hadapan Mahkamah Allah SWT, kelak.” Ucap penunggu kebun memberi alasan.

Abdullah bin Ja’far terenyak ia diakui oleh para sahabat yang lain, sebagai orang pemurah. Suka membantu orang lain. Namun, dibandingkan dengan kemurahan penunggu kebun, kemurahannya selama ini, amat tidak berarti.

Hari itu juga, Abdullah menenui pemilik kebun. Membeli kebun itu dengan harga tinggi. Setelah selesai akad jual-beli, segera menyerahkan kebun bersama segala isinya kepada penunggu kebun yang murah hati itu.

“Aku memberikan kebun ini kepadamu, sebagai pertanda kemurahanku kepada orang-orang pemurah seperti engkau. Namun, kemurahanku ini masih amat tak berarti dibandingkan dengan kemurahanmu memberikan semua jatah makan siangmu untuk menyelamatkan nyawa seekor anjing yang kelaparan,” kata Abdullah kepada penunggu kebun.

Protes Fakir Miskin kepada Rasul

(Oleh: A HAJAR SANUSI, M.Ag.,. Pikiran Rakyat)

Menurut keterangan dua empu hadis, Imam Muslim dan Ibn Majah, di Madinah pernah berlangsung demonstrasi menarik. Ketika itu sejumlah orang dari kalangan fakir miskin datang menghadap Rasulullah saw.

Juru bicara mereka kemudian berkata, “Ya Rasulullah! Orang-orang dari kalangan berada itu telah memborong pahala yang banyak (dzahaba ahl al-dutsur bi al-ujur). Mereka salat sebagaimana kami salat (yushalluna kama nushallli); mereka menjalankan saum seperti kami saum (yashumuna kama nashumu); selain itu, mereka mampu bersedekah dengan kelebihan hartanya (hum yatashaddaquna bi fudhuli amwalihim); sementra kami hanyalah orang-orang miskin. Kami tidak dapat melakukan amal salih sebagaimana amal kebajikan yang mereka kerjakan. Karena demikian halnya, kami tidak akan memperoleh pahala sebanyak yang mereka dapatkan.”

Saat menanggapi keperihatinan mereka, Rasulullah saw, menjawab: “Wahai Sahabatku! Bukankah Allah telah menganugrahkan kepadamu, yang dengannya kamu dapat bersedekah (A wa laisa qad ja’alallahu lakum ma tashaddaquna bih)?”

Rasulullah saw. lalu menjelaskan, “Sesungguhnya setiap kalian mengucapkan Subhanallah, adalah sedekah bagimu (inna lakum bi kulli tasbihatin shadaqah); Melafalkan takbir adalah sedekah bagimu (wa bi kuli takbiratin shadaqah); memerintahkan untuk berbuat baik adalah sedekah (wa ammrun bi al-ma’ruf shadaqah); dan, mencegah dari perbuatan mungkar pun adalah sedekah (wa nahyun ‘an al-munkar shadaqah); dst, dst..”

Itulah demontrasi kaum duafa pada masa Rasulullah saw. mereka berunjuk rasa bukan lantaran didorong oleh ketidakpuasan karena kekurangan sandang dan pangan. Bukan pula karena tidak kebagian zakat fitrah, atau seanting daging kurban.

Mereka tidak berdemonstrasi sebagai protes atas kesewenang-wenangan aparat, atau lantaran menginginkan pekerjaan dan jabatan tertentu, melainkan lantaran mereka mengkhawatirkan kehidupan akhirat. Mereka takut bagaimana jadinya kehidupannya kelak di seberang makam, apabila tidak memperoleh pahala sebanding dengan ganjaran yang diterima kaum berada.

Tidak keliru apabila Dr. Mushthafa Husni al-Siba’ dalam Isytirakiyah al-Islam menyebut peristiwa di atas sebagai al-muzharah al-ghariban atau demontrasi yang aneh.

(Ketua Bidang Pemuda, Wanita, dan Keluarga MUI Kota Bandung.)