Inohong Conggeang Tumpak Kuda Renggong di Karnaval Conggeang Tujuhbelasan


Kegembiraan dan rasa kebersamaan warga Conggeang dalam memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-69. Muspika (Camat, Danramil, dan Kapolsek) Conggeang serta Pjs Kepala Desa Conggeang Kulon didaulat naik Kuda Renggong.

Seni Reog di Karnaval Conggeang Tujuhbelasan


Group Reog Pelajar (Siswa Siswi) SMP Negeri 1 Conggeang tergabung dalam barisan Dinas Pendidikan Kecamatan Conggeang di Karnaval Conggeang Tujuhbelasan

Topeng Bubuka (Kreasi) Ungkal di Karnaval Conggeang Tujuhbelasan


Tari Topeng Bubuka (Kreasi) Desa Ungkal Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang

Seni Kedok Kuda Renggong di Karnaval Conggeang Tujuhbelasan


Seni Kedok Kuda Renggong Desa Babakan Asem
Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang

Kuda Penca (Kuda Renggong) di Karnaval Conggeang Tujuhbelasan


Seni Kuda Penca (Kuda Renggong) Desa Cibeureuyeuh
Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang

Tutunggulan di Karnaval Conggeang Tujuhbelasan


Kesenian Tutunggulan Desa Cacaban Kecamatan Conggeang
Kabupaten Sumedang

Perang Bubat Tahun 1357

Oleh: Ading Kusdiana

PERANG Budat adalah peristiwa perang antara tentara Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit dan rombongan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda.
Dikatakan sebagai perang Bubat karena terjadi di pesanggrahan yang bernama Pesanggrahan Bubat.

Pada awalnya, perang ini dipicu oleh adanya perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Maharaja Linggabuana terkait dengan kehadiran rombongan Prabu Maharaja Linggabuana, permaisuri, dan pengiringnya yang bermaksud untuk mengantarkan pernikahan putri Dyah Pitaloka Citra Resmi dengan Prabu Hayam Wuruk, tapi kemudian kehadirannya dipersepsi dan diterjemahkan berbeda oleh Mahapatih Gajah Mada demi sebuah ambisi politik kenegaraan Majapahit.

Perang Bubat Tahun 1357
ilustrasi: Pikiran Rakyat
Sebenarnya, antara Prabu Linggabuana dan Prabu Hayam Wuruk bermaksud menjadikan putri Sunda, Dyah Pitaloka, sebagai istrinya. Atas restu dari keluarga Kerajaan Majapahit, Raja Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Prabu Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka Citra Resmi. Upacara pernikahan disepakati akan dilangsungkan di Majapahit.

Secara historis, peristiwa ini memang ada dan benar-benar terjadi. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia jilid kedua dikemukaan bahwa perang ini terjadi pada abad ke-14, tepatnya pada tahun 1279 saka atau 1357 Masehi. Secara arkeologis, peristiwa ini terjadi dengan menunjuk pada suatu tempat tertentu yang bernama Bubat, yang pada waktu itu merupakan sebuah tempat yang berfungsi sebagai pesanggrahan.

Peristiwa Perang Bubat dikemukakan dengan panjang dalam kitab Pararaton dan Kidung Sudayana, tetapi tidak dikemukakan di dalam Kakawin Negarakertagama. Hal ini bisa jadi dengan pertimbangan peristiwa ini merupakan “aib” dan bisa jadi tidak menunjang kebesaran Kerajaan Majapahit, dan bahkan dianggap sebagai kegagalan politik Gajah Mada untuk menundukan Kerajaan Sunda seperti yang dikemukakan dalam Sumpah Palapanya. Meninggalnya Prabu Maharaja Linggabuana, istri, putri, dan para pengiringnya dalam peristiwa ini merupakan fakta historis yang menunjang kebenaran peristiwa ini.

Dampak Perang
Bagi masyarakat Sunda dan Jawa yang hidup saat peristiwa ini, Perang Bubat telah terjadi 657 tahun lalu. Secara khusus peristiwa ini, diakui atau tidak, diterima atau tidak, telah memberikan implikasi yang sangat dalam terutama bagi penerus Kerajaan Sunda. Meninggalnya Prabu Maharaja Linggabuana telah mengguratkan kesedihan, sehingga untuk sementara waktu terjadi kekosongan kekuasaan di Kerajaan Sunda.

Sepeninggal Prabu Maharaja Linggabuana, seharusnya yang menggantikannya adalah Niskala Wastukancana. Namun demikian, karena usianya masih kecil maka kedudukan kekuasaannya dipegang oleh adik dari Prabu Linggabuana yaitu Mangkubumi hyang Bunisora Suradipati. Ia memposisikan diri sebagai wali pemerintahan dan membesarkan Niskala Wastukancana. Ia memegang pemerintahan sementara, sebab penerus pemerintahan yang sah masih kanak-kanak, yaitu Niskala Wastukancana yang masih baru berusia 9 tahun.

Tragedi Perang Bubat telah memberikan dampak kepada rusaknya hubungan kenegaraan antarkedua kerajaan yang terus berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya. Hubungan di antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Majapahit menjadi dingin dan beku. Prabu Niskala Wastukancana sudah tidak menaruh perhatian terhadap keberadaan Kerajaan Majapahit. Di antara kebijakan Prabu Niskala Wastukancana (memerintah dari tahun 1371-1475), adalah memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit. Ia juga menerapkan politik tertutup dalam hubungan kenegaraan dengan Kerajaan Majapahit. Sebagai akibat peristiwa ini, dikalangan kerabat Kerjaan Sunda diberlakukan peraturan larangan yang isinya di antaranya tidak boleh menikah dengan kerabat Kerajaan Majapahit.

