Tari Topeng Palimanan yang Terabaikan

KEJAYAAN tari topeng Palimanan di Cirebon telah lama redup. Tak terlihat geliat kebangkitan tari topeng Palimanan Cirebon ala Ibu Sudji (alm). Padahal tari topeng tradisional yang satu ini punya ciri khas tersendiri disamping tari topeng lainnya, seperti tari topeng Losari, tari topeng Slangit dan tari tpeng Kalianyar. Tari topeng Palimanan pernah mengalami masa keemasan di tangan maestro Ibu Sudji (alm). Kepiawaian Ibu Sudji mengekspresikan tari topeng Palimanan ini mampu mengantar dirinya keliling mancanegara di antaranya ke Jepang, Beijing, dan Australia.

Meski begitu, penerus maestro tari topeng Palimanan ibu Sudji (alm) – bernama Nani Kadmini (39) -- tak pernal lelah menjaga agar tarian tradisional Cirebon ini tidak terbenam dalam kejayaan yang padam. Lantaran itu Nani Kadmini murid kesayangan Ibu Sudji dan pewaris tari topeng Palimanan ini hari-harinya penuh dengan derai peluh dan selimut debu melangkah setiap jengkal tanah wali untuk mencari anak-anak yang mau belajar dan menggeluti tari topeng Palimanan ini. Upaya kerasnya tak sia-sia. Kini Nani punya puluhan anak binaan selain di sanggarnya di Kedungbunder. Ia melatih tari topeng di wilayah kota Cirebon, yakni di sekolah milik PUI Kanggraksan, Sekolah Taman Siswa di Kompleks Kraton Kanoman, SMKI di Kompleks Keraton Kasepuhan. Yang ia ajarkan adalah tarian tradisional sesuai dengan pakem, bukan tarian kreasi atau tarian modifikasi, meski ia sadar dengan mempertahankan tradisi tanpa sentuhan kreasi modern atau kreasi kreatif berisiko dijauhi penonton.

“Alhamdulillah untuk mempertahankan eksistensi tari topeng Palimanan ini saya membuat sanggar latihan tari meski belum punya tempat khusus,” tutur Nani yang pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi seni ASTI Bandung (kini STSI) walau tidak sampai tuntas.

Jerih payahnya untuk mengembangkan tari tradisional Cirebon ini memang tidak membuahkan materi yang memadai. Honor mengajar tari di tiga sekolah itu kurang dari dua ratus ribu rupiah sangat tidak mencukupi untuk menopang hidup keluarganya. “Ya kami syukuri saja apa yang kami terima, walau kalau dihitung honor mengajar tari di tiga sekolah itu habis untuk biaya ongkos angkutan umum dari rumah menuju ke sekolah-sekolah. Tapi saya yakin rezeki untuk kami dari Allah pasti ada,” ujar Nani dengan nada pasrah tetapi kedua matanya berkaca-kaca digenangi air mata perih.

Mesti demikian, semangat dan kegigihannya untuik mempertahankan keberadaan tari topeng Palimanan ala Ibu Sudji agaknya tak pernah terkubur oleh impitan ekonomi keluarga yang makin menyesakkan hidupnya.

Nani Kadmini adalah seorang ibu yang mempunyai dua anak, tinggal di kampung Desa kedung Bunder Kecamatan Gempol (pemekaran Kecamatan Palimanan). Dengan segala keterbatasannya, Nani Kadmini mampu membesarkan dua anaknya sehingga anak pertamanya, Indra Prianto, bisa mengenyam pendidikan di SMK 1 Jamblang kelas X dan putrinya, Hani Indrani, di SD Kedungbunder.

