• rss

Tantangan “Kearifan” Budaya Sunda

arsip kula|Senin, 03 Januari 2011|11.47
fb tweet g+
Kerangka acuan atau term of reference (TOR) yang diajukan panitia penyelenggara diskusi akhir tahun Pikiran Rakyat berpangkal pada banyaknya seniman Jawa Barat terkenal yang meninggal dunia pada 2010. Inti soal yang diajukan, sejauh mana “kesiapan” masyarakat Jawa Barat umumnya, sepeninggalnya para mendiang itu: tentang dokumen-dokumen yang ditinggalkannya, dan seperti apa harapan berlanjutnya “tradisi” kreativitas berkesenian pada generasi penerusnya.

Untuk mendiskusikannya secara konkret, dan untuk upaya perancangan agenda strategis ke depan, saya kira kita perlu mengadakan inventarisasi dan pemetaan permasalahannya. Dalam diskusi pertama ini, saya akan menyampaikan dasar-dasar pemikiran lain, yang walaupun tidak langsung mengarah pada pemasalahan di atas, merupakan soal dasar yang menurut saya perlu dicermati.

Pertama adalah tentang Jawa Barat dan Sunda. Sampai sepuluh tahun yang lalu, Jawa Barat umumnya dianggap identik dengan Sunda, karena penghuni mayoritasnya orang Sunda, dan orang Sunda pun hampir terkonsentrasi berada di provinsi itu–berbeda dengan “orang Jawa” yang terbagi di tiga daerah: Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Adalah isu menarik, ketika Anjungan Jawa Barat di Taman Mini Indonesia Indah mengambil model istana Cirebon, yang adalah daerah yang “paling tidak nyunda.” Kemungkinan pertimbangannya ada dua. Pertama, Cirebon dianggap Sunda. Kedua, yang dipilih adalah bangunan adiluhung, sebagai simbol “puncak kebudayaan” Jawa Barat.

Walaupun pendekatan yang kedua mungkin lebih kuat, mengikuti prinsip tersurat dalam Penjelasan UUD 45: “puncak-puncak kebudayaan.” Pendekatan pertama pun bukan mustahil, yaitu seluruh wilayah Jawa Barat ikut pada mayoritas, yaitu budaya Sunda. Paling tidak sampai akhir 1970-an, seluruh sekolah di provinsi ini memakai bahasa Sunda sebagai pelajaran bahasa daerah. Bahasa setempat, seperti bahasa Jawa yang dipakai oleh penduduk di daerah-daerah Kabupaten/Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka, Subang, Karawang, dan Banten, tidak dianggap sebagai “lokal yang arif,” yang patut dipelajari dalam dunia pendidikan--pendekatan mana yang dimulai juga sejak sekolah-sekolah didirikan untuk orang pribumi oleh pemerintah kolonial. “Budaya kecil” terlalu merepotkan untuk diperhatikan oleh birokrasi. Dengan kata lain, budaya kecil, yang lemah, dianggap remeh-temeh yang harus tunduk pada yang besar. Realitas budaya, yang tak lain adalah realitas kehidupan sosial di masing-masing “wilayah kecil” yang sangat bineka itu, dipetakan oleh pendekatan politik dengan menyederhanakan, meringkas, atau meringkusnya, untuk masuk pada kolom-kolom tertib sehingga menjadi kotak-kotak “kesatuan” administratif–hal itu bukan hanya terjadi di Jawa Barat, melainkan di seantero nusantara, dan bahkan di dunia.

Modernisme barat, berdampingan dengan revolusi industri, adalah zaman konstruktif, struktural, pragmatis (efektif-efisien), yang meninggalkan atau memangkas persepsi generalis holistis. Profesionalisme merumuskan spesialisasi, sehingga terbentuklah kotak-kotak dikotomis. Seluruh dunia terdidik dan terpukau pada sistem itu. Dalam bidang kesenian, misalnya, terjadi pengelompokan disiplin (yang tampak) rapi tertata: musik, rupa, sastra, tari, teater, dan lain-lain. Sementara dalam realitas budaya lokal, semua disiplin itu tidak terpisah-pisah, melainkan terjalin satu sama lain secara “holistis,” merupakan “kesatuan.”

Kemudian lahirlah kritik pemikiran besar terhadap itu, yang dikenal dengan postmodernisme, dekonstruksionisme, sejak 1960an-di Barat. Dalam tataran praktis, di Indonesia baru muncul menjelang abad 21, adalah tumbangnya Orde Baru, lahirnya Reformasi, yang disusul dengan sistem otonomi daerah. Banten menjadi provinsi tersendiri, pisah dari Jawa Barat. Masyarakat dan budaya Sunda yang mayoritas itu pun kini tidak lagi berada pada genggaman satu provinsi.

Jika kita berpegang pada acuan “ketertiban” dan “kesatuan” konstruktif, peristiwa itu mungkin dianggap sebagai pengaburan, atau perpecahan. Akan tetapi, jika dilihatnya sebagai proses pendewasaan “kelokalan yang plural,” bisa dianggap sebaliknya: sebagai peluang proses desentralisasi sosiokultural di kedua provinsi tersebut, untuk bersama-sama walau dalam ruang sistem administrasi-politik terpisah, menumbuhkan vitalisasi budaya Sunda. Dengan falsafah atau mental dan etik “bhinneka,” perkembangan positif lebih bisa diharapkan: dua provinsi turut bertanggung jawab (handarbeni) kebudayaan Sunda. Akan tetapi jika sebaliknya, dengan filsafat keekaan Sunda, kedua provinsi bisa berebut, memperjuangkan hak kepemilikan (posesif), sehingga yang satu menjadi saingan bahkan oponen dari yang lain, sehingga pembagian provinsi ini merupakan petaka bagi Ki Sunda.

