Parmaali /*PR* | ||
Lokasi | : | Jalan Pajajaran No. 29-30, Kota Bandung |
Bediri | : | 1896 |
Arsitek | : | Gneling Mijling AW dengan gaya arsitektur art deco |
Bangunan | : | Pabrik kina terdiri atas beberapa kompleks pabrik. Pabrik di Jalan Cicendo berfungsi sebagai gudang kulit kina, sementara kompleks bangunan di sudut Jalan Pajajaran-Cihampelas berfungsi sebagai tempat sarana kebutuhan pabrik. Kedua kompleks pabrik dihubungkan dengan sebuah lorong kecil berbentuk terowongan yang melintas dibawah Jalan Pajajaran dan berada sekitar 2,5 meter di bawahnya. Lebar terowongan sekitar satu meter dengan panjang yang sama dengan lebar Jalan Pajajaran, sekitar sepuluh meter. Hingga saat ini terowongan masih aktif digunakan untuk lalu lintas para pegawai untuk menuju kompleks utama pabrik. |
Perkembangan sejarah | : | 1896: Didirikan Pemerintah Hindia Belanda dengan nama Bandoengsche Kinine Fabriek. 1942: Pada zaman pendudukan Jepang namanya berubah menjadi Rikugun Kinine Saisohjo. 1945: Belanda kembali masuk ke Indonesia dan kepemilikan diambil lagi oleh Bandoengsche Kinine Fabriek. 1958: Dinasionalisasi dan namanya berganti jadi PN Farmasi dan Alat Kesehatan Bhineka Kina. 1961: Berubah jadi Bhineka Kina Farma. 1971: Dengan Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1971 berubah menjadi PT (Persero) Kimia Farma. |
Untuk mengolah kulit kina menjadi garam kina, Pemerintah Hindia Belanda kemudian mendirikan pabrik kina di Bandung pada 1896. Pada masa-masa itu perkebunan kina di Indonesia bisa menghasilkan hingga rata-rata 11.000 ton kulit kering/tahun, atau setara dengan 33.000 kulit basah/tahun. Dari jumlah tersebut, 4.000 ton diolah di dalam pabrik kina di Bandung dan 7.000 ton diekspor dalam bentuk kulit kina. Dengan jumlah tersebut, saat itu Indonesia bisa mengisi hampir 90 persen pangsa pasar kina dunia.
Berdiri di atas kebun karet sebelah utara, atau Jalan Pajajaran sekarang, pabrik kina telah menjadi simbol kota Bandung selama puluhan tahun. Pada tahun 1980an, masyarakat Bandung akrab dengan asap hitam yang membubung dari cerobong asap pabrik kina, hasil pembakaran mesin ketel uap manual Babcox & Wilcox. Begitu pula dengan suara sirine yang berbunyi sempat kali sehari, penanda waktu karyawan masuk kerja (7.00 WIB), beristirahat (11.30 WIB), kembali masuk kerja (12.00 WIB), dan saat karyawan pulang kerja (15.30 WIB).
Karyawan pabrik sering menyebut sirine tersebut dengan nama si heong. Sejak 1896 hingga saat ini, si heong belum pernah absen mengeluarkan suaranya. Bahkan, peluit yang menjadi sumber suara belum pernah diganti sejak awal pabrik kina berdiri hingga sekarang. Namun, tidak demikian dengan mesin uapnya. Sejak 1995, mesin uap Babcox & Wilcox sudah dipensiunkan dan diganti dengan ketel uap otomatis buatan Surabaya. Pasalnya, asap hitam yang jadi simbol pabrik kina tersebut dianggap telah mencemari udara. Ketelnya perlu diganti dengan yang lebih ramah lingkungan.
Selain mengurangi pencemaran, penggantian ketel uap juga mampu meringankan pekerjaan di pabrik dan mengurangi pemakaian bahan bakar. Mesin Babcox & Wilcox menghabiskan bahan bakar residu antara 3.000-4.000 liter perhari atau sama dengan 120.000 liter residu perbulan, sementara mesin yang baru hanya membutuhkan 33-36 ton solar per bulannya.
Sumber: Vetriciawizach/Periset *Pikiran Rakyat* Minggu, 14 Oktober 2012