• rss

“Cara Bali” dari Karawang

arsip kula|Jumat, 21 September 2012|01.48
fb tweet g+
Cara Bali dari Karawang
KRISHNA AHADIYAT/PR
GAMELAN Ajeng
Crek,, crek,, crek,, gung,, gung,,. Suara kecrek bersahutan dengan kempul dan bende (gong kecil) terdengar sangat keras, menjadi penanda dimulainya pergelaran kesenian tradisional gamelan ajeng asal Kampung Bambu Duri, Ds. Karangpawitan, Kec. Karawang Barat, Kab Karawang.

Tidak beberapa lama, Bah Iying (92) memainkan bonang diikuti tarompet yang dimainkan Mbah Bawon (74) dan kendang oleh Iyat (62). Di tangan ketiganya, komposisi “Cara Bali’ dimainkan dan menarik perhatian penonton di Teater Terbuka Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, malam Minggu lalu.

Dominasi suara kecrek, kempul, bende, dan bonang sepanjang komposisi dimainkan menjadikan sejumlah meneer Belanda menamainya “Cara Bali” karena harmonisasi aksen dan tempo seperti gamelan bali. Namun, karena ingin membedakan antara gamelan ajeng dan gamelan bali, terkadang para tuan tanah dan pemilik perkebunan menambahkan tarompet pencak silat dan kendang. Hal tersebut dilakukan hingga kini oleh para pemain gamelan ajeng.

Komposisi “Cara Bali” sangat disukai karena pada komposisi ini terdapat banyak perpindahan lagu (melodi), hingga merupakan suatu rangkaian dari lagu-lagu (suite). Namun, komposisi gamelan ajeng lainnya juga memiliki nada serupa tetapi banyak bagian nada ataupun tempo yang relatif lamban, secara gradual menjadi cepat, hingga cepat sekali ketukannya, yang kemudian beralih lagi pada bagian lain dengan tempo lambat atau nonmetrik.

Selain memainkan komposisi “Cara Bali” permaian gamelan ajeng mengiringi lagu “Ranca”, “Gambangan”, dan “Ajeng”. Layaknya kesenian pelipur lara masyarakat di pedesaan, gamelan ajeng juga dipergunakan untuk mengiringi sejumlah tarian, diantaranya tarian ajeng dan tari soja.

“Dulu, pada masa kakek buyut kami, gamelan ajeng dipergunakan untuk kegiatan seusai panen ataupun hajatan lagunya juga mencapai 72 lagu. Akan tetapi, karena tidak diwariskan kepada anak cucu, lagu tersebut hilang bersama meninggalnya para pemain,” ujar Tarim Ican Putra, generasi keempat dari kesenian gamelan ajeng yang diperkirakan berkembang saat Islam yang dibawa Syeikh Hasanudin bin Yusuf Idofi,ulama besar dari Champa, yang terkenal dengan sebutan Syeikh Quro (abad 15) dan semakin berkembang saat bangsa Portugis berlabuh di Caravan (pelabuhan tepi sungai Citarum) pada 1512.

Di antara 72 komposisi lagu tersebut, hanya beberapa yang sering diminta untuk dimainkan para meneer Belanda, sehingga hanya beberapa komposisi yang terselamatkan. “Pernah diupayakan mencari Bah Jun asal Cileungsi (Bogor) yang punya catatan, tetapi begitu ditelusuri dan dicari ternyata sudah meninggal dan catatannya sudah hilang,: ujar Tarim yang mendapat warisan sejumlah gerakan tari dari (alm) Ican, ayahnya.

Selain komposisi “Cara Bali” yang terdengar seperti permainan gamelan bali, pada gamelan ajeng terdapat sejumlah hal menarik dan berbeda dengan gamelan sunda pada umumnya. Di antaranya bonang yang biasanya berjumlah 8 hingga 10, pada gamelan ajeng jumlahnya mencapai 14, demung yang biasanya hanya dua jumlahnya, di gamelan ajeng ada empat dan dimainkan tiga orang. Demikian pula hanya dengan kendang (gendang) yang dimainkan seorang pemain jumlahnya bisa mencapai lebih dari enam.

Fungsi kesenian ajeng dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, pada masa lalu sampai akhir perkembangannya dipergunakan sebagai pelengkap upacara penyambutan tamu terhormat, baik di lingkungan pemerintahan, lembaga kemasyarakatan, orang kaya, maupun masyarakat biasa. Selain itu, kesenian ajeng berfungsi pula sebagai pelengkap upacara pernikahan yaitu dipergunakan untuk mengarak pengantin (soja) pada siang hari dan hiburan pada malam harinya.

Pertunjukan ajeng dalam suatu pesta perayaan ( di Karawang) biasanya mulai malam hari, berlangsung sepanjang malam hingga hari berikutnya siang dan malam. Ajeng dimainkan selama acara selamatan berlangsung, tetapi dengan banyak istirahat dari waktu ke waktu.

Berdasarkan beberapa keterangan, kesenian ajeng dikembangkan di daerah Karawang oleh Bapak Jaisan, diteruskan oleh anaknya Bapak Sawilin atau lebih dikenal Bapak Eyong (group Ajeng Eyong), setelah Bapak Eyong meninggal, diteruskan oleh anaknya yaitu Bapak Sarkian diturunkan kepada anaknya yaitu Bapak Sarwat dan kemudian diteruskan oleh Bapak Raisan dan kini diteruskan Tarim.

Sumber: Retno HY/”Pikiran Rakyat”