Doc. Pon Purajatnika |
sketsa punden berundak situs Gunung Padang |
Artikel Terkait: |
Sebagai seorang arsitek, sudah menjadi dorongan alamiah bagi Pon untuk mencari tahu sejarah arsitektur negerinya sendiri. terlebih, pada catatan sejarah masa pra sejarah dan megalitik di Indonesia, Jawa Barat sama sekali tidak pernah disebut-sebut. Padahal, Pon menyakini bahwa Jawa Barat pernah menjadi pusat peradaban. Buktinya sangat banyak, bahkan beberapa tidak pernah digali, hanya perlu didatangi dan diteliti.
Ketika menjabat sebagai Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Jawa Barat pada 2008 lalu, Pon mulai melakukan penjelajahan ke berbagai daerah di Jawa Barat. Dia mengunjungi kampung-kampung adat, lalu mendatangi situs percandian, serta berbagai peninggalan zaman megalitikum di Jawa Barat. Namun, dari semua tempat yang pernah dikunjunginya, tidak ada situs yang sebesar dan semegah punden berundak di Gunung Padang.
Pon mengaku terperangah ketika pertama kali menjejakkan kaki di Gunung Padang. Betapa tidak, di depannya terhampar sebuah bangungan batu yang luas, dengan konstruksi yang sangat kuat. Siapa pun pembuatnya telah memikirkan desain dan teknik pembangunan punden berundak itu. Mereka membuat penguat struktur tanah terlebih dahulu, lalu membuat fondasi dengan menambahkan lapisan pasir supaya bangunan tahan gempa. Metode yang digunakan memang sederhana, hanya menyusun batu. Namun Pon menegaskan bahwa itu tidak gampang. “ini by design, bukan sekadar asal. Berarti dulu ini ada arsiteknya,” ujarnya.
Terbesar di Asia Tenggara
Berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya, Pon lalu menyatakan bahwa situs megalit di Gunung Padang ini yang terbesar di Asia Tenggara. Dalam berbagai forum dia mengatakan yakin kalau situs Gunung Padang tidak berdiri sendiri. dia memerlukan infrastruktur pendukung di sekitarnya. Sebagai tempat ritual, punden berundak paling tidak dilengkapi oleh rumah penunggu/pengelola, pemelihara, serta berdekatan dengan perkampungan dan pusat keramaian.
Pada 2009, Pon kemudian bekerja bersama arkeolog untuk menemukan lebih banyak fakta tentang Gunung Padang. Mereka menyurvei kawasan Gunung Padang meter demi meter. Pada November tahun lalu, Pon bersama tim yang lain membuka kawasan timur dam melakukan eskavasi. Ternyata betul saja dugaannya, ada terasering berlapis batu yang disusun manusia di sana. Penahan tanah ini terus berlanjut hingga ke sungai Cikuta.
Berdasarkan observasi yang panjang serta data kontur kawasan dan cerita masyarakat sekitar, Pon mulai menggambar sketsa perkiraan banguan awal situs megalit Gunung Padang pada Agustus 2011. Dari segala fakta dan data yang yang dikumpulkan di lapangan itu, Pon menyakini bahwa situs Gunung Padang bukan hanya punden berundak yang ada di puncak gunung saja. Menurut dia, punden berundak itu meliputi seluruh bagian gunung.
Dia menyebutnya punden berundak skala dewa. Anak tangga menuju puncak punden berundak itu sengaja tidak manusiawi, karena tidak sembarang orang dapat mencapai puncak tersebut. Diperlukan perjuangan bagi siapa pun yang ingin mencapai puncak punden berundak. Jika dibersihkan dari semak-semak yang menutupinya, Pon mengatakan bahwa punden berundak di Gunung Padang akan tampak seperti situs peninggalan suku Inca Macupicu di Peru. Bedanya, bentuk batuan yang digunakan di Gunung Padang berukuran lebih besar.
“Sketsa ini saya buat dengan sangat hati-hati, karena ini terkait dengan sejarah. Perlu waktu lama bagi saya untuk membuat sketsa ini, dengan melakukan berbagai observasi, wawancara, dan penelitian. Akhirnya saya bisa menggambar sketsa ini secara utuh pada akhir 2011,” ungkapnya.
Menurut Pon, informasi mengenai seni arsitektur zaman dahulu sangat penting diketahui oleh artisetktur masa kini, sebagai bekal ketika akan membuat bangunan. Dalam gaya arsitektur kuno ini tersimpan pelajaran-pelajaran berharga mengenai kesesuaian bangunan dengan kondisi alam. Lihat saja, situs-situs yang dibangun ribuan tahun lalu itu masih berdiri kokoh sampai sekarang.
Manusia zaman dahulu cukup pintar untuk memperhitungkan alam Jawa Barat yang bergunung-gunung, berlembah, dan memliki sungai. Ini seharusnya menjadi bahan utama untuk dikaji dalam menentukan keputusan desain, mulai dari tata ruang sampai spektrum.
Sumber: Lia Marlia/”Pikiran Rakyat”