Jenis, Model dan Penggunaan Pakaian Adat Kasumedangan

Postingan yang saya simpan di arsip kula tentang Jenis, Model dan Penggunaan Pakaian Adat Kasumedangan ini, masih berkaitan/diambil dari sumber yang sama dengan postingan sebelumnya (Motif dan Penggunaan Ragam Hias Kasumedangan). Dengan artikel yang singkat ini, mudah-mudahan bisa memberikan sedikit gambaran adat/budaya Sumedang. Sbb:

a. Jenis pakaian adat Kasumedangan terdiri dari :
1) Salontréng;

salontréng


2) Takwa;

takwa


3) Kebaya;

kebaya


4) Contoh Kain Motif Kasumedangan;

contoh kain motif kasumedangan


b. Model atau desain pakaian adat Kasumedangan :
1) Disesuaikan dengan kebiasaan dan kelaziman yang berlaku di tengah-tengah masyarakat Sumedang;
2) Memperhatikan faktor estetika;
3) Memperhatikan faktor pemaknaan berdasarkan nilai budaya Sunda.

c. Penggunaan pakaian adat Kasumedangan :
1) Digunakan dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan berdasarkan adat istiadat atau kebiasaan dan kelaziman yang berlaku di tengah-tengah masyarakat;
2) Digunakan dalam pelaksanaan tugas oleh aparatur Pemerintahan Daerah pada hari tertentu yang ditetapkan;

d. Penentuan dan pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan pakaian adat Kasumedangan, ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

Sumber: Lampiran III Peraturan Bupati Sumedang “Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS)”, 2009

Celempungan Jadi Simbol Perdamaian

BERAWAL dari kaulinan budak (permainan anak), terciptalah alat musik Sunda buhun bernama celempung. Kata celempung berasal dari bunyi air yang kejatuhan benda. Dahulu, anak-anak kecil suku Sunda di perkampungan senang bermain air. Mereka pun membuat lubang di tanah, lalu mengisinya dengan air. Ketika sebuah benda dijatuhkan ke dalam lubang itu, terdengar bunyi “celempung”. Suara itulah yang menginspirasi alat musik celempung.

Seiring dengan perkembangan zaman, masyarakat Sunda sengaja mengembangkan kaulinan budak tersebut dengan menciptakan alat musik pukul dari bambu yang bunyinya mirip suara air “celempung”. Dari sanalah, alat musik itu dinamakan celempung.

Sampai sekarang, alat musik Sunda buhun tersebut sudah memasyarakat di beberapa daerah Jawa Barat, termasuk Sumedang. Suaranya akrab di telinga para seniman dan budayawan Sunda. Celempung tersebut dari sepotong bambu ukuran sedang dengan panjang sekitar setengah meter.

Celempungan Jadi Simbol Perdamaian
ADANG JUKARDI/*PR*
BUDAYAWAN Sumedang dari Perkumpulan Insun dan Paguyuban Seni Budaya Conggeang, Edah Zubaedah, mengajak anaknya memainkan alat musik Sunda “buhun” celempung pada pameran “Festival Geusan Ulun di halaman Gedung Negara, Jalan Prabu Geusan Ulun, Sumedang
“Awalnya, celempung itu dibuat hanya satu, seperti halnya kentungan bambu. Nah, saya menciptakan tiga buah celempung yang disatukan. Cara memainkannya dipukul seperti gamelan. Ternyata lebih simpel memainkannya. Bahkan, suaranya pun bervariasi sehingga menimbulkan nada dan irama,” kata budayawan Sumedang dari “Perkumpulan Insun dan Paguyuban Seni Budaya Conggeang”, Edah Zubaedah, saat mengikuti pameran “Festival Prabu Geusan Ulun” di Halaman Gedung Negara Jalan Prabu Geusan Ulun.

Menurut dia, alat musik celempung biasa dimainkan orang Sunda dulu saat beristirahat dan melepas lelah setelah kerja keras di sawah, ladang atau kebun. Mereka memainkannya di saung rangon (gubuk bambu).

Oleh karena itu, celempung menjadi bagian dari kehidupan orang Sunda di perkampungan sejak lama. Celempung, biasa dimainkan berbarengan dengan alat musik Sunda buhun lainnya, seperti karinding, kendang suuk, dan goong buyung. Semua alat itu juga terbuat dari bambu. Selain itu, celempung juga bisa dikolaborasikan dengan alat-alat musik modern.

“Musik celempung yang dikolaborasikan dengan alat musik modern sempat ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta di acara ‘Indonesia Sejuta Bunyi”,” tutur Edah.

Celempung, menurut dia, tidak sebatas alat musik. Lebih dari itu, celempung mengandung simbol perdamaian dan media kekerabatan orang Sunda di wilayah Priangan, Jawa Barat.

Disebut simbol perdamaian karena suara celempung lembut dan nyaman di telinga. Namun, karena suara yang dihasilkan dari alat musik bambu sangat terbatas sehingga celempung harus dibantu sound system ketika dimainkan di atas panggung.

“Alat musik celempung ini tidak berisik, tidak memekakkan telinga, serta tidak menimbulkan suasana ingar-bingar, seperti alat musik modern lainnya. Oleh karena itu, permainan celempung tidak akan memancing keributan dan pertengkaran ketika dimainkan di atas panggung. Dengan demikian, celempung disebut alat musik simbol perdamaian.

Celempung dikenal sebagai media kekerabatan sesama orang Sunda lantaran beberapa masyarakat adat di Jawa Barat dan Banten sama-sama menggunakan celempung. Contohnya, masyarakat adat Ciptagelar di Kabupaten Sukabumi, warga Kampung Naga di Tasikmalaya, dan suku Baduy di Banten.

