• rss

Prabu Geusan Ulun, Tahun 1578-1601 M

arsip kula|Selasa, 09 November 2010|10.28
fb tweet g+
Pangeran Angkawijaya dinobatkan menjadi Raja Sumedanglarang pada pertengahan abad ke-15, atau pada tanggal 22 April 1578, dengan gelar Prabu Geusan Ulun. Pada tahun 1579 beliau memproklamirkan diri bahwa Kerajaan Sumedang Larang adalah kerajaan yang berdaulat, menandakan telah melepaskan diri dari kekuasaan Pajajaran yang telah runtuh akibat diserbu tentara Surasowan Banten. Negeri-negeri bawahan Pajajaran mendirikan pemerintahan sendiri-sendiri.

Di awal kekuasaannya, Prabu Geusan Ulun mengadakan perluasan wilayah kekuasaan ke wilayah barat kali Citarum. Sehingga daerah Candrabaga (Bekasi), Karawang, Pamanukan dan Indramayu berada dalam kekuasaan Sumedang Larang. Daerah-daerah bekas Pajajaran kecuali Banten dan Cirebon.

Pada saat sedang menata kekuasaan, beliau mendapat undangan dari Panembahan Girilaya Cirebon untuk menghadiri pertemuan raja-raja Islam dalam rangka menyatukan visi dan misi perjuangan umat Islam di dalam mengembangkan kehidupan. Oleh karena pada saat itu, Pakungwati Cirebon merupakan pusat kegiatan-kegiatan perjuangan umat Islam.

Di tengah-tengah berlangsungnya kegiatan keagamaan, Prabu Geusan Ulun terkejut bertemu dengan Ratu Harisbaya yang sudah menjadi permaisuri Susuhan Cirebon. Pertemuan tersebut seakan mengusik pertemuan di waktu silam. Kasih sayang yang pernah terputus seakan terjalin kembali, walau bertemu dalam keadaan yang sudah berbeda.

Sejak itulah Ratu Harisbaya sering berkunjung ke tempat peristirahatan raja Sumedang, terutama pada malam hari disaat suasana sepi. Pertemuan tersebut menimbulkan kecurigaan Prabu Jayaperkasa yang ditugaskan Ratu Pucuk Umun mengawal putranya. Akan tetapi tidak berbuat banyak karena memahami persoalan yang sesungguhnya.

Menyadari bahwa pertemuan yang terjadi itu mengembalikan cinta dan kasih sayang masa lalu, dengan harapan tumbuh segar merekah tersiram sentuhan rasa indah yang tak terkirakan, walau belum tentu termiliki. Maka Jayaperkasa mendesak agar Prabu Geusan Ulun menentukan sikap, tapi tak semudah apa yang diinginkan, karena Ratu Harisbaya secara terang-terangan tak mau lagi kehilangan sosok raja yang bijaksana.
Beban yang dihadapi adalah bagaimana menghadapi Panembahan Girilaya yang memiliki darah keturunan dengan Sumedanglarang, apakah harus terputus oleh persoalan antara pribadi yang kelak melibatkan rakyat banyak, kemungkinan akan menimbulkan peperangan, pertimbangan itulah yang tersirat dalam alam pikiran Nalendra Prabu.

Tetapi pandangan Ratu Harisbaya berbeda, pikirannya sudah siap menelan akibat yang akan terjadi. Oleh karena perkawinan dengan Panembahan Girilaya diselimuti muatan politis yang diperankan oleh Hadiwijaya di dalam upaya menguasai Kesultanan Mataram, pilar kekuatan bersandar kepada ketangguhan Kesultanan Cirebon dan Kerajaan Pajang Madura. Politik yang disusupkan ke dalam perkawinan seakan-akan telah merampas hak dan perasaan agung yang selama ini diukir dalam lubuk hati yang paling dalam. Ratu Harisbaya berusaha mencari jawab dalam rentang sejarah perjalanan hidupnya, sekalipun dicerca para petinggi Kesultanan, tak ada pilihan lain kecuali bersedia diboyong ke Keraton Kutamaya.

Jayaperkasa cenderung mendukung pendapat Putri Pajang setelah mengetahui unsur politik yang disusupkan kedalam perkawinan, akan tetapi Dipati Wirajaya turut mengawal Nalendra Prabu selama di Pakungwati Cirebon berbeda pendapat, bahkan menyarankan agar menghindari keinginan Ratu Harisbaya karena itu Prabu Geusan Ulun memutuskan untu kembali ke Keraton Kutamaya sebelum kegiatan keagamaan berakhir.

Malam hari rombongan Sumedanglarang meninggalkan Pakungwati untuk menghindari kecurigaan Panembahan Girilaya. Kepergian Prabu Geusan Ulun dengan cepatnya diketahui Ratu Harisbaya, maka saat itu juga ia meloloskan diri dari Pakungwati.