• rss

Pesona Tari Angklung Bungko

arsip kula|Selasa, 04 Februari 2014|07.12
fb tweet g+
“WARI layut… horseh!”. Teriakan di penghujung syair shalawat atau pantun diteriakan nayaga secara bersama-sama menandai perubahan gerak tari. Sebenarnya tidak ada arti khusus untuk teriakan yang juga dilakukan dalam beberapa kesenian tradisional pantai utara (pantura) Cirebon maupun Indramayu. Namun penonton yang sebagian besar mahasiswa dan mahasiswi sejumlah perguruan tinggi jurusan seni tari maupun karawitan (musik), berupaya mencari tahu, apa arti dan makna dari teriakan tersebut.

Bahkan hingga pergelaran kesenian tradisional Angklung Bungko di Teater Terbuka Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat (Dago Tea House), Sabtu (5/10/2013) berakhir. Beberapa diantaranya langsung menghampiri para nayaga untuk bertanya semua hal tentang kesenian tradisional Angkulng Bungko yang diperkirakan sudah berusia 100 tahun lebih.

Rasa penasaran ratusan penonton yang memadati sebagian tempat duduk Teater Terbuka Dago Tea House akan kesenian Angklung Bungko, sebenarnya bukan terletak pada, shalawat nabi atau syair yang dikumandangkan. Tetapi lebih kepada gerak tarian yang dibawakan enam pria bertelanjang dada mengenakan kacamata hitam, yang memiliki daya magis penuh pesona.

Adapun magis, bila dilihat sepintas dari gerakan tarian yang dibawakan terasa sangat monoton dan mengundang kebosanan. Keenam pria hanya melakukan gerakan salah satu tangan di lipat di dada atau di punggung dan satunya lagi direntangkan. Sesekali gerakan yang dilakukan berulang-ulang dengan posisi badan turun, juga diikuti dengan kaki yang dijungkit-jungkit atau digeser.

Pesona Tari Angklung Bungko
RETNO HY/*PR*
“Ini memang terlihat sangat membosankan, tapi coba perhatikan dengan seksama, gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara bergantian dengan menahan dan ngatur napas hingga perut para penari terlihat kencang dan keringat deras bercucuran,” ujar Ki Sukarminto Hongkong, salah seorang sesepuh dan seniman Dusun Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, menerangkan.

Tarian Bungko yang terdiri atas enam tarian dipentaskan sekaligus tanpa jeda, diiringi musik angklung bungko sebagai alat musik inti ditambah kendang, gong, kitir, tutukan, dan kecrek. Gerakan tarian seperti gerakan jurus ilmu bela diri yang dilakukan secara perlahan, bahkan cenderung banyak diam menggambarkan pasukan Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut) Kerajaan Cirebon, Ki Gede Bungko saat mengislamkan Ki Gede Petak Perlaya.

“Ada banyak generasi muda yang ingin menekuni kesenian Bungko ini, tapi baru tahap awal melaksanakan latihan di atas pasir atau lumpur saja sudah tidak kuat. Apalagi memasuki tahap selanjutnya mengatur atau menahan napas dan konsentrasi menenangkan pikiran, tidak banyak yang berhasil bahkan banyak yang gagal dan tubuh sulit digerakan,” terang Ki Hongkong.

Dari waktu ke waktu kesenian tradisional Angklung Bungko yang selalu ditampilkan dalam setiap upacara tradisional, semisal Hajat lembur, Bersih lembur dan lainnya, semakin sulit mencari penari pengganti. Karenanya melalui Program Revitalisasi Seni Tradisional Balai Pengelolaan Taman Budya Jawa Barat memasukkannya kesenian Angklung Bungko untuk direvitalisasi, dan Sabtu (5/10/2013) malam dipergelarkan dengan berbagai pertanyaan yang masih belum terjawab serta semakin mengundang rasa penasaran.

Sumber: Retno HY/*Pikiran Rakyat**, Senin 7 Oktober 2013