Sejarah Pondok Pesantren Asyrofuddin

Pondok Pesantren Asyrofuddin
Pondok Pesantren Asyrofuddin merupakan pondok pesantren tertua yang ada di wilayah Kabupaten Sumedang dan terbesar berdasarkan data-data yang ada pada Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia Kabupaten Sumedang.

Pondok Pesantren Asyrofuddin didirikan oleh seorang ulama keturunan Kasultanan Cirebon yang bernama Syeh Raden Asyrofuddin pada tahun 1846. Pada mulanya Pesantren Asyrofuddin bernama pesantren “Ardi Sela Singa Naga” (ardi = daerah, sela = batu, singa = macam, naga = ular) artinya daerah angker yang penuh dengan batu, ular dan harimaunya, namun diganti oleh para penerusnya dengan nama Asyrofuddin guna tafaulan dan mengenang jasa pendirinya.

Syeh Raden Asyrofuddin adalah Putra Sultan Kasepuhan Cirebon yaitu Sultan Zainuddin, beliau meninggalkan kasultanan demi prinsip yang beliau pegang yang menurutnya bertolak belakang dengan prinsip yang dipegang oleh Ayahanda beliau yang tercinta. Ketika Syeh Raden Asyrofuddin akan diserahi tahta kasultanan oleh Ayahnya, beliau mengajukan beberapa syarat, diantaranya:
1. Tahta kasultanan dapat beliau terima apabila corak kasultanannya non kooperatif dengan pemerintah Belanda.
2. Kasultanan yang beliau pimpin mengimbangi/mengikuti jejak perjuangan Kang Onto (Pangeran Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro) dalam mengusir kaum penjajah.

Mendengar syarat yang diajukan ini, Ayahanda Syeh Raden Asyrofuddin (Sultan Zainuddin) amat terkejut, berulangkali menasehati putranya agar mengurungkan syarat-syarat yang diajukan itu, menurut hemat Sultan Zainuddin belum saatnya Kasepuhan Cirebon merubah sikap terhadap penjajah.

Kedua belah pihak teguh pada pendirian masing-masing, Sultan mengambil keputusan Raden Asyrofuddin harus angkat kaki dari keraton dan tidak diperkenankan menetap di wilayah Keresidenan Cirebon. Raden Asyrofuddin menerima keputusan itu kemudian pergi meninggalkan keraton menuju arha barat.

Beliau pergi menetapkan Cirebon dan sampai di daerah Pongpongan Tengahtani, dari daerah ini berangkat lagi menuju Lojokobong sebelah selatan Ligung Majalengka (masih berada di wilayah Keresidenan Cirebon), akan tetapi masih diketahui juga. Pengungsiannya dilanjutkan, hingga sampai di Cikuleu Ujungjaya, daerah perbatasan antara Keresidenan Cirebon dan Priangan, di Cikuleu beliau menetap.

Dari hari ke hari akhirnya tersiarlah berita keberadaan seorang Putra Sultan Cirebon yang tengah mengembara, hal ini sampai pula pada Dalem Sumedang yaitu Kanjeng Dalem Sugih dan beliau berkenan mengunjungi Syeh Raden Asyrofuddin di Cikuleu. Beliau ingin membuktikan berita itu dan ternyata benar, bahkan Raden Asyrofuddin sudah mendirikan pesantren serta santrinya terbilang banyak, tidak saja orang-orang Cikuleu tetapi berdatangan dari berbagai pelosok daerah, para santri Syeh Raden Asyrofuddin disamping menerima pelajaran agama, mereka ditempa menjadi kader-kader pejuang anti penjajah.

Hubungan antara Syeh Raden Asyrofuddin dengan Dalem Sugih semakin akrab, kemudian Dalem Sugih memerintahkan agar Syeh Raden Asyrofuddin pindah dari daerah Cikuleu ke daerah yang tidak berjauhan dengan Keraton Sumedang. Dalem menawarkan sebidang tanah di daerah Conggeang, daerah yang pada waktu itu masih belantara dan terkenal angker. Tawaran diterima, Syeh Raden Asyrofuddin mendirikan pesantren di Cipicung pada tahun 1846. Raden Asyrofuddin wafat pada tahun 1876, kepemimpinan pesantren diteruskan oleh putranya K.R. Abdul Hamid, kemudian dilanjutkan lagi oleh K.R. Mas’ud hingga 1947. Kepemimpinan pondok selanjutnya dipegang oleh K.R. Ukun Muhammad Sholeh dan K.H.R. Ukasyah Mas’un.

