• rss

Letusan Tangkubanparahu

arsip kula|Rabu, 19 September 2012|23.47
fb tweet g+
Letusan Tangkubanparahu
Foto: www.fotopedia.com
Oleh: Adjat Sudradjat, Vulkanolog, Tinggal di Bandung Guru Besar Geologi Universitas Padjadjaran

DALAM ketegangan yang sedang memuncak antara pedagang dan pengelola wilayah wisata, tiba-tiba aktivitas Gunung Tangkubanparahu meningkat. Gunung tersebut dinyatakan berbahaya dalam status siaga. Para pengunjung tidak diperkenankan mendekati kawah sampai sejauh radius 3 kilometer.

Pelarangan tersebut tampaknya merupakan tindakan berjaga-jaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Dasar yang dipakai oleh pihak yang berkompeten adalah hasil pemantauan, di antaranya munculnya getaran yang terdeteksi pada seismograf. Getaran itu dapat ditimbulkan oleh adanya gerak di dalam kerongkongan (diatrema) gunung tersebut.

Karakter letusan
Gunung Tangkubanparahu merupakan anak gunung Sunda yang sudah tiada. Gunung Sunda meledak dahsyat pada lebih kurang 100.000 tahun yang lalu dan merusak seluruh tubuhnya, sehingga terbentuklah lubang besar disebut kaldera. Di dasar kaldera itu kemudian tumbuh Gunung Tangkubanparahu yang sampai sekarang sudah berumur 50.000 tahun.

Aktivitas Gunung Tangkubanparahu memuncak pada puluhan tahun yang lalu. Batuan yang dimuntahkannya membendung aliran sungai Citarum sehingga terbentuklah Danau Bandung. Dari penelitian para ahli terhadap batuan yang dihasilkan gunung tersebut diketahui bahwa letusan eksplosif berlangsung lebih tua dari 10.000 tahun yang lalu.

Aktivitas eksplosif itu kemudian berubah karakter menjadi embusan gas dan uap. Letusan yang tercatat dalam sejarah adalah letusan-letusan uap seperti antara lain letusan pada April 1829. Letusan ini terjadi di Kawah Ratu yang merupakan kawah paling aktif di antara ketujuh kawah yang ada di Gunung Tangkubanaprahu. Letusan semacam itu terus berlangsung sampai sekarang dengan masa istirahat antara dua sampai lima tahun. Istirahat panjang sampai 20 tahun memisahkan satu episode dengan episode lainnya.

Letusan freatik
Letusan Gunung Tangkubanparahu masa kini didominasi oleh letusan freatik. Letusan semacam ini adalah letusan yang disebabkan akumulasi uap di dalam perut bumi. Uap terbentuk karena peresapan air hujan ke dalam lubang kawah yang kemudian bersentuhan dengan panas yang merambat dari dapur magma melalui kerongkongan atau diatrema gunung api. Dapur magma terletak beberapa kilometer di bawah dasar kawah, sedangkan uap terbentuk hanya beberapa ratus meter.

Air hujan yang meresap ke dasar kawah memerlukan waktu cukup untuk menjadi uap yang kemudian berakumulasi mengumpulkan tekanan. Bilamana tekanan ini sudah mampu mendobrak batuan yang ada di atasnya, terjadilah letusan. Oleh karena itu, terdapat masa istirahat antara satu letusan dan letusan lainnya.

Pendobrakan batuan oleh kekuatan gas acap disertai dengan getaran yang dapat dicatat oleh seismograf. Ketika uap sudah berhasil mendobrak batuan, terjadilah letusan. Dalam satu episode, antara letusan memakan waktu istirahat yang pendek sekitar 1-2 tahun. Masa istirahat panjang berlangsung dalam waktu sampai 20 tahun untuk mengakumulasikan uap yang baru atau episode baru. Setiap letusan akan berlangsung relatif singkat 2 hari atau 3 hari.

Letusan freatik sangat berbeda dengan letusan magmatik. Letusan magmatik memuntahkan batuan yang membara yang berasal dari dapur magma. Letusan semacam ini relatif berbahaya dan mengambil waktu yang lama minimal 2 minggu. Sebaliknya, letusan freatik hanya berlangsung beberapa hari dan hanya menghasilkan uap dan gas.

Tidak perlu khawatir
Dari uraian yang dikemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa aktivitas Gunung Tangkubaparahu dengan ini adalah aktivitas rutin. Bila terjadi letusan, letusan itu akan merupakan letusan uap atau freatik. Letusan freatik biasanya berlangsung relatif singkat dan hanya menyangkut wilayah di sekitar kawah.

Walaupun sudah dinyatakan sebagai bahaya atau siaga dan pengunjung dilarang masuk, kondisi Gunug Tangkubanparahu tidaklah perlu dikhawatirkan. Gempa yang tercatat pada seismograf ditimbulkan oleh gerak-gerik uap dan kerongkongan gunung api. Gerakan ini bisa berakhir dengan letusan atau tidak. Bila tidak terjadi letusan kali ini, pada hakitaknya merupakan penundaan.

Kewaspadaan seyogianya ditingkatkan pula terhdap bahaya CO2 (mofet) dan gas belerang (solfatara) yang keduanya beracun. Karena adanya getaran, intensitas gas itu akan meningkat. Di Gunung Tangkubanparahu diketahui banyak lembah maut (death valley) yang sejauh ini sudah memakan korban.***

Sumber: Pikiran Rakyat