Kelestarian alam
Lebih jauh Edah menjelaskan, celempung merupakan warisan seni dan budaya para leluhur Sunda yang sudah memiliki sifat mencintai kelestarian alam dan lingkungan. Itu karena, celempung terbuat dari bambu sehingga warga pun menanam bambu. Tanaman bambu selain dimanfaatkan untuik alat musik berguna pula untuk menyerap air dan mencegah longsor. Oleh karena itu, celempung mengandung filosofi cinta lingkungan.

Tak ayal, kelompok yang dibentuk Edah mengusung prinsip Sunda, “Leuweung Kaian, Gawir Awian, Lebak Caian”. “Bambu menjadi bagian dari budaya Sunda”, ucapnya.

Guna mengembangkan alat musik Sunda buhun, khususnya celempung, Edah sangat berharap Pemerintah Sumedang membuat Peraturan Daerah Sumedang Puseur Budaya Sunda (SPBS). Melalui perda tersebut, ada upaya menginventarisasi sekaligus mengambangkan berbagai kesenian dan budaya Sunda, salah satunya alat musik Sunda buhun.

“Sangat disayangkan, dari 80 alat musik Sunda buhun, yang baru tercatat di lembaga dunia Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikan Bangsa Bangsa (UNESCO), baru angklung. Melalui Perda SPBS, kita juga berharap alat musik Sunda lain harus dipatenkan untuk menjaga Hak atas Kekayaan Intelektual urang Sunda,” tutur Edah.

Sumber : Adang Jukardi/*Pikiran Rakyat** Senin, 2 Desember 2013

Pesona Tari Angklung Bungko

“WARI layut… horseh!”. Teriakan di penghujung syair shalawat atau pantun diteriakan nayaga secara bersama-sama menandai perubahan gerak tari. Sebenarnya tidak ada arti khusus untuk teriakan yang juga dilakukan dalam beberapa kesenian tradisional pantai utara (pantura) Cirebon maupun Indramayu. Namun penonton yang sebagian besar mahasiswa dan mahasiswi sejumlah perguruan tinggi jurusan seni tari maupun karawitan (musik), berupaya mencari tahu, apa arti dan makna dari teriakan tersebut.

Bahkan hingga pergelaran kesenian tradisional Angklung Bungko di Teater Terbuka Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat (Dago Tea House), Sabtu (5/10/2013) berakhir. Beberapa diantaranya langsung menghampiri para nayaga untuk bertanya semua hal tentang kesenian tradisional Angkulng Bungko yang diperkirakan sudah berusia 100 tahun lebih.

Rasa penasaran ratusan penonton yang memadati sebagian tempat duduk Teater Terbuka Dago Tea House akan kesenian Angklung Bungko, sebenarnya bukan terletak pada, shalawat nabi atau syair yang dikumandangkan. Tetapi lebih kepada gerak tarian yang dibawakan enam pria bertelanjang dada mengenakan kacamata hitam, yang memiliki daya magis penuh pesona.

Adapun magis, bila dilihat sepintas dari gerakan tarian yang dibawakan terasa sangat monoton dan mengundang kebosanan. Keenam pria hanya melakukan gerakan salah satu tangan di lipat di dada atau di punggung dan satunya lagi direntangkan. Sesekali gerakan yang dilakukan berulang-ulang dengan posisi badan turun, juga diikuti dengan kaki yang dijungkit-jungkit atau digeser.

Pesona Tari Angklung Bungko
RETNO HY/*PR*
“Ini memang terlihat sangat membosankan, tapi coba perhatikan dengan seksama, gerakan-gerakan tersebut dilakukan secara bergantian dengan menahan dan ngatur napas hingga perut para penari terlihat kencang dan keringat deras bercucuran,” ujar Ki Sukarminto Hongkong, salah seorang sesepuh dan seniman Dusun Bungko, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, menerangkan.

Tarian Bungko yang terdiri atas enam tarian dipentaskan sekaligus tanpa jeda, diiringi musik angklung bungko sebagai alat musik inti ditambah kendang, gong, kitir, tutukan, dan kecrek. Gerakan tarian seperti gerakan jurus ilmu bela diri yang dilakukan secara perlahan, bahkan cenderung banyak diam menggambarkan pasukan Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut) Kerajaan Cirebon, Ki Gede Bungko saat mengislamkan Ki Gede Petak Perlaya.

“Ada banyak generasi muda yang ingin menekuni kesenian Bungko ini, tapi baru tahap awal melaksanakan latihan di atas pasir atau lumpur saja sudah tidak kuat. Apalagi memasuki tahap selanjutnya mengatur atau menahan napas dan konsentrasi menenangkan pikiran, tidak banyak yang berhasil bahkan banyak yang gagal dan tubuh sulit digerakan,” terang Ki Hongkong.

Dari waktu ke waktu kesenian tradisional Angklung Bungko yang selalu ditampilkan dalam setiap upacara tradisional, semisal Hajat lembur, Bersih lembur dan lainnya, semakin sulit mencari penari pengganti. Karenanya melalui Program Revitalisasi Seni Tradisional Balai Pengelolaan Taman Budya Jawa Barat memasukkannya kesenian Angklung Bungko untuk direvitalisasi, dan Sabtu (5/10/2013) malam dipergelarkan dengan berbagai pertanyaan yang masih belum terjawab serta semakin mengundang rasa penasaran.

Sumber: Retno HY/*Pikiran Rakyat**, Senin 7 Oktober 2013

Leuit di lembur Kuring

Leuit di lembur Kuring
Leuit di lembur KuringLeuit di lembur KuringLeuit di lembur Kuring