• rss

Bahaya Silikosis Abu Vulkanik

arsip kula|Sabtu, 20 November 2010|07.50
fb tweet g+
Gunung Merapi di Yogyakarta meletus dan memuntahkan abu Vulkanik. Dalam setiap semburan tersebut diantaranya mengandung senyawa kimia yang mengancam kesehatan manusia. Senyawa tersebut diantaranya adalah Silika diolsida 54,56%, aluminium oksida 18,37%, ferri oksida 18,59%, dan kalsium oksida 8,33%.

Silika adalah yang paling dominan dan paling berbahaya. Silika memiliki efek jangka pendek dan jangka panjang bagi kesehatan manusia. Efek jangka pendek mulai dari iritasi kulit, iritasi mata hingga sesak napas. Hal ini karena silika memiliki struktur kristal yang secara mikroskopis terlihat tajam-tajam. Ini terjadi kalau nempel di kulit tanpa disengaja orang menggosok-gosok kulit atau mata.

Salah satu penyakit yang ditimbulkan adalah yang dikenal sebagai silikosis. Silikosis dapat terjadi karena paparan kristal atau silikat bebas yang terhirup melalui pernapasan. Secara klasik, penyakit ini baru bisa manifestasi setelah 10-20 tahun setelah paparan yang terus menerus. Namun waktu tersebut dapat menjadi singkat, 5-10 tahun atau bahkan dalam satu tahun jika berhubungan dengan paparan abu yang mengandung kristal maupun silikat bebas dalam jumlah yang sangat banyak.

Jika abu ini terhirup oleh manusia, jumlah menyakit ini akan meningkat paling tidak dalam waktu kurang dari lima tahun ke depan. Gejala spesifik dari silikosis adalah batuk berdahak dan sesak nafas. Seiring dengan perkembangan penyakit, muncul juga gejala-gejala nyeri dada, lemas, kehilangan nafsu makan hingga sesak napas ekstrem. Sangat jarang penyakit ini akan ditemukan dalam kondisi akut. Sebagian besar penyakit ini akan terdiagnosis setelah kondisi kronis. Penyakit ini berhubungan dengan peningkatan risiko kanker paru, penyakit paru obstruktif kronis, dan penyakit yang menyerang jaringan penunjang dalam tubuh.

Partikel silikat berukuran sangat keci, kurang satu mikron setelah terhirup melalui pernapasan akan mengendap di ujung akhir saluran pernapasan bronkoilus, saluran alveolus, dan alveoli paru-paru. Permukaan partikel silikat tersebut akan menyebabkan produksi hidrogen, hidrogen peroksida, dan radikal bebas senyawa oksigen lainnya. Semua radikal bebas ini akan merusak lapisan lemak dinding sel tubuh yang sehat dan mematikan metabolisme sel normal.

Sistem pertahanan tubuh kita tentunya akan merespons terhadap kehadiran partikel asing tersebut. Tubuh akan mengeluarkan makrofag (sel antibodi tubuh) dari paru-paru yang selanjutnya diikuti pelepasan senyawa antibodi interleukin (IL-1 dan B-4). Pelepasan senyawa ini akan membuat tubuh merespons dengan meningkatan suhu tubuh sehingga gejala yang dirasakan akan demam. Faktor-faktor pertahanan tubuh seperti faktor-faktor pertumbuhan alfa akan menginduksi pembelahan sel tipe 2 pada paru-paru sehingga terjadi pembelahan sel fibrobas dan memproduksi kolagen. Kolagen ini akan tertimbun dalam jaringan paru sehingga fibrosis paru. Fibrosis adalah kelainan dimana paru-paru menjadi mengeras dan membentuk gambaran seperti skar luka.

Kelainan inilah yang akan membantu penegakan diagnosis karena akan terlihat jelas sebagai gambaran putih, bulat beraturan dengan ukuran tertentu pada foto rontgen. Selama perkembangan penyakit ini, aliran udara di alveolus paru-paru akan terbatas. Pergantian oksigen dan karbondioksida di paru menjadi tidak efektif, akibatnya akan ditemukan gejala sesak diikuti batuk-batuk.

Terdapat laporan penelitian yang menyatakan infeksi TBC meningkat pda penderita silikosis. Selain gejala di atas, akibat penumpukan silika dalam tubuh ini dan berkaitan dengan sistem imun tubuh, akan muncul juga penyakit rematik (Rheumatoid arthritis). Gangguan ini lebih banyak ditemukan secara pasti mengapa jumlahnya lebih banyak pada laki-laki.

Penyakit silikosis ini tentunya lebih berbahaya pada bayi, balita, dan anak-anak. Salah satunya karena fungsi dan kerja organ-organ sistem pernapasan belum berkembang sempurna seperti orang dewasa. Sel-sel rambut dan rambut-rambut di dalam lubang hidung kita memainkan peranan sebagai pertahanan mekanik lini pertma terhadap partikel-partikel yang dihirup. Namun, pada orang dewasa saja partikel silikat yang jauh lebih kecil mampu lolos sampai ke paru-paru apalagi pada bayi dan anak-anak.

Langkah penanganan dapat dilakukan dengan cara pencegahan terhadap paparan abu silika. Penggunaan masker adalah tindakan preventif yang cukup baik. Selain itu, dukungan gizi dari makanan juga perlu perhatikan. Hali ini berkaitan dengan imun tubuh yang harus terus terjaga sebagai pertahanan kalu-kalau telah ada partikel silika yang kebetulan telah lolos terhirup. Secara medis, belum ada obat-obatan pencegah yang efektif. Kalaupun ada, hanya bersifat meningkatkan pertahanan imun tubh melalui memberian multivitamin.(Hendrikus M. Bllly, mahasiswa S-2 ITB,/”PR”)