Bagi masyarakat Sunda sendiri, tindakan berani dan perilaku kepahlawanan yang ditunjukkan Prabu Maharaja Linggabuana dan putri Dyah Pitaloka beserta pengiringnya dari Kerajaan Sunda dengan melakukan tindakan belapati (berani mati) sangat dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai perilaku yang harus diteladani. Bahkan Prabu Maharaja Linggabuana disebut sebagai Prabu Wangi, yang mengandung arti: raja yang harum namanya, karena kepahlawanannya membela kehormatan dan harga diri bangsa dan negaranya.

Siapa bertanggung jawab?
Menyimak dari uraian terkait dengan Perang Bubat terdapat beberapa catatan yang dapat dikemukakan untuk Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada. Berdasarkan sumber yang diperoleh dari tradisi lisan dengan terjadinya Perang Bubat disebutkan bahwa Raja Hayam Wuruk menjadi sangat terpukul dan menderita. Ia sangat meratapi meninggalnya dyah Pitaloka Cintra Resmi. Prabu Hayam Wuruk menyesalkan tindakan ini dan mengirimkan utusannya (darmadyaksa) untuk menyampaikan permohonan maaf kepda Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati yang menjadi wali raja dari Kerajaan Sunda.

Dengan terjadinya peristiwa Bubat itu, hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang. Setelah peristiwa Bubat, Gajah Mada mulai banyak mendapatkan reaksi, kecaman, tantangan, dan kecurigaan dari pihak intern keluarga Kerajaan Majapahit. Tindakan Gajah Mada dalam peristiwa itu dianggap tidak etis dan gegabah. Ia dianggap terlalu jauh melangkahi wewenang Hayam Wuruk. Dalam kapasitasnya sebagai patih, ia tidak pantas tidak memperhatikan apa yang menjadi perasaan Hayam Wuruk.

Terjadi Perang Bubat telah menandai mulai turunnya karier Gajah Mada. Di dalam kakawin Negarakertagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk pernah menganugerahkan sebuah sima kepada Gajah Mada, yang kemudian diberi nama Darma Kasogatan Madakaripura. Sekali pun Hayam Wuruk telah memberikan tanah perdikan di Madakaripusa sebagai penghargaan, tindakan ini sebenarnya lebih merupakan anjuran halus dari Hayam Wuruk agar Gajam Mada mulai mempertimbangkan untuk berhenti dari jabatan mahapatih. Dengan demikian, Gajah Mada bisa mulai mengundurkan diri dari arena politik kenegaraan di istana Majapahit.

Dari informasi yang diberikan kitab Pararaton, setelah peristiwa Bubat, Gajah Mada berhenti sementara dari keterlibatannya dalam kegiatan mengelola pemerintahan. Walaupun beberapa waktu kemudian ia aktif kembali dalam pemerintahan, tetapi kemudian tidak diperoleh keterangan lebih lanjut tentang aktivitasnya dalam melaksanakan kebijakan politik Majapahit, terutama untuk melanjutkan Sumpah Palapa-nya pascaperistiwa Bubat. Selanjutnya, berdasarkan informasi yang diberikan oleh naskah Negarakertagama, nama Gajah Mada memang masih disebutkan. Ini dapat diartikan bahwa Gajam Mada sendiri tetap menjabat sebagai mahapatih sampai akhir hayatnya pada tahun 1364.

Itulah akhir Mahapatih Gajah Mada. Bagi masyarakat Sunda, sosok Gajah Mada dapat dipandang sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa Bubat. Ia sangat berambisi mewujudkan Sumpah Palapa untuk menyatukan kerajaan di nusantara. Selanjutnya, karena Kerajaan Sunda dipandang tidak bisa ditaklukkan, ia memakai cara “menyandera” putri Prabu Maharaja Linggabuana untuk kepentingan penaklukkan Kerajaan Sunda.

Rekonsilisasi
Sejarah tidak mesti dimaknai sebagai sebuah perubahan saja, tetapi juga pelajaran atau ibrah. Mencermati peristiwa Perang Bubat, terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi generasi muda yang hidup saat ini, terutama sekali bagi komunitas masyarakat Sunda-Jawa agar peristiwa ini tidak terjadi lagi. Di antaranya ada dua pelajaran yang sangat berharga yang bisa diambil komunitas masyarakat Sunda dan Jawa sekarang.

Pertama, mengungkit dan mengingat kembali peristiwa Perang Bubat 1357 tidak perlu karena dipandang akan mendorong sentimen dan clash di antara dua etnis besar, yaitu Jawa dan Sunda. Dalam konteks sekarang, upaya untuk mengadakan dialog di antara kebudayaan Sunda-Jawa adalah langkah yang paling tepat untuk saling membuka diri sehingga bisa memperkaya khazanah kebudayaan di antara keduanya menuju persahabatan dua peradaban besar.

kedua, komunitas masyarakat Sunda dan Jawa dipandang perlu mengembangkan sikap saling memahami dan saling menanamkan pengertian berdasarkan prinsip saling asah, asih, dan asuh. Terjadinya Perang Bubat pada tahun 1357 adalah contoh buruk karena salah satu di antara keduanya memaksakan kehendak demi sebuah obsesi untuk kepentingan tertentu.

Sumber: Ading Kusdiana, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Komisariat Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung /*Pikiran Rakyat** Selasa, 1 April 2014