(oleh: A. Hajar Sanusi, Pikiran Rakyat)
Suatu ketika Abu Dzar al-Ghifari ikut dalam rombongan Rasullullah saw. Untuk berperang melawan tentara romawi di negeri syam. Dalam sejarah, peristiwa itu dikenal sebagai Perang Tabuk.
Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, unta Abu Dzar mogok dan tidak mau berjalan lagi. Abu Dzar terpaksa memikul semua perbekalan di atas pundaknya dan kemudian melanjutkan perjalanan tanpa kendaraan.
Ia menapaki samudera pasir yang membara, lantaran terbakar sinar matahari. Namun hal itu tidak dianggap sebagai masalah serius, karena ia ingin segera menyusul kafilah Nabi saw.
Ketika perasaan haus menyerangnya. Abu Dzar beruntung. Ia menemukakan mata air di tengah padang pasir. Tindakan pertama yang dilakukannya adalah mengisi air sebagai upaya menghilangkan dahaga.
Kini kantong kulitnya sudah penuh terisi air. Abu Dzar lalu mencium air untuk ia minum. Namun, tatkala tangannya yang berisi air itu sudah menyentuh bibir, ia kemudian ingat akan Rasulullah saw.
Abu Dzar menarik kembali tangannya itu dan menumpahkan air yang ada ditangannya. Mengapa demikan?
Abu Dzar tidak ingin dahaganya terpuaskan sementara dalam waktu yang sama Rasulullah saw, tentu dalam keadaan kehausan.oleh karena itu, ia bergegas meninggalkan oase tersebut dan tentu saja masih dalam keadaan dahaga yang teramat sangat.
Beberapa lama kemudian, Abu Dzar berhasil menyusul Rasulullah saw, yang sedang beristirahat di suatu tempat. Kedatangannya disambut oleh Rasulullah dengan hangat dan penuh kasih sayang.
Sesampainya dihadapan Nabi saw, Abu Dzae terjatuh dan hampir pingsan karena kehabisan tenaga. Rasulullah saw kemudian memerintahkan sahabat yang lain, untuk memberinya minum.
Namun tatkala mereka memberikan air kepadanya, Abu Dzar menolak seraya menjelaskan, bahwa qirbati miliknya penuh berisi air. Ia berkata, “Hidzihi qirbati mamlu’bi al-ma’ (kantong kulitku ini penuh dengan air). Semua yang hadir menjadi heran saat mendengar ucapannya itu. Tidak kecuali Rasulullah saw.
Nabi saw, denga heran bertanya, “A ma’ak al-ma’ wa anta tadzubu athasyan? (bersamamu ada air, wahai Abu Dzar. Tapi mengapa engkau larut dalam kehausan)?”
Abu Dzar menjawab: “Na ‘am ya Rasulullah, Wa jadtuhu fi thariqi wa ma ahbabtu an asyraba minhu, illa an yasyraba habibi Rasulullah minhu (benar ya Rasulullah. Aku mendapatkan air ini di tengah perjalanan. Namun aku berjanji tidak akan meminumnya walaupun seteguk, sampai engkau wahai Rasulullah, minum darinya).”
Kisah di atas mennerangkan betapa tulus kecintaan Abu Dzar kepada Rasulullah saw. Memang demikianlah cinta sejati. Sebagaimana ahli hikmah ngatakan bahwa cita adalah: itsar al-muhbub ‘ala jami’ al-mashhub (mengutamakan sang kekasih di atas yang lainnya) .
Ketulusan Cinta Seorang Abu Dzar
pepep [saukur dogdong pangrewong]
neundeun
judul : Ketulusan Cinta Seorang Abu Dzar
url : http://archive69blog.blogspot.com/2010/08/ketulusan-cinta-seorang-abu-dzar_15.html
neundeun
judul : Ketulusan Cinta Seorang Abu Dzar
url : http://archive69blog.blogspot.com/2010/08/ketulusan-cinta-seorang-abu-dzar_15.html