• rss

Iket Mengikat Loyalitas Budaya

arsip kula|Senin, 21 Januari 2013|23.33
fb tweet g+
Iket Mengikat Loyalitas Budaya
Agus Roche (kiri) bersama anggota Komunitas Iket Sunda (KIS) memakai beragam iket Sunda. Munculnya pemakaian iket Sunda itu karena kecintaan anak muda terhadap budaya Sunda. Komunitas itu juga menanam benih kreasi variasi iket. (foto: Pikiran Rakyat)

Masih berbicara tentang iket Sunda. arsip kula sebelumnya telah menyimpan Mengenal Iket Sunda dan Lagih Ngulik Rupa Iket, nih . Untuk melengkapi catatan tentang iket Sunda. Saya akan menyimpan juga artikel “Iket Mengikat Loyalitas Budaya” milik Dewiyatini yang dimuat di media cetak Pikiran Rakyat Edisi Minggu 20 Januari 2013.



Iket Mengikat Loyalitas Budaya

Nu lima diopatkeun. Nu opat ditilukeun. Nu tilu, diduakeun. Nu dua, dihijikeun. Nu hiji jadi kasep (Yang lima dijadikan empat. Yang empat dijadikan tiga. Yang tiga dijadikan dua. Yang dua dijadikan satu. Yang satu menjadi tampan)”.

KALIMAT itu diucapkan pengajar Filsafat Seni Prof Yakob Sumardjo saat mengajar mahasiswa pascasarjana di Sekolah tinggi Seni Indonesia (STSI), Kota Banding. Menurut dia, filsafat sunda yang merujuk alam.

Apakah kalimat tadi dikenal di kalangan orang Sunda masa kini? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Mari melihat ke fenomena yang muncul kini, saat iket menjadi tren di kalangan anak muda. Iket semula digunakan oleh masyarakat adat, namun sekarang tak lagi demikian. Anak-anak muda dengan berbagai macam motif dan gaya memakai iket tampak di setiap sudut Kota Bandung. Ada apakah ini?

Terlalu banyak pertanyaan yang muncul. Tokoh masyarakat Sunda, Eka Santosa mengurai sejumlah jawaban yang memungkinkan hal itu terjadi. Menururt Eka, fenomena ini terjadi secara alami. Ini menunjukan adanya kerinduan akan tata nilai-nilai lokal. “Penyebabnya pada kejenuhan akan modernisasi yang tidak menyelesaikan masalah. Yang ada malah merumitkan tradisi, sehingga ada keingian kembali pada tata nilai tradisional,” katanya.

Iket yang dipakai oleh generasi sekarang adalah sebagai sebuah identitas. Mereka sengaja menciptakan kekhasan iket yang mereka pakai untuk menunjukan siapa mereka. “Padahal, pemakaian iket itu penuh dnegan pemaknaan diri,” ujar Eka.

Dia memberi contoh di tengah masyarakat Baduy yang menjadi iket sebagai identitas diri sejak lampau. Orang bisa membedakan dengan mudah dari Baduy manakah seseorang dilihat dari iket yang dipakainya. Selain itu, iket juga merupakan komitmen pada diri yang harus terus terjaga.

Budayawan Sunda Nana Munajat menerjemahkan iket sebagai batasan diri yang memakainya. Iket yang dipasang di kepala orang Sunda, agar pemakainya tidak ingkah (lepas) dan ngencar (lepas) dari kasundaan. “Iket itu sabagai ikatan bagi pemakainya.” Ucapanya.

Kebanggaan memakai iket sekaraang tinggal diarahkan pertanggungjawabannya melestarikan budaya lokal. Namun, tidak bisa dipungkiri berbagai macam kreativitas gaya memakainya. Dulu, menurut Nana, dikenal tujuh gaya memakai iket, diantaranya, parekos nangka, lohen, tutup liwet atau julang ngapak, barangbang semplak, balukar peunggas, sampai, dan kole nyangsang. “Munculnya banyak gaya memakai iket untuk kreativitas itu sah-sah saja. Karena iket juga tidak bisa diklaim begitu saja sebagai milik masyarakat Sunda. Daerah lain juga memiliki. Yang membedakan cara berpikir yang mesti selaras dengan pakaian yang digunakan,” kata Nana.

Nana juga mengapresiasi keinginan pemerintah mewajibkan memakai iket. Namun tidak hanya memakai, diisi pula makna dari iket itu. “Untuk apa kepala dipakaikan iket kalau isinya tetap ngencarngencar. Fungsi iket kan, agar kita tidak ingkah dari budaya dan agama,’ tutur Nana.

Kalimat yang diucapkan Prof. Yacob Sumardjo tadi sudah dikenal oleh orang Sunda sejak di masa lampau. Kalimat itu pula yang mudah diingat ketika melipat kain iket Sinda untuk dipasangkan di kepala. Yacob mengatakan filsafat alam itu pula yang ada dalam iket. Ia menggambarkan iket sebagai mandala (mata angin) yang memiliki pusat di bumi. Itu pula digambarkan dalam warna-warna dasar iket yang selalau dekat dengan alam. “ketika dari lima jadi satu, maka ia berusaha mendekatkan driri dengan Tuhan yang satu. Setelah dekat dengan Tuhan, maka pemakainya akan tampan luar dalam,” ujar Yacob.

Hal senada juga diungkapkan salah seorang pendiri Paguyuban Sundawani Robby Maulana Dzulkarnaen. Menurut dia, fenomena maraknya pemakaian iket, khususnya di kalangan muda bisa diartikan sebagai tanda bangkitnya budaya Sunda. Meski ini baru menjadi ciri, tapi diharapkan bisa mendongkrak kesadaran dalam bertingkah laku. “Malu dengan iket jika ternyata masih berbuat di luar Kasundaan,” katanya.

Robby melihat fenomena ini menjalari kaum muda. Dengan begitu, antara kaum muda dan kaum sepuh sama-sama menyadarkan diri. (Dewiyatini/”PR”)