Profesi sebagai penari topeng sekarang ini tidak secerah dekade 1970-an. Menjadi dalang/penari topeng saat ini harus bergelut dengan ketidaksantunan teknologi asing yang menyekap setiap saat di ruang-ruang apresiatif belahan kota budaya Cirebon. Tari topeng yang pada dekade 70-an bisa dengan mudah kita saksikan di tempat-tempat orang hajatan, kini nyaris terabaikan. “Kalaupun ada tanggapan tari topeng untuk saya pribadi paling ikut pentas di acara-acara ulang tahun Penda Kabupaten/Kota Cirebon dan pentas-pentas kolosal bersama Sanggar Tari Pringgading pimpinan Handoyo M.Y. dan Lembaga Kebudayaan Kota Cirebon pimpinan Andrian Hardjo. Atau kalau ke luar negeri biasanya saya ikut tim pameran dari Indonesia ke luar negeri seperti Jepang dan Korea,” ujar Nani.

Nani merasa bangga bisa pentas bersama-sama Handoyo M.Y. dan Andrian Hardjo, sehingga ia bisa menari ke berbagai pelosok nusantara seperti Jakarta, Yogyakarta, Solo, Kalimantan, dan Sulawesi. Ia bisa ikut pentas Sendratari Swatacana “Putri Sela Pandan” di Panggung Budaya Sunyaragi beberapa tahun lalu ditonton Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Ia juga ikut pentas Sendratari Swatacana “Cheng Ho” di jakarta dan ditonton sejumlah menteri dan pimpinan DPR RI. Ia pun ikut menjadi penari Keraton Cirebon saat Festival Keraton Nusantara.

Sanggar tarinya diberi nama Sanggar Tari Wulan Sari memiliki dua puluh murid – anak dari kampung setempat. Anak-anak yang rata-rata berusia 10 tahun dan masih sekolah di SD ini biasanya berlatih tari topeng seminggu tiga kali. Hanya, anak-anak itu sudah hampir satu tahun tidak latihan lantaran kondisi ekonomi orang tuanya. “Padahal sungguh saya tidak pernah memaksa dan mewajibkan anak-anak yang belajar tari ke saya untuk bayar iuran Rp 20.000 per bulan. Selama ini banyak yang tidak membayar iuran itu saya tetap melatih anak-anak,” tuturnya.

Menurut dia, tari topeng Palimanan Cirebon ala Ibu Sudji (alm) sebetulnya sangat diminati pakar/pemerhati tari tradisional dari luar negeri. Ibu Sudji juga semasa hidupnya pernah menjadi dosen tamu di sejumlah perguruan tinggi di Bandung, Jawa Barat.

Kini tari topeng ala Ibu Sudji nyaris tak ada yang mewarisi. Seperti kuburan – tempat peristirahatan terakhirnya – yang saat ini dipenuhi lumut dan rumput. Tinggal Nani Kadmini – murid satu-satunya kesayangan Ibu Sudji yang begitu homat dan menjaga warisan seni tradisi yang langka ini, termasuk melakukan ritual penari topeng ke kuburan yakni berdoa ke kuburan Ibu Sudji setiap jumat Kliwon sore dengan menggunakan kostum lengkap penari topeng. “Berziarah ke kuburan leluhur penari/dalang topeng Ibu Sudji ini tidak punya tujuan atau maksud apa pun kecuali sebagai rasa hormat kami ke leluhur dengan mengirim doa,” ujarnya.

Nani Kadmini mengakui, peninggalan Ibu Sudji yang ia miliki cuma kedok Klana yang usianya sekitar 100 tahun lebih. Itu pun sudah agak retak. “Sedangkan kostum dan kedok-kedok lain milik Ibu Sudji ketika saya coba tanyakan kepada anak cucunya sudah tak ada lagi. Kedok tari topeng unggulan Ibu Sudji adalah kedok Panji. Saya ingin punya kedok Panji itu. Tapi katanya kini kedok bersama peralatan lainnya sudah terjual entah sekarang di simpan di mana dan jadi milik siapa. Andai saya punya uang banyak pasti kedok dan perlatan tari topeng Ibu Sudji akan saya cari dan saya beli kembali,” ujarnya.