Sehubungan dengan telah lanjut usianya K.R. Ukun Muhammad Sholeh dan K.H.R. Ukasyah, pada 12 Desember 1965 calon pengganti pimpinan pondok yang sedang belajar di Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Surabaya, yaitu K.H.R.E. Buchori dipanggil pulang oleh Ayahandanya (K.H.R. Ukasyah) dan pada tanggal 12 Januari 1966 beliau diserahi tugas memimpin Pondok Pesantren Asyrofuddin menggantikan Ayahnya yang telah lanjut usia.
---o0o---

Demikian ulasan singkat Pondok Pesantren Asyrofuddin yang merupakan satu dari beberapa pondok pesantren yang berada di kampung/lembur kami (Conggeang).

“Poyok Ungkal” (Gaya sindiran orang Ungkal memang berbeda dengan gaya pada umumnya)

Dalam berbahasa, masyarakat Sunda wilayah Priangan, sering dianggap teu tegel, tidak biasa menyatakan sesuatu secara ceplak pahang, poksang atau togmol (langsung pada sasaran yang dimaksud). Dalam mengutarakan maksud dan tujuannya, mereka cenderung menggunakan ungkapan yang malibir atau malapah gedang, supaya tidak nerag, yang berakibat menyinggung perasaan yang diajak bicara.

Representasi dari fenomena malibir itu akan kita temukan di masyarakat Ungkal Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun sayang, kebiasaan malibir ini sering disalahtatsirkan teruatama oleh pihak diluar dengan label “negatif” yakni: poyok atau cegek. Mungkin mereka (orang luar) memaknai poyok berdasarkan arti kamus, yakni sebagai ungkapan yang berisi hinaan atau nyawad (menyindir), sehingga dikenal dengan poyok/cegek Ungkal. Akibatnya masyarakat Ungkal sering dicap sebagai suatu komunitas yang suka membuat gara-gara.

Justru yang bikin gara-gara itu pada dasarnya adalah orang luar itu sendiri yang bertanya tentang keberadaan poyok tersebut. Bagi orang Ungkal pertanyaan itulah yang bikin gara-gara “ngusik-ngusik ula mandi, ngagugahkeun macan turu” (menggangu ular yang sedang mandi dan membangunkan macan tidur) yang artinya memancing sehingga bangkit amarahnya. Maka jangan aneh bila ada yang bertanya pasti akan “dibekelanpoyok. Objek yang di-poyok-nya itu tidak akan pandang bulu, apakah rakyat atau pejabat, dari yang mahiwal hingga yang normal., pria maupun wanita, nu kasep atau nu goring, mereka akan dibekelan secara mereta.

Masyarakat Ungkal sebenarnya merupakan suatu komunitas yang mengedepankan harmoni, toleran, dan saling menghargai sesama, baik sesama warga termasuk terhadap pendatang. Namun akibat kuatnya opini negatif tersebut, sikap-sikap yang baik itu seolah-olah terhapus begitu saja, menyebarkan wacana negatif di kawasan Sumedang dan sekitarnya tentang poyok Ungkal itu diindikasikan karena perbedaan persepsi mengenai konsep poyok itu sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan pelaku yang dianggap pewaris aktif (active bearer) poyok Ungkal, diperoleh keterangan bahwa konsep poyok/moyok harus dibedakan dengan konsep moyokan.
Bagi masyarakat Ungkal, konsep poyok adalah satu bentuk kreativitas tradisonal yang menggambarkan apa yang dikomentarinya secara simbolis, dengan maksud untuk kepentingan “mengasah” (menguji) seseorang, seberapa surti (paham) yang di-poyok mampu memaknainya. Ada kebanggan tersendiri dengan kemahiran poyok tersebut, karena bagi mereka kemahiran dengan memainkan kata dengan diksi yang nyamuni pertanda orang itu memiliki “kecerdasan” tinggi. Dalam pandangan mereka konsep poyok/moyok itu identik dengan kesenian Sunda, seperti halnya sisindiran (pantun) maupun wawangsalan (pantun 2 baris). Sedangkan istilah atau konsep moyokan mempunyai pengertian menghina dan biasanya diekspresikannya secara ceplak pahang (langsung), seperti lewat kata Si Beke (Si Cebol), Si Jeding (si Bibir Tebal), Si Leststreng (Si Hitam Legam), dsb.

Munculnya poyok biasanya secara spontan, spontanitas itu sebagai respons terhadap stimulus berupa pertanyaan, maka secepat kilat orang yang ditanya itu akan menelisik kekurangan atau “kelebihan” yang ada dalam penampilan (fisik) termasuk cara berpakaian di penanya (pendatang). Menururt Allan dan Burridge (1991) kebiasaan itu merupakan gejala disfemisme (dysphemisme).

