Pencak Silat, Budaya Melayu Modal untuk Maju

pencak silat
Pencak silat bukan sekedar olah raga atau ilmu bela diri. Budaya asli Indonesia ini juga punya dua aspek lain, yang terkadang dilupakan orang, yaitu aspek mentalitas spiritual dan seni tradisional. Jika pencak silat dipandang secara utuh, maka tidak berlebihan rasanya jika tokoh-tokoh silat nusantara mengklaim bahwa sesungguhnya bangsa kita sejak dulu sudah memiliki modal untuk menjadi bangsa yang maju.

Silat diperkirakan sudah menyebar di kepulauan nusantara sejak abad ke-7 Masehi, yang diakui sebagai budaya suku Melayu. Penduduk di Pulau Sumatra. Semenanjung Malaka, serta barbagai kelompok etnik yang menggunakan bahasa Melayu di Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi mengembangkan silat dengan gaya sendiri.

Masyarakat Minangkabau mengenal Silat Bungo, Silat Kumango, Silat Sitaralak, Silat Pauah, Silat Lintau, dan Silat Buayo. Di Betawi terdapat Silat Cingkrik, Silat Silau Macan, Silat Sabeni, Silat Tiga Berantai, dan Silat Gerak Saka. Sementara di Jawa Barat yang juga dikenal sebagai “indung” aliran silat di Indoensia, terdapat tiga aliran silat besar, yaitu Cimande, Cikalong, dan Syahbandar atau sahbandar atau Sabandar.

Aliran Cimande diciptakan oleh Mbah Khair pada akhir 1700-an, berpusat di Kampung Tarikolot, Desa Cimande, Kabupaten Bogor. Pada tahun 1800-an, Rd. H Ibrahim mengembangkan aliran Cikalong, setelah berguru kepada tujuh belas guru, termasuk diantaranya Rd. Ateng Alimudin, H. Ma’ruf dan Bang Madi dari Tanah Abang, serta Bang Kari. Pada abad yang sama, Muhammad Kosim yang merantau dari Pulau Sumatra ke kampung Sahbandar-Cianjur juga menyebarkan aliran Sahbandar

Cimande merupakan salah satu aliran pencak silat tertua di Indoensia. Sementara Cikalong dan Sahbandar pun sudah mendapatkan termpat di kalangan para pesilat. Aliran-aliran silat tersebut bahkan disebut-sebut dikembangkan di luar Jawa Barat, seperti Bangkalan Madura, Palembang, dan Sumantra Barat. Dengan kamta lain, Jawa Barat menempati posisi yang penting dalam hal perkembagnan pencak silat.

Dewan Pendekar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jawa Barat, H. Masri Atmadja menjelasakan bahwa pada awal kemunculannya, tidak semua orang bisa mempelajari pencak silat. Hanya orang-orang terpilih yang biasanya berasal dari kaum bangsawan atau menak, serta memiliki ilmu agama yang tinggi yang bisa belajar silat. Itulah sebabnya, silat sangat identik dengan nilai-nilai agama Islam. Sejarah juga mencatat bahwa dahulu latihan silat tidak pernah dilakukan secara terbuka dan pada siang hari. Para pesilat memilih berlatih malam hari setelah salat Isya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Menurut Masri, itu karena saat penjajahan Belanda, pencak silat dilarang. Penjajah khawatir penguasaan bela diri serta nilai-nilai kepemimpinan dan keberanian yang tertanam dalam pencak silat akan digunakan untuk melawan mereka.

Perjalanan perkembangan silat di Indonesia kemudian melahirkan istilah jawara atau pendekar. Penulis Menapaki Jejak Sang Jawara: Entitas Masyarakat Banten dan Jawa Bagian Barat, Gusman “Jali” Natawidjaja menyebutkan bahwa penamaan sosok jawara di Banten muncul sejak abad ke-19. namun seiring berjalannya waktu, persepsi masyarakat terhadap jawara memiliki pemahaman baragam, dari mulai yang positif, hingga negatif.

