• rss

Lembur Salawe Isinya Hanya 25 Rumah

arsip kula|Senin, 20 Oktober 2014|10.58
fb tweet g+
DARI sekian banyak tempat di Tatar Galuh Ciamis, ada satu wilayah yang sejak zaman dulu hingga saat ini masih kental dengan tradisinya, yakni Lembur Salawe. Lokasinya di Dusun Tungggarahayu, Desa/Kecamatan Cimaragas, Kabupaten Ciamis.

 Lembur Salawe Isinya Hanya 25 Rumah
NURHANDOKO WIYOSO/*PR*
JURU pelihara situs cagar budaya Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabu Galuh Salawe Iswanto Tirtawijaya dan Jagabaya Tanto Herdianto berdiri di pintu gerbang masuk Lembur Salawe, di Dusun Tunggarahayu, Desa/Kecamatan Cimaragas, Kabupaten Ciamis. Sejak dulu, di tempat tersebut hanya dihuni 25 tugu atau kepala keluarga.*
Sesuai namanya yaitu Salawe yang berarti 25. Di wilayah hanya di huni 25 tugu atau kepala keluarga.

Lokasi tersebut berada di sisi jalur alternatif Ciamis-Kota Bandar, lewat Kecamatan Cimaragas. Berjarak sekitar 400 meter dari Situs Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe. Situs yang juga menyimpan sebanyak 25 petilasan itu cukup asri karena banyak terdapat pohon besar.

“Sejak zaman nenek moyang sampai sekarang di lembur Salawe hanya dihuni 25 tugu atau kepala keluarga. Jumlah rumah juga hanya 25,” tutur Juru Pelihara Situs Sang Hyang Maharaja Cipta Permana Prabudigaluh Salawe, Iswanto Tirtawijaya (25), Rabu (5/10/2014).

Didampingi Jagabaya Tanto Herdianto (34), dia mengungkapkan, apabila ada keturunan tugu hendak membangun rumah baru, dia harus di luar lembur Salawe.

“Pada intinya jumlah tugu tidak pernah kurang atau bertambah, tetap 25,” katanya.

Seiring dengan perkembangan zaman, rumah tradisional yang sebelumnya berupa rumah panggung, saat ini sudah banyak yang diganti dengan rumah semipermanen. Meskipun demikian, menurut Iswanto, banyak warga yang kembali menginginkan membangun rumah tradisional.

“Tidak hanya bentuk rumah panggung, beberapa bagian ruangan dalam rumah juga ada bagian-bagiannya. Misalnya kamar, dapur, tempat menyimpan hasil panen dan lainnya,” jelasnya.

Perkembangan zaman tidak mengurangi atau melunturkan warga Salawe mempertahankan tradisi. Misalnya misalin atau ngikis yang digelar menjelang bulan Puasa.

Sebelum panen, warga juga melakukan ritus berdoa agar hasil mendatang melimpah serta bebas dari serangan hama.

“Sampai sekarang tradisi Misalnya misalin dan ritus menjelang panen masih kami pertahankan. Banyak nilai yang terkandung dalam kegiatan tersebut, tidak hanya yang tersurat atau yang tampak saja, tetapi juga makna yang tersirat,” katanya.

Tanto menungkapkan, salah satu makna salawe yang juga menjadi ciri khas daerah ini, pada masa lalu erat kaitannya dengan kegiatan warga. Dalam sehari warga harus melakukan 25 pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Kegiatan tersebut diawali dari bangun tidur sampai tengah malam.

“Sehari harus melakukan 25 pacabakan, pagawean. Misalnya mencangkul kemudian menanam pohon pisang, menanam sayuran. Istirahat, makan, dan tidur tidak masuk hitungan,” tuturnya.

Dengan 25 pekerjaan itu, seorang kepala rumah tangga atau tugu dapat menghidupi keluarganya. “Jadi tidak perlu keluar dari Salawe. Banyak pekerjaan di daerah sendiri yang bisa untuk menghidupi keluarga,” ujar Tanto.

Sumber: Nurhandoko Wiyoso/*Pikiran Rakyat** Kamis, 16 Oktober 2014