Ya, saat ini ia masih terbantu oleh penghasilan suaminya yang seorang sopir. Rumah peninggalan orang tuanya – terletak 200 meter dari Jalan Raya Palimanan Cirebon masuk gerbang Pondok Pesantren Kempek – yang sebagian kusen jendela dan pintu serta atap rumah mulai rapuh. “Sebetulnya saya pengen rumah ini dirombak menjadi rumah tinggal sekaligus sanggar latihan tari. Saya ingin tari topeng Palimanan tetap hidup di tempat kelahiran Ibu Sudji, termasuk para penabuh gamelan topeng khas Palimanan ini ada pewarisnya. Sebab kini para penabuh yang bisa mengiringi tari topeng ala Palimanan ini mulai surut dan kalau pun ada tinggal yang sepuh-sepuh,” ujar Nani Kadmini – yang juga mengangankan memiliki perangkat gamelan pengiring tari topeng sendiri. saat ini untuk pentas-pentas menggunakan gamelan pengiring berupa rekaman kaset.

Nani Kadmini tak pernah menyerah dan hanya sendirian bergulat dengan waktu guna mempertahankan hiudup tari topeng Paliaman ala Ibu Sudji ini. Tak ada mengucur bantuan apa pun dari pihak terkait pembina seni budaya baik yang berada di Cirebon, provinsi, maupun pusat. Boleh jadi dirinya yang kini masih energik lambat laun akan makin ringkih terimpit tekanan ekonomi keluarganya, seperti nasib dalang/penari topeng Cirebon lainnya. Semua lantaran profesi dalang/penari tari tradisional topeng Cirebon hanya dipandang sebelah mata oleh penguasa. Sungguh tari topeng Palimanan sama nasibnya dengan tari topeng Losari, tari topeng Slangit, tari topeng Kalianyar – tampaknya sebelum menemui ajal atau mati, lama telah terabaikan.


Sumber: Sumbadi Sastra Alam; Ketua Dewan Penasehat Komunitas Penulis Cirebon CERPOR /*Pikiran Rakyat** Minggu, 4 April 2010

Kuda Renggong

kuda renggong
Sekitar mulai tahun 1960-an, setiap upacara khitanan anak diadakan helaran dan menggunakan kesenian helaran yang disebut kuda renggong.

Sebelum ada kesenian helaran kuda renggong, anak khitan hanya digendong oleh kerabatnya dengan diiringi tetabungan dog-dog atau genjring, menuju makan leluhurnya untuk berjiarah. Kemudian acara helaran mengalami perubahan, anak sunat didudukan di atas punggung kuda yang dipandu oleh sipemilik kuda. Dengan diiringi oleh saudara dan kerabat. Alat musik pengiring masih berupa dog-dog, genjring dan kendang pencak.

Perkembangan selanjutnya para pemilik kuda terus mengadakan perubahan-perubahan yaitu dengan melatih kuda untuk dapat bergerak-gerak seperti sebuah tarian, seirama dengan bunyi musik pengiring, yaitu kendang pencak. Penataan atribut yang digunakan kuda, pakaian anak khitan, dan pakain pemain musik pengiring dan para penari, maka sejak itulah terkenal dengan nama Kuda Renggong.

Perlengkapan yang dipergunakan kuda diantaranya:
- Siger: terbuat dari kulit atau kertas tebal, dihiasi dengan payet atau kain warna kemilau mas, dipasang dikepala kuda dengan pengunakan tali.
- Bodong: terbuat dari kulit atau kertas tebal, dihiasi dengan payet atau kain warna mas, digunakan untuk menutupi kedua telinga kuda.
- Sela: alat yang dipakai pada punggung kuda dilengkapi dengan tempat pijakan kaki, berfungsi untuk tempat duduk anak khitan.
- Ebek: merupakan sayap yang dipasang dibagian kiri dan kanan kuda.
- Perlengkapan lainnya, payung besar, dan pakaian anak khitan.

Alat musik pengiring kuda renggong diantaranya: tilingtit, jengrong, udeng, ketuk, kecrek besi, kendang, goong, bonang, jidor, kendang, dll.

Kuda renggong berkembang di daerah sunda seperti di Sumedang tersebar dibeberapa kecamatan diantaranya di Conggeang, Buahdua, Situraja, dll.

Kontak Saya (EmailMe Form)


Name*
Email*
Subject*
Message*
Image Verification
captcha
Please enter the text from the image:
Refresh Image What's This?
Powered byEMF HTML Forms