• rss

Kisah Sang Lambang Negara | Burung Garuda

arsip kula|Kamis, 06 September 2012|00.21
fb tweet g+
garuda
Aku adalah Garuda, burung milik Wisnu yang membentangkan sayapnya menjulang tinggi di atas kepulauanmu.”

Bait sajak karya Raden Mas Noto Soeroto dalam buku Wayang-liederen yang dikutip oleh Presiden Soekarno ketika diminta memberikan nama untuk maskapai penerbangan Indonesia. Hampir seluruh warga Negara Indonesia mengenal garuda sebagai lambang resmi Negara Indonesia yang berisikan prinsip Negara, Pancasila dan motonya Bhinneka Tunggal Ika.

Menelusuri asal muasal istilah garuda di Indoenesia akan membawa kita pada sekitar abad pertama Masehi, ketika pelaut dan pedagang dari India Selatan mendarat di kepulauan Nusantara. Semenjak itu, pertukaran hasil bumi dan barang-barang mulai dilaksanakan. Asimilasi kebudayaan juga mulai terjadi, termasuk kesusastraan di dalamnya.

Dalam bidang kesusastraan, terdapat kisah-kisah dulu (purana) dengan kisah garuda di dalamnya. Lambat laun, masyarakat setempat membuat sendiri kisah garuda dalam bahasa turunan, Sanskerta yakni bahasa Kawi. Kisah itu dituangkan dalam teks kesusastraan awal, yakni kitab Adiparwa yang ditulis sekitar abad ke-10 Masehi.

Dalam kisah Adiparwa, garuda digambarkan bertubuh emas, berwajah putih, bersayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang, tetapi tubuhnya seperti manusia. Ukurannya besar sehingga dapat menghalangi matahari.

Menururt mitologi Hindu, garuda merupakan wahana Dewa Wisnu, salah satu Trimurti atau manifestasi bentuk Tuhan dalam agama Hindu, sinar garuda sangat terang sehingga para dewa mengiranya Agni (Dewa Api) dan memujanya. Garuda sering dilukiskan memiliki kepala, sayap, ekor, dan moncong burung elang, tetapi tubuh, tangan, dan kaki manusia. Mukanya putih, sayapnya merah, dan tubuhnya berwarna keemasan.

Dalam kitab Mahabharata dijelaskan bahwa garuda adalah keturunan dari Bangawan Kasyapa dan sang Winata. Ketika garuda lahir (menetas), ia mendapatkan ibunya, sang Winata, diperbudak Sang Kardu. Garuda harus mampu membawa Tirta Amerta ke hadapan Sang Kardu dan para naga untuk membebaskan ibunya.

Dalam mitologi Buddha, tokoh garuda merupakan salah satu dari delapan golongan makhluk-makhluk naga langit, yaitu makhlul-makhluk hidup yang tidak tampak dengan mata biasa. Makhluk-makhluk itu bertugas untuk menjaga Buddha Dharma, atau agama Buddha, beserta para Buddha dan pemeluk-pemeluk agama Buddha. Garuda digambarkan memiliki bulu sayap yang dijalin dari intan dan berlian sehingga garuda itu juga dinamai “Burung yang sayap-sayapnya berwarna kuning keemasan, atau burung yang bersayap sangan menakjubkan”. Garuda juga digambarkan memiliki badan yang luar biasa besarnya.

Pada masa kedatangan Islam di Indonesia, garuda telah sampai pada akhir perjalanan, telah jauh dari keasliannya. Mulanya dia sebagai manifestasi Tuhan dan alat kepercayaan. Namun, ketika Islam datang, lambat laun garuda kehilangan kualitas ketuhanannya dan hanya menyisakan fungsi sakralnya sebagai pelindung dan kuatan.

Lambang Negara
Perjalanan garuda di Indonesia mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masa, kemudian garuda mencapai puncaknya ketika dijadikan lambang resmi Negara Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1958. dalam pembuatan lambang resmi Negara ini, ada beberapa pihak yang berjasa di antaranya Panitia Lencana Negera, yang dibentuk 10 Januari 1950 di bawah koordinasi Sultan Hamid II. Saat itu, susunan panitia teknisnya adalah Mohammad Yamin sebagai ketua panitia yang beranggotakan Ki Hajar Dewantara, MA Pellaupessy, M. Natsir, dan RM Ng Poerbatjaraka. Panitia ini bertugas untuk menyeleksi usulan rancangan lambang Negara yang diadakan melalui sayembara. Gambar pelukis Basuki Resobowo kemudian terpilih sebagai pemenang.

Sebagai lambang Negara, garuda bukan lagi sebagai figur antropomorfisme dari sebuah karakter mitos. Garuda menajdi benar-benar nyata sebagai seekor burung elang yang perkasa seperti halnya Negara Amerika serikat yang menjadikan seekor elang sebagai lambang negaranya. Maka, dalam rapat Panitia Lencana Negara, garuda secara resmi diganti dengan bentuk Elang Jawa yang dianggap burung khas Indonesia.

Presiden Soekarno kemudian meminta bantuan D Ruhr Jr dan pelukis Istana, Doellah, untuk menggambarkan kembali lambang tersebut sehingga bentuknya seperti yang kita ketahui sampai sekarang.

Sumber: Zaini Rakhman/pemerhati elang, penulis buku “Garuda, Mitos dan Faktanya di Indonesia”/Pikiran rakyat**