• rss

Celempungan Jadi Simbol Perdamaian

arsip kula|Rabu, 12 Februari 2014|00.25
fb tweet g+
BERAWAL dari kaulinan budak (permainan anak), terciptalah alat musik Sunda buhun bernama celempung. Kata celempung berasal dari bunyi air yang kejatuhan benda. Dahulu, anak-anak kecil suku Sunda di perkampungan senang bermain air. Mereka pun membuat lubang di tanah, lalu mengisinya dengan air. Ketika sebuah benda dijatuhkan ke dalam lubang itu, terdengar bunyi “celempung”. Suara itulah yang menginspirasi alat musik celempung.

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Sunda sengaja mengembangkan kaulinan budak tersebut dengan menciptakan alat musik pukul dari bambu yang bunyinya mirip suara air “celempung”. Dari sanalah, alat musik itu dinamakan celempung.

Sampai sekarang, alat musik Sunda buhun tersebut sudah memasyarakat di beberapa daerah Jawa Barat, termasuk Sumedang. Suaranya akrab di telinga para seniman dan budayawan Sunda. Celempung tersebut dari sepotong bambu ukuran sedang dengan panjang sekitar setengah meter.

Celempungan Jadi Simbol Perdamaian
ADANG JUKARDI/*PR*
BUDAYAWAN Sumedang dari Perkumpulan Insun dan Paguyuban Seni Budaya Conggeang, Edah Zubaedah, mengajak anaknya memainkan alat musik Sunda “buhun” celempung pada pameran “Festival Geusan Ulun di halaman Gedung Negara, Jalan Prabu Geusan Ulun, Sumedang
“Awalnya, celempung itu dibuat hanya satu, seperti halnya kentungan bambu. Nah, saya menciptakan tiga buah celempung yang disatukan. Cara memainkannya dipukul seperti gamelan. Ternyata lebih simpel memainkannya. Bahkan, suaranya pun bervariasi sehingga menimbulkan nada dan irama,” kata budayawan Sumedang dari “Perkumpulan Insun dan Paguyuban Seni Budaya Conggeang”, Edah Zubaedah, saat mengikuti pameran “Festival Prabu Geusan Ulun” di Halaman Gedung Negara Jalan Prabu Geusan Ulun.

Menurut dia, alat musik celempung biasa dimainkan orang Sunda dulu saat beristirahat dan melepas lelah setelah kerja keras di sawah, ladang atau kebun. Mereka memainkannya di saung rangon (gubuk bambu).

Oleh karena itu, celempung menjadi bagian dari kehidupan orang Sunda di perkampungan sejak lama. Celempung, biasa dimainkan berbarengan dengan alat musik Sunda buhun lainnya, seperti karinding, kendang suuk, dan goong buyung. Semua alat itu juga terbuat dari bambu. Selain itu, celempung juga bisa dikolaborasikan dengan alat-alat musik modern.

“Musik celempung yang dikolaborasikan dengan alat musik modern sempat ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta di acara ‘Indonesia Sejuta Bunyi”,” tutur Edah.

Celempung, menurut dia, tidak sebatas alat musik. Lebih dari itu, celempung mengandung simbol perdamaian dan media kekerabatan orang Sunda di wilayah Priangan, Jawa Barat.

Disebut simbol perdamaian karena suara celempung lembut dan nyaman di telinga. Namun, karena suara yang dihasilkan dari alat musik bambu sangat terbatas sehingga celempung harus dibantu sound system ketika dimainkan di atas panggung.

“Alat musik celempung ini tidak berisik, tidak memekakkan telinga, serta tidak menimbulkan suasana ingar-bingar, seperti alat musik modern lainnya. Oleh karena itu, permainan celempung tidak akan memancing keributan dan pertengkaran ketika dimainkan di atas panggung. Dengan demikian, celempung disebut alat musik simbol perdamaian.

Celempung dikenal sebagai media kekerabatan sesama orang Sunda lantaran beberapa masyarakat adat di Jawa Barat dan Banten sama-sama menggunakan celempung. Contohnya, masyarakat adat Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, warga Kampung Naga di Tasikmalaya, dan suku Baduy di Banten.

Kelestarian alam
Lebih jauh Edah menjelaskan, celempung merupakan warisan seni dan budaya para leluhur Sunda yang sudah memiliki sifat mencintai kelestarian alam dan lingkungan. Itu karena, celempung terbuat dari bambu sehingga warga pun menanam bambu. Tanaman bambu selain dimanfaatkan untuik alat musik berguna pula untuk menyerap air dan mencegah longsor. Oleh karena itu, celempung mengandung filosofi cinta lingkungan.

Tak ayal, kelompok yang dibentuk Edah mengusung prinsip Sunda, “Leuweung Kaian, Gawir Awian, Lebak Caian”. “Bambu menjadi bagian dari budaya Sunda”, ucapnya.

Guna mengembangkan alat musik Sunda buhun, khususnya celempung, Edah sangat berharap Pemerintah Sumedang membuat Peraturan Daerah Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS). Melalui perda tersebut, ada upaya menginventarisasi sekaligus mengambangkan berbagai kesenian dan budaya Sunda, salah satunya alat musik Sunda buhun.

“Sangat disayangkan, dari 80 alat musik Sunda buhun, yang baru tercatat di lembaga dunia Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikan Bangsa Bangsa (UNESCO), baru angklung. Melalui Perda SPBS, kita juga berharap alat musik Sunda lain harus dipatenkan untuk menjaga Hak atas Kekayaan Intelektual urang Sunda,” tutur Edah.

Sumber : Adang Jukardi/*Pikiran Rakyat** Senin, 2 Desember 2013