Gaya sindiran orang Ungkal memang berbeda dengan gaya pada umumnya, poyok-nya menggunakan diksi dengan analogi yang memiliki kesan harfiah “jauh” dari objek yang disindirnya, terutama bagi orang yang tidak surti (paham). Objek sindirannya biasanya sangan tersembunyi karena bersifat metaforikal (kiasanan), mirip dengan teka-teki. Akibatnya, tidak sedikit orang disindirnya tidak bereaksi apa-apa karena tidak sadar atau kurang “paham” terhadap makna sindiran tersebut. Makna sindirannya mungin tidak akan pernah terpamahi atau baru terkuak beberapa waktu kemudian setelah dipikirkan secara mendalam adan/atau mungkin dikonfirmasikan dengan \warga masyarakat setempat. Ketika maknanya terungkap, baru si tersendir tereprangah dan sadar bahawa ia telah kena sindir. Sebagai bentuk folklor, makan sindiran yang terkuak itu dapat sangan menyakitkan, nyelekit kana ati, nyentug kana jajantung (menyentuh relung hati yang paling dalam). Menurut Danandjaja (1994), hal yang utama dari folklor itu mengungkapkan kepada kita, baik disadari atau tidak, bagaimana folklornya berpikir. Selain itu, folklor juga mengabadikan apa-apa yang dirasakan penting (dalam suatu waktu) oleh folk pendukungnnya.

Apakah orang Ungkal sendiri suka saling poyok? Tentu saja. Poyok itu biasanya muncul dalam suasana informal, terutam saat warga berkumpul dan ngobrol bersama dalam pertemuan dengan suasana santai, seperti warung kopi, saat berkumpul di depan sebuah rumah, gardu ronda atau saat menunggu giliran di tempat pemandian umum, dsb. Bila sudah saling poyok suasana biasanya akan menjadi cair dan akrab, penuh gelak tawa. Dari kebiasaan moyok itu sampai saat ini belum terdengar adanya dapamak buruk.

Pengungkapan makna moyok Ungkal dapat ditelusuri melalui simbol (analogi) suatu cara yang lazim digunakan oleh pemakai ( si pe-moyok) agar maksud dari poyok itu tidak kasar (nerag/neuhak). Lebih jauh lagi, si pe-moyok memberikan semacam “PR” untuk menguji kecerdasan apakah si ter-poyok memahami maksud dan makna poyok-an, termasuk mampu menimpalinya.

Ditinjau dari unsur kesejarahan, sulit ditentukan atau dilacak, kapan dan siapa yang memulai serta mengapa tradisi moyok muncul di Desa Ungkal ini. Ketika dicoba ditalenteng, pada umumnyya masyarakat menyatakan tidak tahu. Mereka cukup dengan mengatakan tos kitu bae ti dituna! Naum bila melihat artefak berupa kuburan kahot (tua) yang ada di tengah-tengah desa tersebut akan ditemukan nisan dengan nama: Mbah Puragati, Mbah Jerad, Mbah Rangit, Mbah Nayapatra, Mbah Karapyak, Mbah Lebe, Mbah Gombak, Mbah Nyi Mas Gedeng Larang Tanjung Bang, dan Mbah Raden.

Kita hanya menduga dengan mengidentifikasi nama-nama itu, jangan-jangan mereka yang dipemdem di dalamnya merupakan pelarian tentara Mataram yang bersembunyi. Logikanya, mereka sebagai pelarian tentu harus pintar menyembunyikan jati diri, sehingga semua ahrus serba simbolis (disamarkan). Kemudian bila kita menelusuri kata ‘ungkal” ternyata berasal dari bahasa Jawa dari kata “wungkal” yang berarti batu asahan. Oleh karena itu, besar kemungkinan munculnya moyok/poyok tujuannya untuk “mengasah” (menguji) seseorang sesuai dengan arti ungkal itu sendiri. Seberapa surti (paham) yang dipoyok mampu memaknainya. Cag!**

Sumber: Dede Kosasih, Lektor Kepala pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah FPBS UPI Bandung/”Pikiran Rakyat”

Poyok Ungkal, Kreativitas Tradisional

Kebiasaan berkomentar masyarakat Ungkal (Desa Ungkal, Kec. Conggeang, Kab. Sumedang) sudah dikenal sejak lama, bahkan menjadi perhatian dan sesuatu yang membuat penasaran, terutama bagi masyarakat di luar Ungkal. Mereka umumnya penasaran seperti apa Poyok Ungkal itu. Salah seorang di antaranya adalah dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Drs Dede Kosasih, MSi. Dalam tesisnya, Dede yang menyelesaikan pendidikan S-2 di Jurusan Sosiolagi-Antropologi Unpad memilih tema budaya poyok masyarakat Ungkal.