Hal yang terakhir, petaka dan bukan berkah, mungkin mustahil terjadi, karena realitas sosialnya dari dahulu hingga kini demikianlah. Baduy yang berada di Banten, kita ketahui sebagai budaya Sunda tertua yang hidup hingga sekarang. Akan tetapi, kita pun tahu, budaya Sunda tidak berhenti pada platform atau paradigma tradisi Baduy. Sunda telah jauh melampaui (beyond) peradaban Baduy.

Dalam jiwa atau “ruh” budaya Sunda, di Jawa Barat maupun di Banten, terdapat ruh-ruh budaya lain, terlepas dianggap positif ataupun negatif, yang telah menjadi ruh diri sendiri. Ruh budaya Jawa adalah contoh yang jelas: proses penghalusan bahasa dan kesenian, adat (tatakrama), sampai ke tataekonomi pertanian. Demikian juga budaya Barat (Eropa) yang tertanam sejak zaman kolonial, dan telah turut mengembangkan “kecerdasan” kita hingga mampu melahirkan revolusi kemerdekaan, melahirkan sistem pendidikan hingga tingkat universitas, sistem birokrasi pemerintahan, dan sebagainya, yang berasal dari ruh Barat. Dan demikian pula ruh pelbagai agama (Hindu, Budha, Konghucu, Islam, dan Kristen), telah memodali kecerdasan (“kearifan”) hidup, tertanam dalam “ruh” Sunda secara “meng-satu”. “Meng-satu” bukan secara sederhana (rapi, tertib luarnya), melainkan secara kompleks, atau “tebal,” hingga tampak seperti ribuan jaringan laba-laba atau awan mendung tumpang-tindih berseliweran. Akan tetapi itu, menurut saya, adalah realitas.

Dengan demikian, secara kultural, penerjemahan bhinneka tunggal ika itu bukanlah “beraneka tetapi [harus] satu,” melainkan mungkin lebih baik dimaknai sebagai keber-banyak-an (beda) dan ke-satu-an (sama) adalah dua hal integral dalam suatu “ruh” (baca: semangat) kebudayaan. Ruang cyber (virtual, tetapi nyata), yang juga telah menjadi ruang hidupnya ruh budaya Sunda sekarang, merupakan misal dari kompleksitas itu. Ajaran-ajaran konstruktif (mendefinisikan) bergulung dengan yang sebaliknya. Ensiklopedia ala Britanicca, Oxford, dan Encarta, diimbangi oleh Wikipedia dan Wiki-Wiki yang lain, dan dalam pelbagai bahasa (termasuk Sunda); Linux mengimbangi Windows; dan lain-lainnya.

Dalam realitas yang semakin kompleks itu, serta semakin laju perubahannya, yang menjadi tantangan kita adalah dalam mengembangkan kecerdasan, kemampuan, untuk menghadapinya. Dunia tak mungkin dikembalikan pada ideologi “tertib dan rapi,” seperti halnya sistem demokrasi yang tak mungkin dikembalikan ke fasis otoriter, desentralisasi ke konstruksi sentral, internet ditertibkan-walaupun demokrasi adalah suatu sistem yang paling kompleks, sulit, dan “mahal.” Yang kita perlukan adalah tumbuhnya kemampuan, kecerdasan, dan kejujuran, yang tidak munafik, dalam menghadapinya. Itulah yang laiknya menjadi agenda bagi setiap kelompok sosial-budaya (geokultural) dan administrasi (geopolitik), karena kita tak akan bisa mengelak.

Alih-alih, yang jadi keprihatinan saya, mungkin kita semua, tahun demi tahun yang banyak dilakukan adalah seminar-seminar, yang tampak atau kedengarannya sangat baik, tetapi tak menghasilkan yang berarti, tak bisa dilihat gunanya. Seminar-seminar yang bertema “pembangunan” atau “pendidikan” moral, jati diri, karakter bangsa, dan lain-lain, hebat dan baik kedengarannya. Akan tetapi forum itu bak pertemuan keluarga, seperti untuk kangen-kangenan bernostalgia, dan secara administratif untuk menghabiskan anggaran tahunan. Yang tampaknya “baik-baik” itu tak ubah slogan-slogan yang tertulis dalam spanduk-spanduk di jalanan; atau hanya untuk membuat rumusan, mendefinisikan sesuatu tanpa pendalaman makna (tautologi); atau sebagai forum ekspresif mengungkapkan nostalgia romantik, kebanggaan masa lampau, keprihatinan masa kini, disertai menyalahkan pihak lain. Bagi saya, itu yang paling merisaukan: sementara terkepung oleh dunia kompleks, tetapi mengelak dengan mengambil jalan pintas “meng-gampang-kan”, tanpa kajian serius, dan kejujuran-keikhlasan. Sloganisme, tautologi, dan romantisme, menjadi media pelarian untuk menghindari kesulitan, excuse terhadap ketidakmampuan.

Sumber, Penulis: Endo Suanda, budayawan, pengamat seni tradisi. (Pikiran Rakyat)