Di Jawa Barat, pencak silat sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat. Menururt pendiri Lembaga Pewarisan Pencak Silat (Garis Paksi) Gending Raspuzi, dahulu pencak silat merupakan hal yang wajib dipelajari anak lali-laki. Di Kab. Cianjur, laki-laki yang tidak bisa silat dianggap ketinggalan zaman atau euweuh kahayang (tidak punya cita-cita). Orang tua pada saat itu menganggap anak-anaknya perlu mempelajari silat, karena memahami empat aspek yang dimiliki pencak silat, yaitu mentalitas spiritual, seni, bela diri, dan olahraga. Keempat aspek itu sangat penting untuk menghasilkan generasi unggul, dengan segala elemen penunjangnya.

“Mungkin kondisi zaman dulu yang tidak seperti sekarang, memang membuat orang-orang membutuhkan silat sebagai ilmu bela diri,” katanya.

Bukti lain bahwa sisi mentalitas spritualitas pencak silat sangat kuat adalah, ritual pengambilan “talek” atau sumpah/janji yang selalu dilakukan oleh setiap perguruan sebelum seseorang diterima sebagai murid.

Talek ini pada umumnya merupakan sumpah/janji calon-calon murid untuk tidak menyalahgunakan ilmun silat yang akan dipelajarinya, dengan membangun mentalitas spiritual yang kokoh. Seperti bersumpah akan bertakwa kepada Tuhan, taat kepada orang tua, serta setia kepada Negara. Ini bukti bahwa selain olah fisik lewat jurus, seorang pesilat juga harus hidup sebagai orang baik.

Sekretaris Umum IPSI Jabar Prijatna Danusubrata mengakui, pada praktiknya ada orang yang memperdalam silat dengan dibumbui oleh kegiatan nonfisik. Padahal sebenarnya, tingkatan “spiritual” merupakan pembinaan puncak serta sasaran akhir untuk menjawab mengapa seseorang mendalami pencak silat. Lalu dengan tingginya penalaran para sesepuh dan tokoh sialt, pencak silat pun mulai dibungkus oleh aspek seni. Beberapa generasi kemudian, muncullah pencak silat sebagai seni tradisional yang hadir dalam berbagai upacara adat.

Membicarakan pencak silat di tatar Sunda tidak terelepas dari corak usik dan musik yang berwarna-warni. Dan musik yang paling menonjol di samping terbang/rudat, bedug, dan patingtung, adalah kendang penca. Kini, mengolah pencak silat sebagai olah seni menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jawa Barat dan Banten. Karenan dengan begitu, pencak silat benar-benar sudah mendarah daging setelah mencakup keempat aspek tersebut.

Pada perkembagan selanjutnya, pencak silat diajarkan secara terbuka kepada siapa pun yang tertarik untuk mempelajarinya, termasuk orang-orang asing dari Negara lain. Saat ini, dunia persilatan bahkan mengenal perguruan modern dan perguruan tradisional. Masing-masing memiliki cara dan sistem tersendiri dalam mengajarkan jurus-jurus silat, termasuk mewariskan nilai-nilai kebaikan melalui tradisi lisan dari guru ke murid. Bahkan ada pesilat yang membuat program latihan silat jarak jauh secara online, khusus untuk murid-murid dari Negara lain.

Ajaran silat secara umum memang bersifat universal. Melihat kenyataan itu, pencak silat sangat relevan untuk kehidupan saat ini, baik sebagai pembangun mentalitas spiritual, ilmu bela diri, sebagai seni, mampun sebagai olahraga.

Sumber: Lia Marlia/*Pikiran Rakyat**

Gamelan Sari Oneng, Daya Tarik Bagi Museum Geusan Ulun

gamelan sari oneng
Pada puncak hari Maulid Nabi Muhammad saw (1433 H), Kamis (23/2) lalu, masyarakat dari segenap pelosok Kabupaten Sumedang dan warga Sumedang yang tinggal di luar daerah Sumedang berdatangan memenuhi ruas jalan protokol kota berjuluk kota tahu. Mereka datang ke Sumedang karena penasaran ingin melihat langsung dari dekat benda-benda pusaka milik Kerajaan Sumedanglarang, yang merupakan benda-benda warisan leluhur. Benda-benda tersebut dipamerkan dalam acara Helaran Benda Pusaka Museum yayasan Pangeran Sumedang (YPS).

