• rss

“Guna Ompoy”, Kuliner dalam Naskah Sunda Kuno

arsip kula|Senin, 06 Januari 2014|09.56
fb tweet g+
Guna Ompoy, Kuliner dalam Naskah Sunda Kuno

Oleh: ATEP KURNIA; peneliti literasi, bergiat di Pusat Studi Sunda (PSS)
Ada dua rekaman mengenai berbagai jenis kuliner dalam naskah Sunda. Keduanya, naskah Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630) dan Sanghyang Swawarcinta (Kropak 626). Dalam Sanghyang Siksakandang Karesian yang diteliti Salah Danasasmita, dkk. dan diterbitkan Sundanologi (1987), itu mengenalkan kita kepada beberapa klasifikasi kuliner yang umum diolah dan dihidangkan pada masa Sunda kuno.
Sarwa Iwiraning olahan ma; nyupar-nyapir, raramandi, nyocobék, nyopong konéng, nyanglarkeun, nyaréngséng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleman, panggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruruum, amis-amis; singsawatek kaolahan, hareup catra tanya (Segala maccam masakan, seperti: nyupa-nyupir, raramandi, nyocobék, nyopong konéng, nyanglarkeun, nyeuseungit, nyayang ku pedas, beubeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, raramesan, diruum diamis-amis; segala masam masakan, tanyalah hareup catra).”

Namun, yang lebih kaya diteliti Tien Wartini, dkk. (2011) serta diterbitkan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Pusat Studi Sunda (PSS) ini menyatakan cara memasak atau pélag olah-olah (keterampilan kuliner) berbahan ikan air tawar, ayam, juga jenis sate.

Untuk jenis masakan ikan, naskah itu menyatakan. “Teher pélag olah-olah, na paray dikembang lopang: hurang ta dikembang dadap, na hitu dipais tutung, lendi ta dipais bari, na lélé disososabék, na deleg dipanjel-panjel, na hikeu dileuleunjeur, na kancra dilaksa-laksa, sisitna diraramandi, tulangna dibatcu rangu, pantingna dirokotoy (Kemudian terampil memasak: ikan paray dikembang lopang, udang dimasak kembang dadap, ikan hitu dipepes gosong, ikan lendi dipepes bari, ikan lele dibumbu cobek, ikan gabus dipanjel-panjel, ikan hikeu dileuleunjeur, ikan kancra dilaksa-laksa, sisiknya dibuat raramandi, tulangnya dibatu rangu, siripnya dirokotoy).”

Kuliner berbahan daging ayam, ada yang disebut, “Hayam bodas ta dipadamara, hayam beureum disarengseng, hayam cangkes diketrik, hayam hurik dipais bari, hayam danten dipepecel, hayam bikang dipapanggang, hayam kurung dikudupung hayam kencaran disaratén, hayam kambeuri ta dikasi (Ayam putih dipadamara, ayam merah disarengseng, ayam cengkes diketrik, ayam burik dipepes bari, ayam dara dibumbui pecel, ayam betina dipanggang, ayam kurung dikudupung, ayam liar disaraten, ayam kebiri dikasi).”

Sementara jenis sate, naskah itu menyebutkan, “Nyasaté raraka hudan, sasaté usap-usap lambe, sasaté pawarang luntang, sasaté ugang-aging (Membuat sate untuk raraka hudan, membaut sate usap-usap lambe, membuat sate pawarang lunta).”

Bila kita bandingkan pasase-pasase dua naskah itu kita tentu berdecak kagum kepada keahlian karuhun Sunda dalam hal mengolah kuliner. Kedua pasase itu saling melengkapi informasi. Kutipan dari Sanghyang Siksakandang Karesian mengetengahkan 14 cara mengolah bahan, yakni dengan jalan nyupar-nyapir raramandi, nyocobék, nyopong konéng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, panggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, dan diruruum. Sebagai tambahan satu jenis kuliner, yakni amis-amis.

Sementara dalam pasase naskah kedua kita menemukan bahan sekaligus cara mengolahnya. Bahan-bahan kuliner yang dimaksud adalah ikan dan ayam. Jenis ikan yang menjadi bahan kuliner disebutkan ada hurang, hitu, lendi, lélé, na deleg, hikeu, kancra. Demikian pula ayam berjenis-jenis, ada hayam bodas, hayam beureum, hayam cangkes, hayam hurik, hayam danten, hayam bikang, hayam kurung, hayam kencaran, dan hayam kambeuri yang bergantung pada warna, jenis bulu, kelamin, dan cara memelihara.

Dari pasase naskah kedua kita dapat melengkapi cara mengolah bahan kuliner dalam naskah pertama. Karena dari Sanghyang Swawarcinta kita mendapatkan 16 cara, yaitu: dikembang lwapang, dikembang dadap, dipais tutung, dipais bari, dipanjel-panjel, dileuleunjeur, dilaksa-laksa, dibatcu, dirokotoy, dipadamara, dipapanggang, dikudupung, dan disaratén.

Dengan demikian, dari kutipan-kutipan dua naskah kuno tersebut kita mendapatkan 30 cara memperlakukan bahan kuliner. Ya betapa kaya waktu itu. dan kini kita hanya tahu beberapa diantaranya, yaitu: nyocobék, beubeuleuman, panggangan, dipais, dipepecel, dan di saratén atau sate.

Selain itu, bila merujuk kepada siapa yang mengolahnya, kedua naskah tersebut berbeda. Pada Sanghyang Siksakandang Karesian mengolah masakan itu kemampuan oleh seorang hareup catra atau juru masak. Di situ tidak disebutkan apakah juru masak tersebut laki-laki atau perempuan.

Mungkin naskah Sanghyang Swawarcinta bisa lebih menjelaskan, ada kutipan “kacigeung tuang caroge” atau kesukaan suami. Hal ini jelas menegaskan, keahlian kuliner tersebut menampilkan guna ompoy atau kepandaian yang harus dimiliki perempuan agar suaminya betah di rumah.

Dengan demikian, bisa jadi hareup catra yang dimaksud dalam Sanghyang Siksakandang Karesian yang ditulis pada 1518, yakni pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482-1521), itu adalah perempuan. Meskipun memang tidak menutup kemungkinan ada juga laki-laki yang pandai memasak.

Selain itu, dengan disebutnya jenis ikan air tawar pada Sanghyang Swawarcinta, kita bisa menafsirkan, jenis-jenis masakan berbahan ikan air tawar tersebut berasal dari pedalaman tatar Sunda yang berbukit-bukit, gunung, dan sungai, jelas tidak mengindikasikan tidak mewakili tradisi memasak di daerah pantai Sunda, yang di masa Kerajaan Sundd, sebagaimana tuturan pelaut Portugis Tome Pires (Summa Oriental, 1512-1515), memiliki enam pelabuhan, yaitu: Calapa (Kalapa), Chiamo (Cimanuk), Tangaram (Tangerang), Cheguide (Cigede), Pontang dan Bintam (Banten).

Di situ pula timbul penafsiran selanjutnya. Dengan tidak menyebutkan ikan-ikan laut. Kita dapat menafsirkan bahwa naskah Sanghyang Swawarcinta berasal wilayah pedalaman tatar Sunda. Bukan dari wilayah pantai. Jika demikan, kita bisa menduga, tradisi menulis naskah Sunda kuno terjadi dipedalaman tatar Sunda, yakni di kabuyutan-kabuyutan atau lemah dewasasana yang berkhidmat kepada percampuran kepercayaan antara Hindu, Budha, dan Sunda.

Sumber: Khazanah; *Pikiran Rakyat; Minggu, 9 Desember 2012