(foto: Pikiran Rakyat) |
KARINDING sebagai alat musik tradisional, memiliki begitu banyak kekayaan intelektualitas di balik bentuknya yang sederhana, cara memainkan, juga kisah-kisah seputar upaya revitalisasinya. Dari bentuknya, karinding terbagi menjadi tiga bagian, pancepengan, yaitu bagian yang harus dipegang dengan mantap, cecet ucing di mana buluh bambu karinding yang dibuat kecil dan tipis akan bergetar dan menghasilkan bunyi ketika bagian ke tiga, paneunggeulan, ditabuh.
Bagian pertama dari karinding, pancepengan, merupakan bagian dimana pemain karinding harus memegangnya dengan baik. Tak usah erat, yang penting pas dan mantap. Pancepengan serta cara sang pemain karinding memegannya mengandung nilai filosofi yakin, bahwa ia harus yakin dengan apa yang di pegang sebelum kemudian ia mainkan akan berguna bagi banyak orang.
Yakin kepada diri sendiri akan meniupkan ruh positif bagi individu sehingga ia akan terus berkata, “Aku akan memupuk semangat dalam kreaktivitas dan dengan demikian, kita sebenarnya sedang membuka sumbat yang menutupi potensi diri kita, membimbing mencapai tujuan yang kita yakini. Energi ini membantu kita dalam mencari referensi, bertanya, mengurus pekerjaan, menyusun berbagai langkah ikhlas dan tawakal, membina kita agar senantiasa berada dalam kerendahan hati ketika berpikir, berucap, dan bertindak.
Setelah dengan yakin bahwa ia menggenggam karinding, maka pemain karinding bisa mulai menabuh karinding dengan sabar, tidak tergesa-gesa, tidak terlalu cepat, tidak terlalu keras, tidak terlalu pelan, namun pas di tengah-tengah. Orang-orang bijak selalu berkata bahwa sebaik-baik urusan adalah yang berada di tengah-tengah, dan kesabaran yang pas seperti ini pula yang diperlukan dalam menabuh karinding agar suara yang dikeluarkan bisa semantap keyakinan yang ia pegang.
Sabar adalah kata kerja, berkonotasi ketekunan sehingga akan memberikan penerangan bagi orang-orang yang meyakininya. Sebagai sebuah ketekunan, sabar mengacu pada disiplin dari dan bagaimana kita bisa mengatur waktu serta komitmen untuk mewujudkan apa yang kita cita-citakan. Sadar juga berhubungan erat dengan upaya terus menerus untuk mencapai yang terbaik, pantang menyerah dan kreatif dalam menyusun langkah-langkah yang diyakini benar. Sabar meningkatkan kekuatan orang-orang yang yakin, baik kekuatan fisik, mental, maupun spiritual.
Saat sudah dipegang dengan yakin dan ditabuh dengan sabar, makan rapatkan karinding ke rongga mulut sampai mengeluarkan bunyi. Ketika akhirnya bunyi itu hadir dalam ritme elok yang kita atur, maka hendaknya kita sadar bahwa bunyi itu bukanlah bunyi kita sendiri, bukan milik kita, melainkan milik Dia Sang Pencipta Bunyi. Yang sedang kita lakukan dalam bermain karinding bukanlah menghasilkan bunyi, melainkan memainkan bunyi yang telah ada, untuk sebaik-baiknya menajdi karya yang bisa diapresiasi secara positif oleh khalayak.
Kesadaran ini mengandung makna keikhlasan dan kerja. Ikhlas bahwa apa pun yang kita sangka milik kita, ternyata bukan seperti yang kita kira, sehingga yang harus kita lakukan adalah memelihara sebaik mungkin untuk kita kembalikan kepada-Nya dalam kondisi sebaik-baiknya. Untuk menjaga agar tetap utuh dan baik tentu diperlukan kerja. Dan kerja tidak bisa dilakukan sekali dua kali, melainkan terus menerus dalam pola yang terencana dengan hasil bukan untuk meraih sesuatu – namun melampaui apa yang dalam pikiran kta ingin raih.
Betapa indah filosofi “Yakin Sabar Sadar” yang terkandung dalam karinding. Tiga hal ini jika sudah bisa disatukan dalam harmoni maka akan sangat berguna dalam membentuk kepribadian manusia yang unggul dalam sisi-sisi kehidupannya. Manusia yang sederhana, arif, harmonis, dan memiliki ketenangan jiwa. Semoga ***
Sumber: Pikiran Rakyat