• rss

MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN: Menyimpan Jejak Sumedang Masa Lalu

arsip kula|Jumat, 06 Juni 2014|13.37
fb tweet g+
BUKU Waruga Jagat merupakan salah satu naskah kuno yang menjadi koleksi Museum Prabu Geusan Ulun Kabupaten Sumedang. Naskah kuno tersebut dibuat oleh Mas Ngabehi Paranah warga Sumedang. Umur naskahnya diperkirakan sudah mencapai 300 tahun.

MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN: Menyimpan Jejak Sumedang Masa Lalu
Mahkota Binokasih (foto: google)
Naskah kuno tersebut, menjadi dasar pengambilan tanggal hari jadi Sumedang yang jatuh tanggal 22 April. Tanggal itu berbarengan dengan penyerahan Dinasti Kerajaan Pajajaran dengan Rajanya Ragamulya Suryakancana ke Kerajaan Sumedang Larang yang dipimpin Prabu Geusan Ulun.

Penyerahan tampuk kekuasaan dari Pajajaran ke Sumedang Larang terjadi ketika menjelang keruntuhan Kerajaan Pajajaran sehubungan Pajajaran diserang Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dan Kesultanan Cirebon.

Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan kecil di bawah Kerajaan Pajajaran, Kerajaan Sumedang Larang terpilih menjadi penerus Kerajaan Pajajaran yang berkuasa di tanah Parahyangan. Terpilihnya Kerajaan Sumedang Larang, selain karena kepercayaan dan diperkuat wangsit Raja Panjajaran, juga Sumedang Larang merupakan kerajaan yang sangat kuat yang dipimpin Prabu Geusan Ulun. Dia sosok raja yang gagah berani, bijaksana, berilmu tinggi serta masih keturanan Raja Pajajaran.

Penyerahan tampuk kekuasaan, ditandai dengan penyerahan mahkota Raja Pajajaran bernama Mahkota Binokasih sekaligus penobatan Pangeran Angkawijaya atau Pangeran kusumadinata II dengan gelar Prabu Geusan Ulun (1578-1601) sebagai Raja Sumedang Larang.

Mahkota Binokasih masih tersimpan di museum. Begitu pula semua atribut dan benda-benda pusaka Kerajaan Pajajaran lainnya, seperti halnya kujang dan kereta kerajaan yakni Kereta Naga Paksi. Hanya, keretanya tak utuh lagi. Yang tersimpan di museum berupa rodanya. Setiap acara tertentu replika kereta Naga Paksi selalu diarak dengan barang-barang pusakan peninggalan sejarah lainnya.

Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun merupakan kebebasan Sumedang Larang untuk menyejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon.

Prabu Geusan Ulun saat itu sudah memeluk agama Islam dari orang tuanya, yakni Pangeran Santri atau Pangeran kusumadinata I dari Kesultanan Cirebon dan ibunya Ratu Inten Dewata Pucuk Umum yang sebelumnya Raja Sumedang Larang.

Dalam naskah kuno lainnya, yakni Buku Wawacan yang dibuat RAA Martanegara yang sudah ditik ulang, tertulis cerita sejarah lainnya tentang kisah cinta Prabu Geusan Ulun dengan Putri Harisbaya dari Kerajaan Cirebon. Pernikahannya menimbulkan peperangan antara Kerajaan Sumedang Larang dengan Kerajaan Cirebon. Di masa peperangan, munculah situs Hanjuang di daerah Kutamaya yang dulunya tempat Kerajaan Sumedang Larang. Namun, saat itu Prabu Geusan Ulun mencari tempat aman bersama rakyatnya hingga kerajaan dialihkan ke Dayeuh Luhur di Kecamatan Ganeas,

“Dipuncak Dayeuh Luhur itu lah, tempat makam Raja Sumedang Larang, Prabu Geusan Ulun”, tutur Ketua Museum Prabu Geusan Ulun Sumedang Rd. Achmad Wiriaatmadja.

Sumber: Adang Jukardi/*Pikiran Rakyat** Selasa, 24 Desember 2013