• rss

Sekilas Tentang Masuk Angin dan Kerokan

arsip kula|Sabtu, 19 Januari 2013|00.16
fb tweet g+
Sekilas Tentang Masuk Angin dan Kerokan
Masuk angin sebetulnya hanyalah gabungan dari beberapa gejala gangguan kesehatan, seperti kedinginan, perut kembung, sekujur badan terasa sakit, rasa mual, diare, berkeringat dingin, bahkan hingga gangguan nafsu makan. Di Barat, masuk angin dikenal sebagai catching cold.

Masuk angin bukan berarti terdapat angin ataupun makhluk halus yang masuk dalam tubuh seperti yang diyakini penduduk di banyak wilayah Asia, tetapi disebabkan terjadinya penyempitan pada pembuluh darah akibat bereaksi dengan udara dingin dan pembuluh darah menjadi kaku. Akibatnya pasokan oksigen ke seluruh tubuh akan berkurang sehingga menimbulkan berbagai gangguan seperti nyeri otot atau pegal-pegal.

Selain itu, suhu tubuh yang turun akan mengakibatkan turunnya daya tahan tubuh dan menjadi rentan akan serangan-serangan virus dan bakteri. Dalam dunia pengobatan modern sendiri belum ada obat yang secara spesifik mampu menyembuhkan penyakit tersebut, sehingga warga lokal di beberapa wilayah Asia menggunakan beberapa metode, salah satunya adalah kerokan.

Di beberapa negara Asia, kerokan cukup pupoler. Di Cina, kerokan dikenal sebagai gua sha, di Vietnam sebagai cao gio, dan di Kamboja sebagai goh kyol. Metode-metode ini memiliki persamaan yaitu menggunakan minyak dan koin untuk digesekkan di punggung sehingga membentuk garis-garis berwarna merah. Nyatanya, persepsi di Cina, Kamboja, dan Vietnam hampir serupa dengan Indonesia bahwa metode ini akan mengusir angin yang mengganggu di dalam tubuh. Hinggga saat ini, belum ditemukan literatur resmi yang memuat asal-asul kerokan. Namun, diperkirakan kerokan menyebar melalui jalur perdagangan pada sekitar abad awal masehi.

Mekanisme kerja metode ini belum dapat dijelaskan secara lengkap. Di Vietnam, dipercaya juga bahwa justru minyaknyalah yang menyembuhkan penyakit tersebut, yaitu Tiger Balm yang merupakan campuran dari mentol, kamfer, minyak kayu putih, minyak tunas cengkeh, dan minyak kasia yang dipercaya memiliki efek terapis pada gejala-gejala tersebut.

Penjelasan ilmiah pada saat ini hanya mampu menelisik beberapa hal saja. Kerokan bekerja dengan cara memperlebar pembuluh darah kulit. Biasanya, digunakan di punggung, dan memecahkan pembuluh darah kapiler di permukaan kulit sehingga pembuluh darah di sekelilingnya akan melebar. Seiring dengan melebarnya pembuluh darah, akan terjadi migrasi sel darah putih yang berfungsi untuk kekebalan tubuh dan akan menyerang antigen-antigen asing di sepanjang daerah migrasinya. Pecahnya pembuhuh darah akan memengaruhi jumlah beberapa senyawa kimia seperti beta endorfin. Beta endorfin akan membuat tubuh terasa nyaman dan berefek candu, sehingga mengakibatkan ketagihan. Selain itu, kerokan juga akan menaikkan suhu tubuh sekitar 0,5 – 2 derajat Celsius, sehingga tubuh terasa hangat kembali.

Namun, kerokan memiliki beberapa bahaya. Kerokan dapat menyebabkan terbukanya pori-pori kulit, sehingga udara dingin akan mudah masuk ke dalam tubuh. Selain itu, senyawa beta endorfin yang dimiliki tubuh akan mengakibatkan efek candu dan akan berbahaya apabila kerokan digunakan terus-menerus karena akan menyebabkan pembuluh darah kapiler pecah dan dikhawatirkan pada akhirnya tidak dapat beregenerasi lagi.

Oleh karena itu, ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menangkal efek samping kerokan tersebut. Pertama, jangan mengunakan kerokan dalam frekuensi yang terlalu sering, agar pembuluh darah yang pecah dapat beregenerasi kembali.

Kedua, gunakan minyak atau salep yang hanyat seperti minyak kayu putih, atau dapat menggunakan campuran minyak kelapa dan irisan bawang merah, dan lainnya yang dapat memberikan efek terapi pada tubuh sehingga walaupun pori-pori kulit terbuka tetapi tubuh tetap terasa hangat.

Sekali lagi penting untuk diingat bahwa setiap mengobatan modern maupun tradisional memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Metode pengobatan dikatakan berbahaya atau tidak, tergantung dari kita sebagai penggunannya.

(Sumber: Aldizal Mahendra, mahasiswa Farmasi S-1 Fakultas Farmasi Universitas Padjadjaran / Pikiran Rakyat)