Benda-benda pusaka yang dipamerkan itu antara lain Pedang Ki Mastak peninggalan Prabu Tajimalela Raja Sumedanglarang pertama (721-778), Keris Ki Dukun Prabu Gajah Agung (893-998), Keris Panunggul Naga Prabu Geusan Ulun (1578-1601), Keris Nagasasra Pangeran Panembahan (1656-1706), Keris Nagasasra II Pangeran Kornel (1791-1828), Badik Curul Aul Senapati Jayaperkosa dan tentunya Mahkota Binokasih dibuat Raja Galuh, Sanghyang Bunisora Suradipati (1357-1371) merupakan masterpiece Museum Geusan Ulun Sumedang warisan Kerajaan Sunda yang diarak menggunakan replika Kereta Naga Paksi Liman.

Namun, rasa penasaran masyarakat pada waktu itu belum sepenuhnya terobati. Pasalnya, Gamelan Sari Oneng Mataram dan Gamelan Sari Parakan Salak yang belakangan banyak diberitakan di media cetak maupun elektronik tidak turut dalam iring-iringan benda pusaka. “Saya penasaran, sengaja datang ke Sumedang ingin melihat langsung gamelan yang pernah melanglangbuana ke sejumlah Negara Eropa dan Amerika untuk promosi hasil perkebunan negeri kita pada abad 18 M. Kalaupun melihat langsung datang ke museum (Museum Gesan Ulun harus waktu-waktu tertentu, “ujar Ridwan (22) salah seorang mahasiswa ISI Solo, ditemui seusai kirab.

Diakui Pimpinan Museum Geusan Ulun, Raden Moh. Ahmad Wiriaatmadja, dalam dua tahun terakhir keberadaan Gamelan Sari Oneng Parakan Salak dan Sari Oneng Mataram mulai terpublikasikan sebagai masterpiece Museum Geusan Ulun selain Mahkota Binokasih dan Kereta Naga Paksi Liman.

“Tetapi karena kurangnya informasi dan letak museum yang menyatu degan kompleks pemerintahan (Pemkab) Sumedang, masyarakat yang hendak berkunjung pun menjadi ragu-ragu untuk berkunjung, “Ujar Raden Moh. Ahmad Wiriaatmadja, saat mendampingi Kepala Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Dra. Rosdianan Rachmiwaty, seusai mendiskusikan rencana Program Pewarisan Kesenian Tradisional Gamelan Sari Oneng Sumedanglarang.

Di dalam museum Geusan Ulun ini banyak tersimpan manuskrip sejarah kerajaan Sunda di tanah Jawa, yang merupakan cikal bakal berdirinya pemerintahan di Provinsi Jawa Barat. Sayangnya hal itu kurang bergema gaungnya. Sumedang yang terletak sekitar 40 kilometer dari Kota Bandung sering kali hanya jadi persinggahan lintas antarkota. Padahal. Di kota kecil yang berada di antara Bandung dan Majalengka-Cirebon, pernah ada suatu kerajaan besar bernama Sumedanglarang.

Tinggalan budaya kerajaan yang konon didirikan oleh keluarga Prabu Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi I itu, saat ini hanya tinggal pusaka-pusakanya, yang disimpan di museum yang diresmikan pada 11 November 1973. “Belakangan banyak mahasiswa dari dalam maupun luar negeri yang datang berkunjung ke museum ini untuk melakukan penelitian terhadap keberadaan Gamelan Sari Oneng Parakan Salak dan Sari Oneng Mataram, “ujar Raden Aom.

Keberadaan gamelan Sari Oneng sendiri, menururt Raden Aom, bukan kali ini membuat penasaran masyarakat. Tapi sudah sejak abad ke-19 M lalu, atau tepatnya antara 1840 hingga 1860. pada masa itu, Karel Frederick Holle dan Adrian Walraven Holle membawa Gamelan sari Oneng Parakan Salak bersama sejumlah seniman dan seniwati Sunda untuk melanglangbuana ke sejumlah Negara di Eropa dalam rangka promosi hasil perkebunan teh dan kopi dari tanah Sunda.

