FOTO: USEP USMAN NASRULLOH/ ”PR” |
WARGA bersalaman saling memaafkan seusai salat Id di Balai Pertemuan Kesatuan Adat Banten Kidul di Kasepuhan Adat Ciptagelar, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Minggu (19/8) |
Kondisi berbeda akan pembaca temukan jika merayakan Idulfitri di Kampung Adat di Jawa Barat. Idulfitri yang dimaknai kembalinya manusia kepada fitrahnya yang suci, lebih berlangsung hikmat, dengan menjunjung tinggi sakralitas hari kemenangan. Tentunya, tradisi khas yang masih dipelihara tetap menjadi pemandangan unik yang bisa pembaca saksikan.
Di Kampung Adat Urug yang terletak di Kiara Pandak, Sukajaya, Kabupaten Bogor, hikmatnya Idulfitri 1433 H, sebenarnya sudah terasa sejak malam-malam ganjil di sepuh hari terakhir atau saat katam Alquran penghujung bulan Ramadan. Pada malam-malam tersebut, ketupat atau yang dikenal dengan sebutan pesor sudah disajikan. Hal itu berbeda dengan kebiasaan masyarakat kebanyakan yang menyajikan ketupat pada 1 Syawal.
Maka jangan heran, pada 1 Syawalnya justru tidak ada ketupat dan opor ayam di kampung berjarak 55 kilometer dari Kota Bogor ini. Makan yang paling umum disajikan adalah nasi tumpeng lengkap dengan lauk berupa daging dan ayam, kadang dengan bakakak ayam (ayam utuh).
Ketua Adat Kampung Urug Abah Ukat menuturkan sebelum mengumandangkan takbir di masjid Kampung Adat, masyarakat setempat menyiapkan syukuran di rumah masing-masing dengan makanan seadanya yang disebut ririungan. “Ririungan ini dimaksud untuk mengingat para leluhur,” ujar Abah Ukat.
Seusai ririungan, masyarakat berduyun-duyun ke masjid untuk mengumandangkan takbir hingga dini hari. Masjid kemudian akan menjadi pusat kegiatan selama Labaran. Pagi hari, salat Id mereka selenggarakan di masjid setempat. Setelah itu masyarakat adat berkumpul kembali ke masjid dengan membawa sejumlah makanan. Di tempat itu pula, mereka berbagi makan dan kegembiraan.
Sementara berlebaran di Kampung Pulo yang terletak di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, masjid kampung adat tidak dijadikan sebagai tempat salat Idulfitri. Masyarakat adat lebih memilih salat Id di masjid desa setempat, membaur dengan warga lainnya.
Seusai salat Id, warga Kampung Adat Pulo berkumpul di halaman enam rumah yang berderet saling berhadapan. Warga kampung adat yang merupakan garis keturunan Eyang Dalem Arif Muhammad, penyebar Islam di Garut itu, menyambut hari kemenangan dengan peluk dan salam saling memaafkan. Barulah kemudian mereka berkumpul di Masjid Pulo.
Doa-doa dipanjatkan, dipimpin oleh Ketua Kampung Adat. Kusyuk dan khidmat, mereka memohon keselamatan bagi Rasulullah saw. dan para sahabatnya, memohon berkah dan keselamatan bagi warga kampung adat dan masyarakat sekitar.
“Setelah itu, baru kami berziarah ke makam keluarga dan makam Eyang Embah Dalem Arif Muhammad, leluhur Kampung Pulo yang tereletak di belakang Candi Cangkuang,” ujar Ketua Kampung Adat sekaligus kuncen Makam Arif Muhammad, Tatang Sanjaya (57).
Tradisi itu terus dipertahankan seperti halnya ketentuan jumlah dan bentuk tujuh bangunan pokok di Kampung Adat yang tidak boleh berubah. Tujuh bangunan pokok itu yakni enam rumah panggung panjang berbahan kayu dan bilik dengan posisi masing-masing tiga berjajar salang berhadapan dan masjid kecil.
Tidak boleh ada lebih dari satu kepala keluarga di dalam rumah. Saat ini, 21 orang warga yang tinggal di enam rumah adat Kampung Pulo adalah generasi ke-8, 9, dan 10 dari nenekk/kakek mereka. Mereka terdiri dari 12 laki-laki dan sembilan perempuan, termasuk diantaranya enam anak-anak.
Petasan Lodong Bambu
Suasana yang agak berbeda dari kampung adat di atas, bisa pembaca temukan di Kasepuhan Adat Ciptagelar yang berada di kampung Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Di sana ada tradisi petasan tradisional lodong bambu, sang Ketua Abah Anom atau Abah Ugi Sugriana Rakasiwi bersama istrinya, Ma alit, didampingi para rorokan dan baris kolot (para sesepuh kampung) turun dari Imah Gede (rumah utama) pada malam menjelang idulfitri. Pakaiannya khas, mengunakan baju koko hitam atau putih dan berikat kepala.
