• rss

Sejarah/Riwayat Seni Tradisional Jangkar Alam “Ajeng” Desa Cipelang Kec. Ujungjaya - Sumedang

arsip kula|Selasa, 04 November 2014|21.38
fb tweet g+
Diketemukan alat tradisional ajeng awal mulanya adalah seorang sultan yang bernama Sultan Jaya Ningrat dari daerah Ranji yang mempunyai anak sebanyak 4 orang, yaitu Ranggawati, Waragati, Puragati, dan Jaga Kerti. Sewaktu itu Sultan Jaya Ningrat mengutus ke 4 anaknya untuk membuat saluran air di Tegal Burangrang Gunung Garunggang yang terletak di wilayah daerah Ranji Kabupaten Majalengka.

Seni Tradisional Jangkar Alam Ajeng Desa Cipelang Kec. Ujungjaya
Foto: Doc. Jangkar Alam "Ajeng"
Dari ke empat anaknya tersebut hanya Jagakerti yang menyanggupinya. Jagakerti berangkat melaksanakan tugasnya dikawal oleh Embah Kadar serta dibantu oleh masyarakat setempat.

Pada saat penggalian dilakukan hampir satu bulan, diketemukan sebuah benda yang bernama Kempul atau gong kecil, kemudian beberapa saat juga diketemukan 28 buah benda yang bernama Keromong. Sedangkan yang terakhir diketemukan benda yang bernama Gong besar pada saat mengakhiri penggalian terowongan.

Hanya itulah alat yang diketemukan pada saat penggalian dalam membuat saluran air, oleh Jagakerti yang dikawal oleh Embah Kadar dan dibantu oleh masyarakat.

Setelah alat tersebut dibawa, kemudian pelan-pelan dipukul-pukul dan lama-kelamaan dimainkan yang akhirnya menjadi seni tradisional, dan kemudian diberi nama “Jangkar Alam”, karena diperoleh dari dalam tanah yang penuh dengan jangkar saat penggalian.

Setelah dari Ranji Jagakerti pindah tempat ke daerah Belendung (sekarang desa Cipelang) serta menempatkan dirinya di dekat pohon belendung sebagai tempat peristirahatannya (sebagai bukti ada pohon belendung di pinggir lebak belendung dan sawah belendung) sementara masyarakat hanya sebagian kecil yang tinggal, dan alat tradisional pun dibawa dengan perantaraan Embah Kadar. Kemudian alat tersebut dimainkan bersama masyarakat di daerah Belendung sampai dengan sekarang oleh generasi penerus dengan berubahnya nama Belendung menjadi Desa Cipelang.

Meskipun Jagakerti dan Embah Kadar telah meninggal dunia, tetapi ia mewariskan sebuah benda pusaka yang tak ternilai harganya kepada pewaris-pewaris sebagai keturunannya. Jagakerti dimakamkan di Makam Cipelang dan sekarang bernama Makam Embah Buyut Jagakerti. Embah Kadar juga dimakamkan di Makam Cipelang dengan sebutan Embah Buyut Kadar.

Setelah itu terjadi kira-kira pertengahan abad, oleh pewaris nama Jangkar Alam dirubah menjadi “Ajeng”. Nama ajeng diambil dari “Pangajeng-ngajeng” bagi pengantin, karena seni tradisional tersebut pada waktu itu sering ditampilkan pada acara-acara pengantinan, dengan menggunakan panggung yang tinggi sebagai pintu masuk para tamu di acara tersebut.

Karena seni ajeng merupakan benda pusaka leluhur, maka saat sekarang dimainkan sering kali di tempat-tempat keramat dalam acara ritualan, guar bumi, dan acara-acara peresmian lainnya, sebagai salah satu penghargaan kepada para pewaris sebelumnya (Karuhun) dan juga sebagai suatu slogan dalam mengayomi perkembangan seni tradisional warisan para leluhur.

Sesuai dengan sejarah tersebut di atas, maka Desa Cipelang merupakan desa pewaris Makam keramat Embah Buyut Jaga Kerti, dengan benda pusakanya seperangkat alat seni tradisional ajeng sebagai peninggalannya.

Dan benda ini menurut disbudpar marupakan situs, karena merupakan benda purbakala yang telah ratusan tahun keberadaannya. (Dikutip dari pembicaraan pewaris --Amirtarejake 21:85-- dan dari nara sumber lainnya sebagai dasar dari sejarah ini)

Sumber: Doc. Jangkar Alam “Ajeng”