“Seniman Sunda dan Gamelan Sari Oneng pernah manggung secara rutin di World Exhibiton Amsterdam Belanda dari tahun 1880-1931, di Expositon Universelle Paris, Prancis (1889) pada perayaan 100 tahun revolusi Prancis dan peresmian menara Effel. Selain itu digelar pula dalam acara World Columbian Exposition Chicago (1893). Bukti-bukti itu antara lain foto, terdapat dalam album van Mientje dengan angka tahun 1860. dalam foto itu menampilkan sosok Adrian yang tengah mengenakan pakaian tradisonal Sunda dan memainkan rebab di antara nayaga pemain Gamelan Sari Oneng,” Ujar Raden Aom, seraya menambahkan bahawa pertunjukan besar terakhir Sari Oneng adalah saat mengiringi ulang tahun perkawinan ke-60 Soeriadanoeningrat, 36 tahun lalu.

Hal yang tidak kalah menarik adalah cerita keberadaan goong indung atau goong ageung (gong besar) Sari Oneng bergaris tengah 92 cm dengan berat 30 kg, yang tertinggal di Belanda. Goong Ageung yang disimpan di Tropen Museum, selalu berbunyi dan membuat takut pengelola maupun pengunjung museum, karena sering bunyi sendiri. Pada April 1989, benda-benda pusaka itu dikembalikan ke Indonesia. Anda merasa penasaran? Kalau sempat berwisata budayalah ke Sumedang dan berkunjung ke Museum Geusan Ulun.

Sumber: Retno HY/*Pikiran Rakyat”

Perahu Nuh (Emha Ainun Nadjib dan Kiai Kanjeng)

perahu nuh
Dari Cak Nun:
Ini album berupaya menghidupkan kembali kekayaan yang sudah dikuburkan oleh sejarah. Memungut kembali yang dicampakkan orang. Meninggikan yang direndahkan orang. Menghormati yang dihina orang. Mengingat yang dilupakan orang. Melantunkan yang diremehkan orang. Mendendangkan yang besok baru disadari orang. Menyumbang tumbuhnya kembali kepercayaan diri budaya masyarakat kecil. …..

Produser:
kanjengProd.
Studio21

penata Musik:
Bobiet

Operator Studio:
Herman, Yoga, Bebek

Programmer:
Bobiet (Musik Program)

Recording Crew:
Isbet dan Rahmad

Mixing:
Herman

Vokal:
Cak Nun, Sudrun, Kurniawati, Zainul Arifin

Pemusik:
Novi Budianto (keyboard, saron), Bobbiet (keyboard, perkusi, drum), Yoyok (electric bas, rebana, saron), Bayu (saron, kendang, rebana, bonang), Djoko Kamto (rebana, demung), Ari Blothong (violin, rebana), Pas Is (bamboo flute, rebana).

Koor:
Kiai Kanjeng, Cak Nun, Sudrun, Kurniawati, Zainul Arifin, Budi Lahtar, Jebeng Seleng, Murzir Madjid.

Studio Rekam
Studio 21 Pluit Jakarta

Desain Grafis
Studio Zaituna Yogya

Produksi
Kanjeng Production

Koordinator Kiai Kanjeng
Joko Kamto

Side A
Sluku Sluku Bathok
Shalawat Mandar
Suluk Kangen
Kenduri Sholatullah

Side B
Shalawat Madura
Ya Ampun
Pangkur Kerinduan
Shalawat Melayu

Sluku-sluku Bathok

Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Romo menyang solo
Oleh-olehe payung mutho

Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Yen obah mendeni bocah
Yen urip ayo golek apik

Bangkitnya kesadaran karena kejernihan
Bangkitnya kekuatan karena kebersamaan
Tumbuhnya ketentraman hanya dari keadilan
Berhembusnya kemesraan dari cinta yang tak dipalsukan

Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Romo menyang Solo
Oleh-olehe payng mutho

Yang palsu ditanggalkan
Yang sejati datang
Yang dusta, yang bohong dikuakkan
Topeng-topeng dilenyapkan
Yang omong besar ditinggalkan orang

Shalatullah salamullah ‘ala nuri Rasulillah
Wa alihi muhibbillah
Wa shahbihi junudillah

Yang hanya tahu kepentingannya
Itu namanya menggali keburannya sendiri
Yang tak tahu batasnya
Akan ketlingsut oleh Zaman

Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Yen obah medani bocah
Yen urip mbok golek sing apik


Uraian di atas adalah sebagian dari isi sampul album Perahu Nuh. Album lawas Cak Nun dan Gamelan Mini Kiai Kanjeng yang di rilis akhir dekade sembilan puluhan.