Dede yang mengaku berasal dari Desa Legok, Kab. Sumedang, sejak kecil sudah sering mendengar istilah Poyok Ungkal. “Namun. Waktu itu saya tidak tahu bagaimana poyok Ungkal itu. Paling-paling orang tua suka berkata, “Ih cegekan siga urang Ungkal! (Segala dikomentari seperti orang Ungkal)!”

Namun, setelah melakukan penelitian Dede berpendapat, meski namanya Poyok Ungkal tetapi bukan berarti masyarakat Ungkal suka mengata-ngatai atau menghina. Menurut Dede, masyarakat Ungkal membedakan antara moyok atau poyok dengan moyokan. Kalau menghina atau mengata-ngatai istilah dalam bahasa Sundanya adalah moyokan. Sementara moyok atau poyok lebih merupakan kebinangkitan atau kreativitas orang Ungkal untuk menggambarkan apa yang akan dikomentarinya secara simbolis.

Warga Ungkal mengemukakan poyok-nya dengan menyamarkan maksud sebenarnya dengan nama benda atau peristiwa yang bersifat sama dengan yang dimaksudnya. “Jadi, semakin tinggi kecerdasan atau semakin banyak pengetahuan seorang warga Ungkal, poyok-nya juga semakin halus dan beragam,” tutur Dede.

Kendati demikian, Dede hanya bisa menduga-duga asal muasal Poyok Ungkal. Menurut perkiraannya, kebiasaan moyok boleh jadi berasal dari buyut warga Ungkal yang diduga adalah pelarian tentara Mataram. Sebagai seorang pelarian, logikanya dia harus menyembunyikan jati dirinya, sehingga semuanya harus disamarkan.

Dede memperkirakan hal itu dengan mempertimbangkan asal kata nama beberapa daerah/wilayah di sekitar Ungkal. Termasuk Ungkal. Desa Ungkal berbatasan dengan Desa Cacaban. Cacaban diduga berasal dari kata ceceg artinya nyecebkeun (membenamkan) yang bisaanya diterapkan kepada tanaman. “Menurut informasi, sawah tertua di Jawa Barat kan adanya di wilayah Conggeang,” ujar Dede.

Sementara Ungkal dalam bahasa Jawa berarti batu asahan. Dede menduga asahan itu menggambarkan warga Ungkal yang terus mengasah otak dan pikirannya untuk bisa mengungkapkan apa yang dimaksud agar tidak terkesan kasar atau to the point.

“Namun, semua itu hanya dugaan dan perkiraan saya, berdasarkan pertimbangan tertentu dan dikaitkan dengan peninggalan-peninggalan yang ada. Untuk pembuktian selanjutnya, diperlukan penelitan lebih dalam oleh ahli sejarah dara para pakar ilmu lain yang terkait,” Kata dede pula.

Dede setuju jika kebisaaan moyok masyarakat Ungkal dikategorikan sebagai budaya verbal. Namun, dia belum bisa berpendapat apakah budaya tersebut bisa dilestarikan (secara sengaja) atau tidak. Terlebih, bentuk pelestariannya pun belum terpikirkan. “Budaya ini unik. Orang, terutama di luar warga Ungkal, tidak bisa langsung mengerti Poyok Ungkal, diperlukan daya nalar tinggi atau pembiasaan yang cukup lama untuk bisa mengetahui atau mengerti adanya Poyok Ungkal dalam suatu percakapan. Jadi, tidak seperti Heureuy Bandung atau Sisindiran yang bisa lebih mudah dimengerti oleh lawan bicara, “ujar Dede.

Pihak Pemerintah Sumedang pun sudah lama mengetahui kebiasaan yang ada di masyarakat Ungkal. “Saat ini kami baru melakukan pendataan dan pemilahan serta pengklasifikasi budaya-budaya yang ada di masyarakat Sumedang. Khusus untuk Poyok Ungkal, belum terpikirkan bagaimana bentuk upaya pelestariaanya,’ kata Ade Rohana, Kasi Kesenian di Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Olahraga (Disbudparpora) Kabupaten Sumedang.

Sumber: Yeni Endah Pertiwi/”Pikiran Rakyat”