• rss

Keriuhan di Tempat Keramat :: Situs Gunung Padang

arsip kula|Jumat, 06 Juli 2012|02.27
fb tweet g+
Keriuhan di Tempat Keramat Situs Gunung Padang
Situs Gunung PadangSITUS Gunung Padang adalah bangunan yang terdiri dari tumpukan batu-batu persegi besar dengan berbagai ukuran. Batu-batuan itu tersusun dalam satu tempat berundak yang mengarah ke Gunung Gede. Situs prasejarah ini diyakini merupakan peninggalan kebudayaan Megalitikum di Jawa Barat. Secara administratif, situs Gunung Padang berada di perbatasan Dusun Gunung Padang dan Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.(Foto: Pikiran Rakyat Online)
Artikel Terkait:

BAGI masyarakat Cianjur, keberadaan situs ini begitu keramat. Sebelum khalayak ramai mengenal situs Gunung Padang yang mencuat akibat adanya penelitian tersebut, Gunung Padang dijadikan salah satu tempat yang “suci” dan wajib terjaga keasliannya. Bahkan, beberapa warga masih percaya situs ini merupakan tempat pemujaan zaman dulu sehingga mereka menganggap Gunung Padang sebagai salah satu tempat untuk mencari pencerahan.

Awal mula Gunung Padang dijadikan situs kepurbakalaan dimulai pada tahun 1979. Tiga penduduk setempat, Endi, Soma, dan Abidin mengetahui dan melaporkan temuannya berupa banguan punden berundak pada Edi, Penilik Kebudayaan Kemacatan Campaka saat itu. Laporan itu ditanggapi Kepala Seksi Departemen Pendidikan Kabupaten Cianjur saat itu, R. Adang Suwanda, yang akhirnya melakukan pengecekan dan pengkajian arkeologi, sejarah, dan geologi yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkelogi Nasional (Puslit Arkenas).

Meskipun demikian, laporan pertama mengaenai kebedaan situs ini sempat dimuat pada Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (Buletin Dinas Kepurbakalaan ) tahun 1914. Bahkan, pada tahun 1949, sejarawan Belanda, NJ Krom telah menyinggung adalanya bangunan punden berundak di dusun Gunung Padang, Cianjur.

Lokasi situs gunung Padang yang tidak mudah dijangkau oleh masyarakat diluar desa tersebut membuat Gunung Padang belum ditangani secara serius. Pada tahun 1993 keberadaan situs tersebut mulai diambil alih oleh BP3 serang (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala) dan balai Kepurbakalaan di bawah Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Penelitian
Awal mula penelitian dikalukan oleh tim Andi Arief (Staf khusus Presiden Bidang kebencanaan dan bantuan sosial) adalah ketika meraka melakukan peneltian pda Patahan Cimandiri. Meraka menyakini bahwa patahan terbesar berada di Jawa Barat hingga bis membelah Pulau Jawa. Patahan yang terbentang dari Lembang, Bandung hingga Palabuhanratu ini menarik perhatian tim Andi Arief.

Tidak tanggung-tanggung, Tim Katastropik Purba bentukan Andi Areif menduga adanya kemungkinan situs ini merupakan bukti peradaban manusia yang pertama dan tertua di situs megalitikum Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat mendapat perhatian dari dunia internasional. Bahkan, disebut-sebut bahwa UNESCO pun menjadikan Indonesia sebagai ring of cultrure karena situs tersebut. “Mandat itu disampaikan langsung oleh Direktur UNESCO pada Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,” kata anggota Tim Terpadu riset Mandiri gunung Padang, Erick Rizky.

Riuhnya penelitian Gunung Padang ini pun tidak terlalu ditanggapi secara serius oleh masyarakt sekitar. Meraka hanya tahu sejak adanya penelitian, makin banyak pengunjung yang datang dan maik banyak keuntungan secara ekonomi.

“Sebenarnya kami tak terlalu peduli mengenai penelitian ini. Apapun yang dilakukan di Gunung Padang, bagi masyarakat harapannya bisa mensejahterakan,” kata Endang Nasihin (32), Ketua Forum Peduli Gunung Padang. Meskipun demikian, Endang dan beberapa warga lainnya merasakan kekecewaan ketika situs ini dibuka kepada publik. Tanpa adanya dukungan fasilitas yang baik, kini situs semakin tak terawat.

“Padahal, keberadaan situs ini sangat berarti bagi masyarakat. Bagian utamanya rasa memiliki secara turun-temurun. Sebelum dibuka, dulunya situs ini dijadikan wisata religi dan terbatas. Sekarang justru semakin tidak terawat,” katanya.

Pertentangan
Bagi budayawan Cianjur, Abah Ruskawan, lokasi situs yang berbukit-bukit curam dan sulit dijangkau serta dikelilingi oleh lembah-lembah yang dalam, menjadikan situs ini mempunyai makna penting sebagai tempat ritual. “Dan memang telah dikeramatkan oleh warga setempat. Dari beberapa tulisan budayawan Sunda, penduduk asli Gunung Padang menganggapnya situs ini sebagai tempat Parabu Siliwangi, raja Sunda, berusaha membangun istana dalam semalam. Namun cerita ini cerita ini pun masih diperdebatkan,” ucapnya.

Bahkan, Abah bersama puluhan budayawan Cianjur dan Jawa Barat sempat memprotes eksploitasi Gunung Padang. Mereka mempertanyakan pengeboran yang dilakukan para peneliti karena khawatir rencana penelitian ini justru akan merusak situs Gunung Padang. Selama ini, situs tersebut tergolong masih perawan dan selalu dijaga keasliannya oleh masyarakat setempat.

“Hingga kini kami pun masih bingung apa yang akan diteliti. Untuk apa? Apa manfaatnya bagi warga Cianjur khususnya warga Gunung Padang yang sekian puluh tahun telah menerapkan kearifan lokal dalam menjaga situs terbesar di Asia Tenggara?” katanya mempertanyakan.

Abah mengatakan, jika ingin dikaji lebih lanjut tentang keberadaan Gunung Padang, sebaiknya dilakukan kajian secara menyeluruh, tak hanya dari sisi ilmu pengetahuan. “Diperlukan penelitian dari sisi arkeologi, antropologi, sejarah, budaya dan sosial masyarakat setempat. Terutama, kerarifan lokal mengenai budaya masyarakat setempat terhadap Gunung Padang yang sudah terbentuk puluhan tahun lalu,” tuturnya.

Sebagai bentuk protes Abah bersama warga setempat pun sempat menggelar shalat istigosah di depan parkir Gunung Padang. Hal ini dilakukan untuk meminta kepada Allah, jika memang eskavasi ini harus dilakukan semoga bisa menghasilkan hal yang baik.

“Kami sudah sering melakukan penentangan agar penelitian ini dilakukan tidak sampai merusak. Makanya, jalan satu-satunya adalah kami melakukan shalat istigosah untuk meminta jika memang penelitian ini baik untuk masyarakar Cianjur. Kami bersyukur dan jika tidak semoga dapat petunjuk untuk segera dihentikan, ucapnya.

Sumber: Wilujeng Kharisma/”Pikiran Rakyat”