Pentas keliling “Tari Topeng Babakan Losari” digelar di Gedung Sunan Ambu, STSI, Jln. Buahbatu, Sabtu (17/11/2012). Pentas keliling ini merupakan pentas terakhir setelah tampil di Yogyakarta dan Jakarta.
Sebagai penari generasi penerus Mak Dewi (maestro tari topeng losari) dan Sawitri (maestro tari topeng cirebon), Nur Anani bersama Sanggar Purwa Kencana ingin membuktikan bahwa tari topeng losari bisa bangkit kembali setelah terpuruk bahkan sempat menjual gamelannya demi menyambung hidup.
Topeng losari berbeda dengan topeng lain yang selama ini dikenal masyarakat Jawa Barat. Jika dibandingkan dengan tari topeng dari wilayah barat Cirebon, tari topeng losari yang mewakili Cirebon bagian timur, memiliki kekhasan yang unik.
ANDRI GURNITA/PR |
Tari pamindo yang menceritakan tetang tokoh kesatria mengawali pentas Keliling Tari Topeng Babakan Losari Sanggar Purwa kencana di Gedung Sunan Ambu STSI, Jln Buahbatu, Sabtu (17/11/2012) |
Gerakan topeng losari lebih pada gerakan geometrik dan luwes, sedangkan pada tari topeng wilayah Cirebon barat hanya geometrik. “Ini yang menarik, malah dalam topeng losari ada gerakan gantung sikil (gantung kaki) yang dilakukan cukup lama, tetapi tidak ditemui dalam gerakan tari topeng yang lain”, demikian Irawati.
Hal senada disampaikan Pembantu Ketua I Bidang Penddidikan STSI Bandung yang juga penari Dr Een Herdiani. Banyak perbedaan yang menjadi ciri khas topeng losari. Perbedaan itu tampak pada musik (gamelan) pengiring, gerakan tari, ataupun pakaian tari.
“Contohnya pada baju lokcan. Pada topeng biasa, berupa baju kutung saja, tapi pada topeng losari lebih panjang samapai menutuipi tubuh”, katanya menerangkan.
Topeng losari dikembangkan oleh Ibu Dewi (Mak Dewi) dan Ibu Sawitri. Aktivitas seni ini sebenarnya sudah ada sejak buyut Dalang Topeng Bapak Sumitra melalui pentas dari panggung ke panggung ataupun dalam bentuk “bebarang”.
Tradisi topeng losari dilanjutkan oleh Ibu Dewi. Namun, karena Mak Dewi meninggal, pamornya tidak lama dan digantikan oleh Ibu Sawitri. Selesa Ibu Sawitri tiada, tradisi topeng losari dilanjutkan oleh Nur Anani cucu dari Ibu sawitri.
Berbeda dengan penari topeng lain yang lebih banyak ditempa oleh latihan dan alam, Nur Anani justru menyeimbangkannya dengan studi di Jurusan Tari STSI Bandung. Ia dengan tekad kuat akan mmempertahankan tradisi topeng losari walaupun harus tertatih-tatih. “Kami mohon maaf bila penampilan kami kurang memuaskan, maklum kami apa adanya. Ongkos untuk bisa tampil di sini juga sangat mahal,” tutur Nur Anani.
Sanggar Purwa Kencana yang menjadi tempat Nur Anani melanjutkan estafet budaya dari para tetuanya, memang mendapat fasilitas dari Yayasan Kelola. Sebuah yayasan finansial agar sebuah kesenian dapat dilestarikan.
“Walaupun bantuan itu tidak besar, kami sangat berbangga hati karena dengan begitu topeng losari bisa bangkit kembali,” ujarnya.
Tanpa terpengaruh keprihatinan itu, pentas malam itu menjadi bukti kerja keras dan keteguhan Nur Anani beserta sanggarnya dalam mempertahankan topeng losari.
Sebelumnya, panggung dibuka dengan suguhan tari pamindo yang lembut gemulai, disusul dua tarian dari Luh Saraswati dan dua anak didik Nur Anani. Dilanjutkan “Bodoran Topeng Losari” yang menjadi jeda di sela-sela babak. Bodoran ini berkaitan dengan beberapa babakan cerita dalam topeng losari. Ada sembilan pembabakan dalam topeng losari. Namun, karena terbatas waktu, pentas tidak menyuguhkan utuh babakan tersebut.
Walaupun demikian, suguhan Klana Bandopati yang menjadi penutup pertunjukan menjadi tarian paling tidak terlupakan. Nur Anani membawakan dengan sangat maksimal. Sebuah pentas yang mengundang penonton melemparan “saweran” tanpa henti.
Sumber: Eriyanti/*Pikiran Rakyat* Senin, 19 November 2012