Cagar budaya yang luasnya sekitar 600 meter persegi penuh sesak oleh manusia. Apalagi, saat digelar upacara pencucian benda-benda pusaka peninggalan zaman perunggu.
Acara diawali dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad saw. Menurut sesepuh Bumi Alit Kabuyutan, Tatang Tarmana, acara yang digelar setiap 12 Rabiul Awal (Maulid) tersebut juga dipergunakan ajang silaturahmi keluarga besar Kabuyutan maupun masyarakat Kecamatan Arjasari. “Anggota keluarga yang terikat tali silsilah Kabuyutan pasti akan datang meskipun mereka tinggal di luar Kabupaten Bandung, bahkan yang berada di luar Pulau Jawa,” kata Tatang.
Silaturahmi antarwarga, kata Tatang, juga ditandai dengan makan bersama (botram) dengan warga. Mereka membuka bekal makanan masing-masing.
“Rasa kekeluargaan maupun persaudaraan terus kami jaga. Bentuknya bisa sederhana seperti makan bersama di areal Situs Bumi Alit Kabuyutan,” kata Tatang
**
Foto: bumialitkabuyutan.blogspot.com
Pusaka yang dicuci diantaranya seperangkat gamelan goong renteng Embah Bandong, kujang, buli-buli (tempat menyimpan wewangian), tombak, dan sumbul.
“Khusus sumbul ditutup kain putih dan tidak boleh dibuka sama sekali oleh siapa pun. Lapisan penutup luar boleh dibuka ketika sudah rusak dan diganti dengan yang baru. Namun, tetap saja tidak boleh melihat wujud asli sumbul,” tuturnya.
Menurut Tatang, keturunan Kabuyutan Lebakwangi boleh membuka sumbul asalkan sudah bisa membuka rahasia yang ada pada dirinya. “Makna ini sebagai upaya pembelajaran agar kita melakukan introspeksi diri sebelum mengoreksi orang lain,” tutur Tatang.
Sementara itu, Rucita yang kerap dipanggil Deden Sego mengatakan tradisi pencucian barang-barang pusaka milik Bumi Alit Kabuyutan sudah terjadi sejak lama. “Air dari cucian ditampung lalu diperebutkan ratusan warga yang hadir. Hanya, air itu disarankan sebatas mencuci muka dan tidak boleh diminum karena ada unsur karat dari besi benda pusaka,” katanya.
Apalagi, mutu air untuk mencuci benda pusaka juga saat ini juga kurang baik karena sebagian tercemar limbah rumah. “Kalau dulu air di Desa Lebakwangi masih bagus karena lingkungan alamnya masih terjaga,” kata Rucita.
Sumber: Sarnapi/*Pikiran Rakyat** Rabu, 15 Januari 2014