• rss

Bubur Suro, Tradisi Bulan Muharram di Rancakalong

arsip kula|Minggu, 06 Januari 2013|00.11
fb tweet g+
Bubur Suro, Tradisi Bulan Muharram di Rancakalong
Ritual Bubur Suro di Kecamatan Rancakalong Kabupaten Sumedang memperlihatkan perpaduan budaya agraris pengaruh India, Sunda, Jawa, dan Islam.

Setiap bulan Muharram, dalam bahasa Jawa bulan Suro, tanggal 9 dan 10, warga di Kecamatan Rancakalong membuat bubur Suro. Bubur yang dibuat dari berbagai macam umbi-umbian dan buah-buahan, semua dijadikan satu. Menurut Aki Anang Gunawan (75 tahun) sesepuh lembur Cijéré, Desa Garawangi, Kecamatan Rancakalong, dahulu bahan untuk membuat bubur Suro harus seribu macam/jenis. Tetapi sekarang sangat sulit untuk memenuhi syarat tersebut (seribu bahan). Supaya memenuhi syarat seribu macam bahan, bubur dicampur dengan pisang/cau Sewu.

Bubur Suro diperuntukan mengingat/memperingati Kanjeng Nabi Nuh. Nabi Nuh dalam peristiwa banjir besar, di kapalnya membawa berbagai macam umbi-umbian dan buah-bahan. Selama di atas kapal Nabi Nuh beserta para pengikutnya tak sampai merasakan kelaparan.

Dinamai bubur Suro karena dibuatnya pada bulan Suro, bulan pertama dalam penanggalan Jawa. Oleh leluhur Rancakalong dahulu, bubur Suro dipadukan dengan tradisi agraris. Itu sebabnya sekarang dalam ritual bubur Suro, terdapat ritual-ritual yang bertalian dengan tradisi agraris.

Sehari sebelum bubur Suro, malamya berlangsung ritual yang terasa sakral dan penuh mistik, di dalamnya ada juga pengaruh Islam. Disediakan sesajen berupa bubur beureum/merah, bubur bodas/putih, puncak manik, kupat dupi tangtang angin, bakakak hayam/ayam. Tujuh macam rujak, tujuh macam kembang/bunga, tak tertinggal parupuyan terus menyala membakar kemenyan.

Sesajen juga dilengkapi dengan kepala boneka kayu berbentuk wanita memakai karémbong/kain penutup kepala. Disamping boneka ada balutan iket yang berisi uang. Boneka wanita melambangkan Sri Pohaci yang memelihara padi, kalau di Jawa disebut Dewi Sri. Iket yang membungkus uang melambangkan laki-laki.

Dengan demikian, walau bubur Suro untuk memperingati Nabi Nuh dalam peristiwa banjir besar. Tetapi oleh leluhur Rancakalong dikaitkan dengan ritual budaya agraris. Umbi-umbian dan buah-buahan semuanya hasil pertanian, tanah menjadi media tanamnya. Itu sebabnya dalam sesajen disertakan boneka Sri Pohaci sebagai lambang kesuburan. (sumber: Nanang S./Galura; gambar: Addor Smd/Facebook)