• rss

Ngabuburit Nonton Angklung Sered

arsip kula|Kamis, 25 Juli 2013|08.48
fb tweet g+
ALAM Priangan dengan keelokan dan kekayaan alamnya yang berlimpah telah menciptakan kultur masyarakat yang senantiasa arif dalam menjaga dan mengelola alam. Untuk menjaga dan mengolahnya, tidak serta merta menekankan pada pengetahuan (teknologi) dan budaya semata, tetapi juga harus ditunjang moral yang berlandaskan agama (Islam).

Agama (Islam) yang berkembang di lingkungan masyarakat di Kampung Balandongan Ds. Sukaluyu, Kec. Mangunreja, Kab. Tasikmalaya, bukan hanya dijadikan sarana berhubungan antara manusia dengan penciptanya, Allah swt, tetapi juga menjadi penjaga perilaku dalam berhubungan dengan sesama serta mengelola alam dan lingkungan.

Kondisi seperti itu yang terus dipertahankan dan diwariskan masyarakat di Kampung Balandongan, diantaranya melalui kesenian angklung sered. Suatu kesenian yang sudah berkembang di masyarakat Mangunreja yang dikenal sangat taat menjalankan aturan dan akidah agama (Islam), seperti halnya daerah lain di Tasikmalaya, semisal Manonjaya, dan Cipasung.

Ngabuburit Nonton Angklung Sered
RETNO HY/PR

Kesenian angklung sered yang sudah ada dan berkembang sejak tahun 1908, menjadi bagian tidak terpisahkan dengan masyarakat di Punduh Sukaluyu, khususnya Kampung Balandongan. Kesenian angklung menjadi media hubungan antara masyarakat dengan alam (pertanian), juga dengan sesama manusia.

Kesenian angklung dimainkan di sela-sela bertani, bukan semata-mata untuk mengusir rasa penat. “Akan tetapi kesenian angklung saat ini menjadi media rasa syukur petani atas kesuburan dan berlimpahnya hasil pertanian yang sudah diberikan Sang Pencipta,” ungkap Ustadz Tatang Somantri, salah seorang tokoh Kamp. Balandongan, saat menyaksikan rutinitas seni angklung yang dilaksanakan masyarakat sekitar di sela-sela waktu menunggu berbuka puasa. Minggu (21/7/2013).

Memang sangat menarik menyaksikan kegiatan masyarakat Kamp. Balandongan, di saat menunggu azan Magrib berkumandang. Sebelum membersihkan diri, seusai rutinitas menggarap lahan pesawahan dan kebun, mereka menggelar seni angklung sered, yang biasa dilakukan setiap hari Sabtu atau Minggu.

Adegan Perkelahian
Permainan angklung sered diawali dengan seorang sesepuh warga yang membunyikan angklung indung dari rumah atau saung (dangau). Suara angklung tersebut dilayani warga lainnya hingga akhirnya semua warga berkumpul di lapangan.

Setelah terbagi dalam dua kelompok yang masing-masing berjumlah 10 orang, diiringi pukulan dog-dog, kendang dan goong dalam memainkan musik padung-dung, angklung sered pun dimulai. Awalnya di antara kedua kelompok tersebut menari memainkan angklung dengan cara meliuk-liuk seperti ular mengikuti pemain angklung yang memegang angklung indung.

Gerakan mengitari tanah lapang tersebut dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan lawan. Setelah merasa saatnya melalukan penyerangan, pemain yang memegang angklung indung langsunbg ke tengah lapang dan mereka memperlihatkan jurus-jurus menyerupai perilaku hewan, semisal jurus belut, sered munding, bintih hayam, dan lainnya yang puncauknya saling bergumul (puket) dengan tetap memegang angklung hingga salah seorang di antaranya sama sekali tidak bisa bergerak karena terkunci.

Selain melakukan perkelahian dengan bergumul, pemegang angklung indung juga menunjukan kekuatan dengan saling mengadu kaki. “Gaya ini disebut ngadu bitis yang mencontoh gaya ayam sedang diadu,“ tutur Agus AW, yang untuk tesis pascasarjananya pernah melakukan penelitian tentang seni angklung sered ini selama dua tahun.

Kesenian yang mulai dikenal sejak tahun 1908 tersebut awalnya hanya berupa penanda bila ada bahaya, dan tahun 1917 hingga 1942 menjadi sarana adu jajaten (kekuatan ilmu bela diri) untuk memilih jago yang menjadi pasukan RAA Wiratanuningrat. Memasuki masa perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan, seni angklung dijadikan sarna perjuangan, hingga tahun 1950 dan puncaknya 1987 menjadi sarana hiburan dan tradisi. Biasanya dalam sekali permainan angklung sered dilakukan sebanyak tiga babak dengan menampilkan tiga orang jago. Seperti pada Minggu (21/7/2013) itu, seusai tiga babak tanpa terasa hari mulai gelap dan azan magrib pun bergema.

Sumber: Retno HY/“Pikiran Rakyat” Selasa 23 Juli 2013