• rss

Rumah Sakit Dustira - Cimahi

arsip kula|Selasa, 20 Mei 2014|11.51
fb tweet g+
PADA abad ke-18, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendirikan fasilitas militer di daerah Cimahi. Lokasi ini dipilih karena berdekatan dengan Kota Bandung, sebagai ibukota Hindia Belanda (saat itu). Didirikan pula rumah sakit militer untuk melengkapi keperluan para prajurit yang bertugas di sana. Rumah sakit yang berdiri di atas lahan seluas 14 hektare ini diresmikan pada 1887 dengan nama Militare Hospital. Desain bangunannya mengusung gaya arsitektur artdeco, khas Eropa. Setelah lebih dari satu abad usianya, hingga saat ini bentuk bentuk fisik bangunan rumah sakit tak banyak berubah. Bangunan bagian depan dan dindingnya dibiarkan sama seperti saat pertama kali dibangun. Atap rumah sakit pun masih menggunakan genting bergelombang dengan struktur kerangka yang terbuat dari kayu.

Rumah Sakit Dustira
Illistrasi: Ali Parma/*PR*
Lokasi : Jalan Rumah Sakit No. 1 Kota Cimahi
Pengelola : TNI-AD (Kodam III Siliwangi)
Pelayanan medis: Medical check up, dokter umum, dokter gigi, dokter spesialis/sub-spesial (anak, bedah umum, bedah saraf, bedah tulang, kebidanan dan kandungan, penyakit dalam, THT, mata, paru, jantung, rehabilitasi medik, radiologi, psikologi, jiwa, saraf, serta kulit dan kelamin.
Pelayanan Penunjang: Laboratorium Patologi Klinik, laboratorium Patologi Anatomi, Ct-scan, X-Ray, ECG, Endoscopy, Treadmill, Echocardiografi, Laparoscopi, Hemodialisa, Farmasi dan Konsultasi Gizi.
Fasilitas lainnya: UGD 24 jam, rawat inap, rawat jalan, kamar bedah, ICU, instalansi pendidikan, pemulasaran jenazah, kedokteran kehakiman dan forensik.
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 1949, kepemilikan Militare Hospital diserahkan kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Rumah sakit ini kemudian berganti nama menjadi Rumah Sakit Territorium III dengan Letnal Kolonel dr Kornel Singawinata sebagai kepala yang pertama rumah sakit tersebut. Kemudian, dalam perayaan ulang tahun Territorium III/Siliwangi yang ke-10 pada 19 Mei 1956. Panglima Territorium III/Siliwangi Kolonel Kawilarang mengganti nama rumah sakit ini menjadi Rumah Sakit Dustira.

Penetapan nama tersebut sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan perjuangan Mayor dr Dustira Prawiraamidjaja. Dustira adalah dokter tamatan pendidikan kedokteran di Geneeskundige Hogeschool (ika Saigaku atau Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta) pada tahun 1945. Dustira kemudian mengikuti pelatihan kemiliteran selama dua minggu. Setelah itu, ia ditugaskan membantu para korban perang, khususnya di front Padalarang, Cililin, dan Batujajar. Jumlah korban yang terus bertambah di tengah segala keterbatasan peralatan medis yang tersedia membuat Dustira kelelahan hingga akhirnya meninggal dunia pada 17 Maret 1946.

Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Militare Hospital digunakan sebagai tempat untuk merawat tentara Jepang dan tentara Belanda yang menjadi tawanan tentara Jepang. Kendati merupakan rumah sakit militer, dalam perkembangan selanjutnya, Rumah Sakit Dustira menerima pasien dari kalangan masyarakat umum. Berbagai pelayanan medis dan pelayanan penunjang tersedia di sini. Atas prestasinya dalam pelayanan tersebut, pada November 2010 rumah sakit ini menerima sertifikat akreditasi 16 pelayanan dari Direktorat Jenderal Kekuatan Pertahanan Kementrian Pertahanan RI (Dirjen Kuathan Kemenhan RI)

Sumber: Hanif Hafsari Chaeza/Periset *Pikiran Rakyat* Minggu 2 September 2012