• rss

Kebersahajaan di Kampung Religius (Kampung Adat Mahmud)

arsip kula|Senin, 27 Januari 2014|13.58
fb tweet g+
MEMASUKI Kampung Adat Mahmud, napas religius tampak terasa. Meski sejumlah bangunan telah tersentuh arsitektur modern, selebihnya rumah-rumah masih bersahaja. Nuansa keislaman terasa dari jajaran penjual busana dan aksesori di dekat masjid. Tampak jongko kopiah, baju koko, dan gamis, mukena, hingga tasbih. Ada juga yang menjajakan Alquran dan buku-buku agama Islam lainnya.

Kebersahajaan di Kampung Religius (Kampung Adat Mahmud)
USEP USMAN NASRULLOH/*PR*
MAKOM Eyang Mahmud di Kampung Adat Mahmud, Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, Kabuapten Bandung. Kampung Mahmud dibangun sekitar abad ke 15 masehi. Merka menempati daerah seluas 4 hektar yang dihuni oleh sekitar 200 keluarga oleh Eyang Abdul Manaf.
Secara administratif. Kampung Adat Mahmud berada di wilayah Desa Mekarrahayu, Kecamatan Margaasih, kabuapten badnung. Lokasi Kampung Mahmud berada di RW 04. Di sana hanya ada dua RT, yaitu RT 01 dan RT 02. Akses menuju Kampung Adat Mahmud dari Kota Bandung juga kian mudah dengan menggunakan kendaraan pribadi maupun kendaraan umum.

Kampung Mahmud dibangun sekitar abad ke-15 masehi. Mereka menempati daerah seluas 4 hektar yang dihuni oleh sekitar 200 keluarga. Sementara mayoritas mata pencaharian penduduknya bekerja sebagai petani.

Pendiri Kampung Mahmud adalah Eyang Abdul Manaf. Berdasarkan beberapa sumber, Eyang Abdul Manaf adalah salah seorang leluhur yang merupakan keturunan dari Sultan Mataram. Salah seorang putra Sultan Mataram adalah Syahid Abdurrahman yang memiliki putra yang bernama Pangeran Atasangin. Pangeran ini kemudian memiliki putra, yaitu Dipatiukur Agung yang kemudian berputrakan Pangeran Wangsanata.

Dalem Nayasari yang menyebarkan Islam di Tarogong Garut, merupajan putra Pangeran Wangsanata. Dalem Nayasari kemudian memiliki putra bernama Pangeran Nagadirdja dan kemudian berputrakan Eyang H Abdul Manaf.

Eyang Abdul Manaf meninggalkan kampung halamannya menuju ke tanah Suci Mekah. Pada suatu waktu, ia memutuskan untuk kembali ke tanah air. Sebelum kepulangannya ke tanah air, di dekat Masjidil Haram ia memanjatkan doa kepada yang mahakuasa. Dalam doanya, ia meminta suatu kampung yang bebas dari penjajah. Sekembalinya ke tanah air, tepatnya di tatar Sunda, ia mencari lahan untuk tempat perkampungan. Pencarian berakhir setelah ditemukan lahan rwa yang terdapat di pinggiran Sungai Citarum. Satu demi satu rumah penduduk bermunculan di sana, hingga akhirnya membentuk suatu kampung. Kampung itu kemudian diberi nama Mahmud.

Hingga kini, Eyang Abdul Manaf mempunyai tujuh generasi penerus. Keberadaan meraka masih eksis hingga kini. Sebagai masyarakat yang masih menajga tradisi leluhurnya, warga Kampung mahmud sangat mencintai dan menghormati leluhurnya. Sebagai bukti kecintaan, penghargaan, dan penghormatan terhadap para leluhur, mereka memelihara makamnya dengan baik.

Terus berkembang
Awalnya keberadaan Kampung mahmud seperti terpencil. Namun, sejak dibangunnya sebuah jembatan besar hingga dapat menembus kampung tersebut, jembatan inilah seolah memutus keterasingan waraga Mahmud dengan dunia luar.

Rumah asli penduduk Kampung Adat Mahmud adalah rumah bersahaja, sederhana dengan dinding bilik bambu, tidak bertembok, tidak berkaca, serta berbentuk panggung. Selain merupakan aturan adat, warga sangat menjunjung kesederhanaan dan tak saling menonjolkan diri.

Pilihan membangun rumah panggung sebenarnya didasarkan atas fakta bahwa tanah di perkampungan Mahmud sangatlah labil karena berdiri di atas tanah bekas rawa di pinggiran Sungai Citarum.

Sayangnya, pemandangan dulu lain dengan sekarang sebagai bentuk gerusan zaman. Kini, di sssssana sini kini mulai terlihat rumah-rumah beton bertembok dan menggunakan kaca. Setiap sudut rumah yang berjajar, terparkir motor.

Pada awal terbentuknya Kampung Mahmud ini, Eyang Abdul Manaf melarang penduduk membuat lubang sumur, tembok, dan kaca. Eyang Abdul manaf juga melarang penduduknya untuk memeliahra angsa dan kambing sebagai ternak, serta dilarang memiliki beduk dan gong untuk menghindarkan masyarakat dari ancaman penjajah. Wajar saja, akrena kampung itu dulunya merupakan tempat persembunyian para pejuang.

Selain terdapat makam Eyang Abdul manaf, di Kampung Mahmud terdapat sejumlah makam lainnya. Makam-makam ini sering didtangi para peziarah. Tak sedikit pula para peziarah yang sengaja menginap di sana hingga berhari-hari. Kebanyakan peziarah datang pada bulan Mulud.

Jika ingin menuju ke Kampung Mahmud, ada sejulmah alternatif rute yang dapat ditempuh menuju Kampung Mahmud. Terdapat angkutan kota (angkot) yang langsung menuju ke sana, yaitu jurusan Tegallega-Mahmud. Angkot lainnya yang melintas adalah jurusan Cipatik. Sayang, kini jalan-jalan menuju ke Kampung Adat Mahmud rusak berat. Padahal, kampung itu merupakan salah satu aset wisata religi di Kabupaten Bandung.

Sumber: Ahmad Yusuf/*Pikiran Rakyat*, Senin 8 Juli 2013