Sasakala Gunung Guntur

Tersebutlah Sunan Ranggalawe yang menjadi Raja di Timbanganten, dengan ibu kotanya di Korobokan. Raja mempunyai seorang kakak perempuan, namanya Maharadja Inten Dewata, yang dalam kesehariannya tidak mau tinggal di keraton, tetapi tinggal di perkampungan diiringi penasihat, seorang kakek, namanya Batara Rambutputih.

Sasakala Gunung Guntur
ilustrasi: Rikiran Rakyat
Dikisahkan, Sunan Ranggalawe akan menambak sungai untuk merendam tegalan menjadi persawahan sehingga rakyatnya dapat meningkat kesejahteraannya. Namun, penambakan terus dilaksankan tanpa restu kakaknya. Air mulai tergenang. Maharadja Inten Dewata merasa tidak enak dengan upaya adiknya tersebut. Diambilnya selendang dan pakaian, lalu pergi ke bukit kecil yang sekarang dinamai Gunung Putri, yang letaknya tidak jauh dari Gunung Kutu.

Maharadja Inten Dewata berkata kepada Batara Rambutputih agar segera membuat jolang untuk wadah air dan membawa tanah segenggam. Ratu dan Kakek penasihat itu segera mendaki Gutung Kutu. Sesampainya di puncak gunung, tanah ditaburkan dan air dari jolang ditumpahkan. Keduanya kemudian bergegas turun. Seketika itu kawasan Timbanganten gelap-gulita. Terdengar letusan dari puncak Gunung Kutu. Api membakar semua yang dilaluinya, hutan, perkampungan dengan segala isinya. Bebatuan dan lumpur menguruk Nagara Korobokan sehingga mengalami kerusakan yang berat. Warga yang tidak terkena bencana segera melarikan diri ke Bandung dan ke Kawarang.

Sunan Ranggalawe merasa bersalah karena tidak mengindahkan harapan kakaknya. Akhirnya Sang Raja pergi menemui kakaknya, dan kesalahannya dimaafkan. Api yang membakar itu tiba-tiba mengecil dan padam. Dentuman dan hujan batu, kerikil,, dan pasir dengan seketika berhenti. Ketika Sunan Ranggalwe akan turun gunung dan mengajak kakaknya untuk ikut pulang, tetapi ditolaknya, kemudian menghilang bersama Batara Rambutputih.

Maharadja Inten Dewata berkata, “Bila suatu ketika gunung ini meletus, sebut nama ceuceu (kakak) dan kakek Batara Rambutputih, akan selamat tidak terjadi apa-apa”. Sepulangnya Sunan Ranggalawe ke Nagara Korobokan, hatinya diliputi kesedihan karena kehancuran alam yang luar biasa. Penduduk yang meninggal dunia sebanyak 11.000 jiwa, sebagian lagi mengungsi ke tempat lain sehingga daerah ini menjadi kawasan yang kosong. Sejak itulah nama Gunung Kutu berubah namanya menjadi Gunung Agung, dan sebagian menyebut Gunung Guntur. Ibu kota Nagari Rimbanganten dipindahkan dari Korobokan ke Tarogong.

Sumber: GUNUNG GUNTUR “Kisah Banjir Lahar Letusan Gunung Api”, T.Bachtiar/*Pikiran Rakyat**

Karinding Pendobrak Tradisi “Pingit”

Karinding Pendobrak Tradisi Pingit
Karinding
ALAT musik karinding awalnya dikenal sebagai alat musik pergaulan di kalangan remaja. Alat musik sebesar jari tengah ini bahkan dianggap sebagai pendobrak tradisi “pingit” yang diberlakukan para orang tua terhadap anak gadis mereka.

Kimung, musisi karinding mengakui, dari sejumlah naskah Sunda diketahui bahwa alat musik karinding cukup erat kaitannya dengan Dewi Padi dan budaya agraris di tanah Pasundan. Bahkan, ia mengungkapkan, banyak yang percaya nama karinding tersebut berasal dari nama seekor binatang penanda air jernih di sawah, yakni kakarindingan.

“Karinding yang dikenal sebagai jenis alat musik lamelafon itu serupa dengan genggong dari Bali, rinding dari Yogyakarta, serupa bahkan seperti jewsharp di Eropa, danmoai/patta di Vietnam, dan murcunga di Nepal”, kata Kimung, Sabtu (30/11/2013) di base camp Common Room, Jalan Muararajeun, Kota Bandung.

Namun, Kimung juga mengatakan, banyak yang percaya alat itu lahir pertama kali di tanah Pasundan. Keberadaan alat musik serupa di berbagai daerah di tanah air dipercaya merupakan serapan atau mengembangan dari karinding yang dimiliki suku Sunda.

“Semua alat musik tersebut dimainkan dengan cara yang sama, tetapi ada juga yang “menyintir” tali ujungnya, seperti genggong dari Bali”, kata Kimung.

Sumber : Hilmi Abdul Halim/*Pikiran Rakyat** Senin, 2 Desember 2013