Sekian dulu sobat. Maaf kalau postingan ini tak jelas kemana arahnya, sebab ini bukan sebuah reperensi. Ini hanya ungkapan apresiatif terhadap karya yang pernah ada di bumi kita ini.

Semut tak Akan Lupa Bau Musuhnya

semut
Untuk menandai musuhnya koloni semut membentuk “memori bersama” dari bau musuh mereka. Semut menyimpan bau ketika bertarung dengan musuh dari koloni lain. Bau itu lalu dibagi dengan semut lain sekoloni.

Demikian temuan para peneliti University of Melbourne Australia. Kepala peneliti, Mark Elgar, menjelaskan seluruh semut di koloni dapat merasakan pangalaman sesamanya.

Penelitian yang dilaporkan dalam jurnal Naturwissenschaften itu menyebutkan zat kimia merupakan kunci dari kawanan semut. Semut mengidentifikasi kawanan satu sarangnya dengasn “tanda kimia” yang melapisi tubuh setiap anggota dan membedakan bau dari penyusup yang mungkin akan menyerang.

Elgar mengatakan kemampuan tersebut sebagai “kebajikan organisasi”. “(Seperti) Anda memperingatkan rekan terhadap seseorang dan rekan yang mendengar hali itu menceritakan ke rekan lain yang tidak tahu sebelumnya,” ujar Elgar.

Para peneliti mempelajari semut tropis (Oecophylla smaragdinan) yang membangun sarang di pepohonan. Satu sarang menampung hingga 500 ribu pekerja. (BBC/Sri/**PR)

Kodepos Kecamatan di Kabupaten Sumedang

pt_pos

No Kecamatan Kodepos
1 Sumedang Selatan 45311 - 45315
2 Sumedang Utara 45321 – 45323
3 Cimalaka 45353
4 Tanjungkerta 45354
5 Tanjungmedar 45354
6 Cisarua 45355
7 Ganeas 45356
8 Rancakalong 45361
9 Tanjungsari 45362
10 Jatinangor 45363
11 Cisitu 45363
12 Cimanggung 45364
13 Pamulihan 45365
14 Sukasari 45366
15 Situraja 45371
16 Darmaraja 45372
17 Wado 45373
18 Cibugel 45375
19 Jatinunggal 45376
20 Jatigede 45377
21 Paseh 45381
22 Tomo 45382
23 Ujungjaya 45383
24 Conggeang 45391
25 Buahdua 45392
26 Surian 45393

Do’a dan Nasehat Pangeran Aria Soeria Atmadja

Riwayat Hidup Singkat Pangeran Aria Soeria Atmadja Bupati Sumedang
Do’a dan nasehat yang diungkapkan oleh Pangeran Aria Soeria Atmadja (Pangeran Mekah) pada tahun 1920 yang bunyinya sebagai berikut :

