• rss

Berbalas Parikan Sejak Lamaran (Pernikahan Adat Cirebon-Indramayu)

arsip kula|Kamis, 20 September 2012|00.30
fb tweet g+
Prosesi panjang dalam pernikahan, bagi masyarakat pantai utara Cirebon-Indramayu, penuh dengan sastra lisan. Mulai dari lamaran hingga selamatan pernikahan, sastra lisan – semacam pribahasa, parikan, dan wangsalan – ikut menjadi bumbu penyedap. Sastra lisan menjadi tata krama yang dianggap memiliki budi pekerti (etika) dan keindahan berbahasa (estetika). Di situ, terdapat nilai keagungan sekaligus keakraban, terdapat pula nilai kewibawaan sekaligus guyonan.

Bahkan, bagi para perempuan, saat menginjak usia gadis pun, nasihat berupa pribahasa, sudah banyak dilontarkan orang tua, seperti “Aja ndodok ning lawang, kane ane wong nari balik maning (Jangan duduk di tengah pintu, nanti kalau ada orang melamar, bisa balik lagi)”. Dalam memilih calon, hendaknya melihat bibit, bebet, bobot (keturunan, watak, mutu). Akan tetapi dalam memilih juga jangan terlalu selektif, jangan terlalu banyak pertimbangan karena – bisa-bisa – palang-pilih boleng (terlalu selektif memilih, tetapi yang terpilih justru yang jelek).

Prosesi panjang menuju pernikahan biasanya dimulai dari lamaran. Di beberapa desa, hingga kini, sastra lisan masih digunakan untuk menyampaikan maksud dan jawaban dari lamaran. Pihak keluarga perempuan biasanya akan bertanya kepada tamunya dengan wangsalan seperti. “Janur gunung wohe ning aren”. Maksudnya adalah kadingaren (tumben) dating ke sini. Pihak keluarga laki-laki, sebagai tamu yang bertandang ke rumah keluarga perempuan akan menjawab dengan kalimat wangsala seperti ini, “Pring apus tinejet miring”. Secara makna, mengandung arti keutus (terutus, utusan) untuk melamar.

Tanya-jawab, sahut-menyahut, bahkan humor senantiasa mengiringi. Misalnya, karena sudah diutus untuk menuju rumah perempuan,biarpun jauh, tetap griya alit pesolatan, yang artinya tek jujug (saya dating). Hal itu juga berkaitan dengan si lelaki yang mersa sudah kayu malang seneba margi atau krentege ning ati (berdesir dalam Hati) akan kecocokan. Oleh karena itu, utusan tersebut meminta kepada si perempuan supaya dengdeng gedang yang diartikan waleh (jawaban) saja lamaran tersebut.

Secara psikologis, biasanya perempuan tidak bisa secara lugas menjawab. Oleh karena itu, utusan akan mengulang dengan kalimat, “Udud cendek pambuangan”, maksudnya teges (tegas) saja dengan jawaban. Akhirnya, prempuan pun malu-malu menjawab melalui mulut orang lain, “Klabang bunder seneba pager”, atau mangga (silahkan). Keluarga perempuan pun meneruskan dengan, “Gagak abang lurik guleune” atau ulungaken (kami serahkan) anak kami kepada keluaraga laki-laki.

Prosesi lamaran pun agaknya sudah mencapai sasaran. Tak pelak, penentuan tanggal pernikahan segera dilakukan dengan prinsip seperti parikan, “Aja kakehan randang-runding, waktu kari sending (Jangan terlalu banyak berunding sebab waktu tinggal sedikit)”. Biasanya, wantu yang banyak dicari adalah seusai paenn padi sebaba biaya dan waktu akan mudah tersedia.

Kesepakatan tersebut diakhiri dengan tetali (pengikat) berupa uang atau barang tertentu. Ikatan inilah yang kemudian menuju proses berikutnya, yakni pernikahan. Ada juga yang berupa srasrahan lebih lengkap. Bagi masyarakat pantura Cirebon-Indramayu, tampaknya kekentalan adat keraton tidak begitu melekat sehingga tak tampak adanya prosesi semacam midodareni atapun perempuan yang dipingit menjelang hari pernikahan.

Hajat pernikahan sering dihangatkan acara hiburan berupa tarling atau tontonan lainya. Namun, lebih banyak yang memilih tanpa hiburan. Selama hari-hari menuju hari pernikahan, calon pengantin biasanya banyak mendapat wejangan dari orang tua ataupun sesepuh dengan kekhasan sastra lisan, seperti wangsalan “Duren dawa, geledug muni ketiga (ari wis dadi laki minangka dadi guru kula)”, maksudanya bahwa meski bukan berasal dari sanak-saudara, ketika sudah menjadi suami dianggap sebagai “guru” bagi seorang istri.

Perihal kehidupan bermasyarakat, nasihat berupa pribasa seperti ini, “Dikethok dlawa, disambung cindhek (dipototng menjadi panjang disambung menjadi pendek)”. Artinya, jika sering bersedekah (harta dipotong) justru rezeki akan mengalir (menjadi panjang). Akan tetapi, jika pelit (harta tidak dipotong), justru akan sebaliknya (pendek). Nasihat lain seperti, “Tan ucul tali wandha (Jangan lepas dari adat, aturan, dan agama).

Selamatan pernikahan yang dihadiri teman dan handai tolan tampaknya bukan lagi ajang silaturahmi antar keluarga sekaligus “pengumuman” menikahnya dua insan manusia. Adat perkawinan menjadi rangkaian sistem kapitalisme, dengan adanya sistem buwungan (arisan). Undangnan hasurs memabwa “a,mplop” dan identitas “amplop” itu akan ditulis dalam buku besar. Kelak, besaran di dalam “amplop” itu wajib dikembalikan ketika di pemberi menikah(kan). Di desa-desa tertentu di Indramayu, “amplop” itu bukan sekadar uang Rp 20.000 atau Rp 100.000 melainkan sudah berwujud beras atau padi dalam jumlah berton-ton.

“Amplop” pada ritus hajatan adalah mitos baru yang kemudian takut untuk dihindari meskipun tak logis. Seakan-akan memasuki post-mod-ernism yang kembali abai terhadap mitos dan metafisika yang selama zaman modern selalu dihindari. Hajatan juga menjadi ajang mendapatkan modal (capital) yang kelak hasil dari buwuhan itu bisa untuk membayar biaya hajatan, hiburan, serta modal untuk usaha membeli sawah atau perahu. Tragisnya, tak semua orang bisa mengelola modal ini. Ketika musim hajatan tiba, dia benar-benar repot untuk membayar utang buwuhan.

Agaknya, pengantin pun tak peduli, seperti kata Abdul Adjib di dalam salah satu lagunya, Penganten baru, pda setuju/pengaten baru, turu sampe seminggu…

Sumber: Supali Kasim, penulis, pemerhati budaya Pantura/*Pikiran Rakyat**