Tidak hanya menyaksikan pembakaran petasan lodong, Abah Anom pun turut membakarnya, membaur dengan warga. Tradisi itu tetap bertahan mengingat menyalakan lodong rupanya menjadi kesenangan tersendiri Abah Anom sejak kecil.
Dalam waktu hampir bersamaan, ratusan anak kecil yang dibagi beberapa kelompok mendatangi rumah warga di sejumlah kampung. Dengan bunyi-bunyian, mereka berkeliling kampung mendatangi rumah warga mengumpulkan sedekah. Kegiatan itu disebut Nopeng dan berlangsung hingga tengah malam. Selanjutnya hasil nopeng dikumpulkan di balai peremuan untuk sedekah warga dan anak-anak yang terlibat ikut takbiran.
Sedekah juga diterima oleh Amil Adat Ciptagelar Rahman berupa makan dari warga yang langsung datang ke rumah Amil. Sedekah itu disebut sedekah kadaharan.
Prosesi pembuatan hingga pembagian sedekah kadaharan itulah yang berkesan hikmat. Sehari sebelum Idulfitri, warga sudah menghentikan seluruh aktivitas bercocok tanam dan berkonsentrasi Mapag Lebaran dengan berbagai acara ritual, salah satunya kegiatan bubar panggang.
Seluruh warga yang memiliki binatang ternak, wajib memotong dan memanggangnya. Daging panggang adalah salah satu makanan menu andalan lebaran yang sudah harus siap sebelum azan Magrib berkumandang.
“Binatang ternak, seperti ayam, bebek, kambing, dan itik harus tuntas dipanggang sebelum mamasuki takbiran bersama. Kalau tidak tuntas hingga Magrib maka pamali,” kata Amil Adar Ciptagelar Rahman. Selanjutnya, Amil akan menerima sedekah makanan hasil bubar panggang.
Dibantu seluruh anggota keluarganya, makan sedekah didistribusikan kembali kepada seluruh warga, tanpa terkecuali. Pembagian makanan harus tuntas sebelum salat Idulfitri.
“Warga yang memberikan sedekah harus kembali menerima makanan yang berbeda. Karena itu, keluarga Amil tidak menerima kunjungan tamu hingga usai membagikan makan sedekah,” tutur dia.
Pada 1 Syawal, hikmatnya lebaran mencapai puncaknya ketika Abah Anom didampingi istrinya, Ma Alit, menggelar Patarema Leungeun ( bersalaman). Kegiatan itu tidak hanya dihadiri para rorokan dan baris kolot. Semua warga juga tumplek memenuhi Imah Gede.
Uniknya, warga penuh santun bersalaman dengan cara ngesot baik kepada ketua adat, juga orang-orang yang dituakan. Puncak Lebaran berakhir setelah Abah Anom menyelenggarkan upacara Salametan Syukuran Lebaran.
Salametan ditandai dengan disajikannya semua olahan masakan Imah Gede kepada seluruh warga.
Agak berbeda dengan tradisi di Kelurahan Cigugur Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan.
Pertemuan disertai sapa salam lebaran dari warga non-Muslim kepada warga Muslim seperti itu, mewarnai suasana Idulfitri kemarin.
“Kelurahan Cigugur ini, sejak dulu sampai sekarang dikenal sebagai kelurahan di Kabupaten kuningan yang memiliki banyak penduduk berbeda-beda agama. Namun, kerukunan antarumat beda agama warga di kelurahan kami ini sampai sekarang selalu terjaga baik. Bahkan karena itu, Kelurahan Cigugur ini sering dibilang banyak orang, miniaturnya Indonesia,” ututr H. Diding Sunardi, seorang tokoh masyarakat setempat.
Ungkapan sanada juga dilontarkan sejumlah warga lainnya di kelurahan tersebut, termasuk Lurah (Kepala Kelurahan) Cigugur Ujang Sutrisna dan Camat Cigugur Jojo Juharsa yang melaksanakan Salat Id berjamaah di alun-alun depan Masid Jami Al-Jihad di kelurahan tersebut.
“Kerukunan antarwaarga berbeda agama di keluran ini tidak hanya ditunjukkan warganya pada hari raya Idullfitri sepertio sekarang ini, tetapi selalu terjaga pula dalam suasan sehari-hari serta pada hari raya agama lainnya,” kata Camat Cigugur Jojo Juharsa. (Dirangkum Amaliya/-“PR”. Laporan dari Ahmad Rayadie/Kismi Dwi Astuti/Arif Budi/Nuryaman/”PR”)***
Sumber: Pikiran Rakyat