"BARIS KA SAGALA BARUDAK SUNDA AING NENEDA KA GOESTI NOE MAHA KAWASA MOEGA-MOEGA ATI MARANEH DIBOEKAKEUN KANA PANEMOE ELMOE LAMOEN MARANEH NGADENGE PAPATAH NOE HADE SOEPAYA TEREH NGAHARTI SOEMAWONNA KANA PAPATAH-PAPATAH NOE GEUS SABABARAHATAOEN DIPAPATAHKEUN SOEPAYA DIIMANKEUN WANTI-WANTI PISAN.
PANEDA AING KA GOESTI ALLAH SOEPAYA MARANEH PINARINGAN KABOENGAHAN DJEUNG REDJEKI DI DOENIA IEU TEPI KANA POE BOENGSOENA (ADJAL), SARTA MOEGA DIDJAOEHKEUN TINA BAHLA JEUNG PANARINGAN OEMOER PANDJANG.
KITOE DEUI MASING ROENTOET ROEKOEN DJENG BARAJA MARANEH.
MOEGA OELAH AJA SAOERANG OGE MARANEH NOE EUREUN MIKAHEMAN SAKABEHNA NOE MAPARIN GANDJARAN KA MARANEH.
TJEKEL PAPATAH AING IEU, SOEPAJA OELAH AJA SAOERANG OGE TINA ANTARA MARANEH NOE BOGA ATI BINGOENG LAMOEN MATAK MANGGIH BAHJA NOE KASEBOET DI DIEU, KARANA PAPATAH
AING IEU NJA ETA BOEKTINA NOE DIPAPARINKEUN KA OERANG SAREREA. SARTA LAMOEN AING NERANGKEUN KA MARANEH BOEKTINA TEA, NJA ETA SAESTOE-ESTOENA MAH DIDATANGKEUNNANA KOE NOE MAHA KAWASA.
POEGOEH MARANEH DIKAWASAKEUN PIKEUN BISA NARIMA ISARAT NOE DIDATANGKEUN KOE GOESTI ALLAH KA MARANEH.
MARANEH BISA MAKSA NGEUREUNKEUN KALAKOEAN NOE GORENG, KARANA GOESTI ALLAH NOE KAWASA NOEDOEHKEUN KANA DJALAN NOE MOELOES KA MARANEH DIPILAMPAH DI DOENIA IEU.
TANGTOE MARANEH DJADI TJONTO PIKEUN DITOEROETAN KOE SASAMA MARANEH DJENG TANGTOE SAKABEHNA MANOESA SAROEKAEUN KA MARANEH.
SARTA BEH DITOENA MARANEH NGARASA BAGDJA TEUPI KA ANAK INTJOE.
MARANEH SAREREA NOE SAENDENGNA PADA NGARIMANKEUN KANA MAKSOED AING TEA.
AING NJERENKEUN ETA PAPATAH AING NOE PANOENGTOENGAN SAKEDAH POLAH.
KARANA AING NGARASA GEUS KOLOT MOAL SABARAHA DEUI NJA OEMOER.
KOELANTARAN TOELISAN AING IEU, SOEPAJA MANGKE DIMANA OERANG GEUS PAPISAH, MOEGAMOEGA MARANEH DJADI DJALMA PINTER, BISA NGADJI DJEUNG NGINGET-NGINGETKEUN TJARITA IEU; DIPIKIR BEURANG DJEUNG PEUTING.
DJEUNG BEH DITOENA MOEGA-MOEGA MARANEH BISA NOEROETAN KAROEHOEN MARANEH MOEGA-MOEGA BISAEUN MINDAHKEUN NAON KAKOERANGAN DIRI MARANEH MOEGA SALAWASNA DIRAKSA.
LAMOEN MARANEH GEUS NGARASA KAPAPATENAN DOELOER TJARA AING KAPAPATENAN KOE KAROEHOEN AING POMA MARANEH OELAH REK POHO NGAHORMAT.
NOELOENGAN DJEUNG NOEROET NOE WADJIB PIKEUN MARANEH NARANDAKEUN DJALAN KABENERAN SANADJAN KOE DJALAN SEDJEN.
ETA PANGHORMAT AING NOE PANOENGTOENGAN KA MARANEH, SAMEMEHNA NJAWA AING DIPOENDOET KOE NOE KAGOENGAN.
KOE SABAB ETA NJAWA AING DI AEHERAT MOAL ERA KOE BANGSA SASAMA AING.
JEN AING GEUS DITAKDIRKEUN KOE GOESTI ALLAH DILANTARANKEUN PITOELOENGNA KANGDJENG GOUVERNEMENT DIDJADIKEUN POERAH MAPATAHAN DJEUNG NGADJAK KA MARANEH SAREREA.
SAKITOE ETA PAMENTA AING KA MARANEH SAREREA SOEPAJA DITOEROET."


(PANGERAN ARIA SOERIA ATMADJA)

Sumber: SUMEDANG PUSEUR BUDAYA SUNDA (SPBS)

Wangi Indriya, Pewaris Topeng Tambi

topeng tambi
Awal 2004 hingga pertengahan 2011 menjadi waktu paling berharga bagi Wangi Indrya (51) seorang dalang wayang yang juga dikenal sebagai penari topeng asal Desa Tambi, Sliyeg, Indramayu, Jawa Barat. Pewaris kesenian tradisional Tari Topeng Gaya Tambi ini diajak main drama kolosal “I La Galigo” karya sutradara Robert Wilson, yang diangkat dari naskah “I La Galigo”, naskah kuno karya Arung Pancana Toa, berdurasi empat jam tanpa jeda. Dalam pertunjukan tersebut, Wangi Indriya dipercaya untuk menghidupkan peran We Nyilih Timoq.

