• rss

Elang Jawa, Burung Terlangka di Dunia

arsip kula|Minggu, 09 September 2012|00.46
fb tweet g+
Elang Jawa, Burung Terlangka di Dunia
Foto; DAUS ANDRIAN
Penelitian secara ilmiah elang jawa mulai dilakukan sekitar tahun 1820-an oleh Johan Coenraad van Haesselt dan Henrich Kuhl. Pada tahun 1855-1860, Heinrich A Bernstein meneruskan penelitian itu dan kemudian dilanjutkan Ernst Prillwitz pada 1889. namun baru diketahui kemudian bahwa ternyata spesimen yang mereka teliti ternyata adalah elang brontok (Spizaetus cirrhatus limnatus) bukan elang jawa.

Pada 30 April 1907, Max Edward Gottlieb Bartels, seorang pencinta satwa yang bekerja di perkebunan Sukabumi memperoleh seekor elang berjambul yang di tangkap oleh penduduk di perkebunan Gunung Melati (Cikondang), Jawa Barat. Elang tersebut kemudian diawetkan dan dibawa ke Jerman untuk diidentifikasi. Ternyata, bururng elang tersebut diketahui merupakan suatu jenis sendiri yang lain dari elang brontok, tetapi lebih mirip dengan jenis elang yang ada di Sri Langka.

Usaha mengidentifikasi elang tersebut kemudian dilanjutkan pada tahun 1924 oleh Prof Dr Ernst stresemann, seorang pakar burung dari Jerman. Ernst kemudian mempublikasikan jenis ini sebagai jenis baru. Sebagai perhormatan kepada Max Gottlieb yang dianggap pertama kali menemukan jenis ini, elang jawa diberi nama ilmiah Spizaetus nipalensis bartelsi.

Pada 1953, hasil penelitian dan publikasi yang dilakukan oleh Dean Amadon menyebutkan bahwa jenis ini salah jenis berbeda. Semenjak itulah, elang jawa diberi nama ilmiah Spizaetus bartelsi. Seiring dengan perkembagnan ilmu pengetahuan, terutama ilmu taksonomi hewan, penamaan ilmiah jenis ini menjadi Nisasetus bartelsi.

Sejak penemuannya pada tahun 1907, belum ada penelitian lebih lanjut dan intensif mengenai jenis ini di Indonesia. Catatan histories terakhir dari keluarga Bartels adalah pada tahun 1975 oleh Hans Bartels, putra bungsu dari MEG Bartels di Meru Betiri, Jawa Timur. Sampai tahun 1980-an, para peneliti memperkirakan bahwa jenis ini merupakan burung pemangsa yang paling langka di dunia.

Bahan penelitian
Penelitian elang jawa lebih intensif dilakukan sejak awal tahun 1990-an walaupun dilakukan perseorangan dan terbatas pada lokasi-lokasi tertentu saja. Tercatat beberapa peneliti yang melakukan kegiatan di awal tahun tersebut di antaranya Sabastian van Balen, Resit Sözer, dan Vincent Nijman. Toru Yamazaki dari Jepang dan timnya kemudian melakukan penelitian untuk komparasi antara elang jawa dengan jenis Spizaetus yang ada di Jepang. Peneliti lain, Nils Rov dan Jan Ove Gjersahugh, juga kemudian melakukan studi ekologi elang jawa ini di Gunung Salak.

Data dan informasi dari penelitian sebelumnya menjadi bahan dari pembuatan rencana pemulihan elang jawa pada tahun 1997. pada tahun itu pula, dibentuk Kelompok Kerja Pelestarian Elang Jawa (KKEJ) yang terdiri atas beberapa lembaga dan perseorangan yang peduli akan keberadaan dan kelestarian elang jawa,. KKEJ melakukan kegiatan-kegiatan dalam upaya penelitian dan konservasi jenis ini. Kelompok ini pula yang menjadi cikal bakal terbentuknya jaringan yang lebih luas lagi dalam upaya penelitian dan konservasi raptor (burung pemangsa) di Indonesia yaitu Raptor Indonesia (Rain) yang diinisasi pada 2011.

Sejak itu dan sampai sekarang, aspek penelitian menganai elang jawa terus berkembang dan dilakukan hampir di seluruh Pulau jawa. Berbagai macam kajian dilakukan, mulai dari aspek biokologi, konservasi (meliputi kerusakan habitat), perburuan dan perdagangan, serta kajian beruapa upaya pelibatan masyarakat dalam pelestarian burung ini.

Semakin Jarang
Elang jawa adalah jenis burung endemik, artinya jenis ini hidup dan berkembang hanya di Pulau Jawa. Dalam beberapa tahun terakhir, daerah sebarannya sudah terfragmentasi sehingga saat ini diperkirakan hanya tersisa kira-kira 10 persen dari luas sebaran sebelumnya. Elang jawa hidup di habitat hutan hujan tropis mulai dari ketinggian 0 meter sampai dengan 3.000 meter di atas permukaan laut (dpl). Meskipun demikian, keberadaannya lebih terkonsentrasi pada ketinggian 500 meter samapi 2.000 meter dpl.

Bila rentang ketinggian tempat dikelompokkan per 500 meter, catatan pertemuan paling sering pada ketinggian antara 500-1.000 meter dpl. Hal ini berkaitan dengan sedikitnya hutan dataran rendah yang tersisa. Kondisi ini sangatlah riskan untuk kelangsungan hidup dan perkembangan elang jawa karena keberadaan pakan/mangsanya di dataran tinggi sangat terbatas.

Keberhasilan perkembangbiakan elang jawa sangat dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Keberadaan mangsa atau pakan untuk mencukupi kebutuhan pasangan dan anaknya selama masa perkembangbiakan adalah faktor utama. Selama musim berbiak, pasangan elang jawa tidak selalu berhasil berkembang biak. Tak jarang, mereka harus mengulang kembali pada musim berbiak berikutnya. Padahal, elang jawa dewasa akan mulai bereproduksi pada usia 3-4 tahun dan elang jawa betina hanya bertelur sebutir dalam kurun waktu 2-3 tahun.

Di sisi lain, tingkat ancaman terhadap elang jawa cukup tinggi. Data lapangan mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu antara 2004-210 (lima tahun) sebanyak 110 pasang elang jawa (220 ekor) menghilang atau diambil dari alam. Ini artinya, sebanyak 22 pasang (44 ekor) hilang setiap tahunya. Jumlah itu tidak berbanding dengan laju perkembangbiakan elang jawa di alam. Sebuah ironi yang sangat nyata terhadap satwa yang dijadikan lambang Negara ini.

Sumber: Zaini Rakhman/pemerhati elang, penulis buku “Garuda, Mitos dan Faktanya di Indonesia”/*Pikiran rakyat**