• rss

“SISINGAAN” Bentuk Perlawanan Rakyat Subang

arsip kula|Kamis, 10 April 2014|09.18
fb tweet g+
SISINGAAN merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Kabupaten Subang. Kesenian ini ternyata memiliki sejarah cukup panjang, terkait dengan perlawanan warga Subang, ketika daerah mereka masih dijajah.

Subang pada waktu itu, sebagaimana digambarkan oleh Broersma dalam bukunya De Pamanoekan and Thiasem Landen tahun 1912. sebagian besar lahan pertaniannya dikuasai oleh perkebunan orang-orang Belanda dan Inggris. Perusahaan yang besar di daerah Pamanukan yaitu P&T Land.

Perkebunan tersebut telah menguasai hajat masyarakat Subang. Mereka mengalami tekanan cukup berat. Makanya saat ini mulai muncul perlawanan dari masyarakat Subang.

Perlawanan yang dilakukan warga Subang saat itu dalam beberapa bentuk. Ada juga dalam bentuk perlawanan fisik. Tetapi bentuk lain, yaitu lewat kesenian.

SISINGAAN Bentuk Perlawanan Rakyat Subang
foto: diah-nurfatimah.blogspot.com
“Kesenian sisingaan, sebagai salah satu bentuk perlawanan warga Subang dalam bentuk lain. Makanya, kesenian sisingaan memiliki sejarah yang tak bisa lepas dengan masyarakat Subang,” kata Nina Lubis, sejarawan asal Universitas Padjadjaran, kepada ”PR”.

Perlawanan lewat sisingaan merupakan perlawanan secara simbolis. Warga Subang berusaha mengekspresikan kekecewaan mereka terhadap penjajah waktu itu dengan sisingaan.

Simbol yang ditampilkan berupa sepasang singa menunjukkan bahwa itu adalah lambang dua kekuatan yang menjajah secara politis yaitu Belanda dan secara ekonomis Inggris. Dua kekuatan itu berada di atas, sementara rakyat Subang di bawah yang tertekan.

Tetapi, ada semangat untuk bangkit dengan disimbolkan musik yang mengiringi kesenian itu. musik dimainkan nayaga untuk memberikan semangat bangkit atau semangat ke generasi muda untuk mengusir penjajah.

Anak muda disimbolkan yaitu anak yang naik sisingaan. Kelak anak tersebut harus bebas, harus mandiri menentukan nasibnya. Tanpa ditindas oleh kaum penjajah.

“Kesenian ini memiliki nilai-nilai yang cukup kuat untuk warga Subang pada waktu itu. makanya, sisingaan sampai sekarang tertanam dan berkembang di Subang,” kata Nina Lubis.

Catatan “PR”, secara garis besar sisingaan memang terdiri dari 4 pengusung sisingaan. Sepasang patung sisingaan, penunggang sisingaan, waditra nayaga, dan sinden atau juru kawih. Secara filosofi 4 pengusung sisingaan melambangkan masyarakat pribumi/terjajah/tertindas, sepasang patung sisingan melambangkan kedua penjajah.

Sementara penunggang sisingaan simbol generasi muda yang harus bangkit. Nayaga melambangkan masyarakat yang bergembira atau masyarakat yang berjuang dan memberi motivasi kepada anak-anak muda harus bisa mengusir penjajah dari Subang.

Dalam perkembangannya, sisingaan juga tak statis. Bentuk patung, busana, dan lainnya ada perubahan.

Para seniman sisingaan tanggal 5 Januari 1988, menyelenggarakan seminar kesenian sisingaan. Hasil seminar tersebut memutuskan untuk pembakuan dan penyeragaman dalam penyebutan sisingaan. Juga adanya keputusan bahwa sepasang sisingaan adalah melambangkan dua penjajah, dan melambangkan kekuatan, kekuasaan, kebodohan, serta kemiskinan.

Menurut pemerhati kesenian Dedi Mulyadi, sisingaan tak hanya memiliki nilai sejarah. Tetapi, lebih dari itu sisingaan simbol kebersamaan rakyat Subang. “Cermin gotong royong, cermin dai sisi kehidupan warga Subang yang bersatu padu dalam menyelesaikan masalah atau dalam tatanan keseharian mereka,” ujar Bupati Purwakarta yang asal kelahirannya dari Subang.

Sudah lama budaya tersebut tertanam di tengah warga Subang. “Nilai hidup manusia yang disimbolkan oleh 4 orang yang sedang menggotong sisingaan. Sebenarnya keempat orang ini adalah 4 pilar kebudayaan, yakni persenyawaan manusia dengan airnya, udara, tanah dan matahari. Sehingga menghidupkan sisingaan di atasnya, yaitu roh manusia yang harus seimbang antara keempat persenyawaan itu,” katanya mengartikan simbol lain dari sisingaan.

Sumber: Udang Sudrajat/*Pikiran Rakyat*, Senin 27 Januari 2014