Pada Maret 2004, “I La Goligo” digelar di Esplanade Singapura. Setelah itu lalu digelar di Muziektheater Belanda, Teatro Liure Barcelona, dan Teantro Espanol Madrid (Mei 2004), Les Nuits de Fourviere Lyon, dan Teatro Alighieri Ravenna memjadi penutup rangkaian pergelaran “I La Galigo” di tahun 2004.

Tahun 2005 pementasan hanya dilakukan di New York, Amerika Serikat (Juli 2005) dan Jakarta (Desember 2005), sementara di Australia pegelaran berlangsung pada Oktober 2006, Milan, Italia dan Taipei, Taiwan (2008) diakhiri di Makassar pada April 2011.

Dalam hal menjalin kerja sama, Wangi tidak hanya bekerja sama dengan Robert Wilson tetapi juga menjalin kerja sama dengan Mugiyono Dance dan Teater Grasi Yogyakarta. “Kerja sama isi saya lakukan selain untuk memperkenalkan apa dan bagaimana tari topeng itu, juga berupaya untuk menyebarluaskan ke masyarakat dunia,” ujar Mimi Wangi Indriya, disela-sela persiapan pegelaran Program Revitalisai dan Pewarisan Kesenian Tradisonal yang diselenggarakan Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, bertempat di Teater Terbuka (Dago Tea House), Sabtu (25/2) lalu.

Dikatakan Wangi, untuk mencapai “sari” sebagai penari topeng yang profesional akan hal itu bukanlah perkara yang mudah. “Saya menjalani kesenian sejak dulu hingga seperti sekarang ini bukan perkara yang mudah. Banyak halangan dan rintangan pahit getir yang harus dijalani,” ujar wanita kelahiran Indramayu 10 Agustus 1961, yang mendapat ilmu menari langsung dari Wisad kakeknya di usia 5 tahun.

Selain mendapat ilmu menari topeng dari Wisad (kakeknya), Mimi Wangi juga mendapat ilmu dari Warsem (asal Juntiyuat)), serta dari Nargi, Tomo, dan Tarip (asal Sukagumiwang). Keinginan untuk menjadi penari juga membawa Mimi Wangi bertemu dengan maestro tari topeng asal Pakandangan Alm, Mimi Rasinah.

“Sebenarnya sudah lama disuruh Mama Taham (ayahnya) untuk menemui Mimi Rasinah. Tapi baru bisa menemui sekitar tahun 1994, itu pun sangat susah karena Mimi tidak mau lagi menari karena sudah 20 tahun lebih tidak menari. Baru setelah mengajak Pak Toto (Amsar) dan Pak Endo (Suwanda), secara perlahan Mimi mau berbagi ilmu,” ujar Mimi Wangi mengenang.

Setelah mendapat ilmu dari kakeknya (Wisad) dan ayahnya (Taham) serta sejumlah maestro, tanggung jawab moral pun tertumpu di pundak Mimi Wangi. Dirinya mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara serta mewariskan kepada turunan serta mereka yang sama-sama memiliki kepedulian akan tari topeng. “Banyak berkiprah di luar menjadi jalan satu-satunya untuk memacu keinginan anak-anak belajar tari topeng. Apa pun saya lakukan seperti terlibat dalam berbagai karya seni dengan seniman lain yang menghantarkan saya ke banyak Negara,” ujar Mimi Wangi.

Gayung bersambut, Sanggar Seni Mulya Bhakti yang didirikan Taham mamanya pada tahun 1983 mendapat bantuan rehab sanggar pada tahun 2000. Baru tahun 2007 Mimi Wangi yang mewarisi sanggar menjalankan dengan serius. Tercatat ada 347 orang berlatih tari topeng, belajar gamelan (347 orang), seni pedalangan (6 orang), dan seni berokan (20 orang). “Mudah-mudahan warisan seni ini akan tetap langgeng dan terjaga,” ujar Mimi Indriya berharap.

Sumber: Retno HY/*Pikiran Rakyat”