(Oleh: H.USEP ROMLI. H.M., Pikiran Rakyat)
SUATU hari, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendapat hidangan makan yang berbeda dari biasanya. Di meja makan, terdapat sepotong roti yang masih hangat, harum, dan membangkitkan nafsu makan. “Dari mana roti ini?” tanya Khalifah kepada istrinya. “Buatan saya sendiri. tidak lain untuk menyenangkan hati Anda yang setiap hari sibuk mengurus umat,” jawab sang istri.
“Berapa kau habiskan uang untuk membeli terigu dan bumbu-bumbunya?” Sang istri menjawab pertanyaan tetapi menyimpan perasaan heran, “Hanya tiga setengah dirham”.
Khalifah bertanya lagi, “Aku perlu tahu asal usul benda yang akan masuk ke dalam perutku agar aku dapat mempertanggungjawabkan ke hadirat Allah swt. Nah, uang setengah dirham itu dari mana?”
“Setiap hari saya menyisihkan setengah dirham dari uang belanja yang Anda berikan, wahai Amiiru-lmu’miniin, sehingga dalam seminggu, terkumpul tiga setengah dirham. Cukup untuk membeli bahan-bahan roti yang halaalan thayyiban,” kata istri Khalifah menjelaskan.
“Baiklah kalau begitu. Saya percaya, asal usul roti ini halal dan bersih. Namun, saya berpendapat lain. Ternyata, biaya kebutuhan hidup kita sehari-hari perlu dikurangi setengah dirham agar kita tidak kelebihan uang yang membuat kita mampu memakan roti atas tanggungan umat,” jawab Umar bin Abdul Aziz. “Saya juga akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi”.
Hari itu juga, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan instruksi kepada bendahara Baitu-lmal untuk mengurangi belanja hariannya sebanyak setengah dirham.***(dinukil dari “Abqariyah Umar bin Abdul Aziz” karya Dr Mustafa Mahmud)
SUATU hari, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendapat hidangan makan yang berbeda dari biasanya. Di meja makan, terdapat sepotong roti yang masih hangat, harum, dan membangkitkan nafsu makan. “Dari mana roti ini?” tanya Khalifah kepada istrinya. “Buatan saya sendiri. tidak lain untuk menyenangkan hati Anda yang setiap hari sibuk mengurus umat,” jawab sang istri.
“Berapa kau habiskan uang untuk membeli terigu dan bumbu-bumbunya?” Sang istri menjawab pertanyaan tetapi menyimpan perasaan heran, “Hanya tiga setengah dirham”.
Khalifah bertanya lagi, “Aku perlu tahu asal usul benda yang akan masuk ke dalam perutku agar aku dapat mempertanggungjawabkan ke hadirat Allah swt. Nah, uang setengah dirham itu dari mana?”
“Setiap hari saya menyisihkan setengah dirham dari uang belanja yang Anda berikan, wahai Amiiru-lmu’miniin, sehingga dalam seminggu, terkumpul tiga setengah dirham. Cukup untuk membeli bahan-bahan roti yang halaalan thayyiban,” kata istri Khalifah menjelaskan.
“Baiklah kalau begitu. Saya percaya, asal usul roti ini halal dan bersih. Namun, saya berpendapat lain. Ternyata, biaya kebutuhan hidup kita sehari-hari perlu dikurangi setengah dirham agar kita tidak kelebihan uang yang membuat kita mampu memakan roti atas tanggungan umat,” jawab Umar bin Abdul Aziz. “Saya juga akan berusaha mengganti harga roti ini agar hati dan perut saya tenang dari gangguan perasaan karena telah memakan harta umat demi kepentingan pribadi”.
Hari itu juga, Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengeluarkan instruksi kepada bendahara Baitu-lmal untuk mengurangi belanja hariannya sebanyak setengah dirham.***(dinukil dari “Abqariyah Umar bin Abdul Aziz” karya Dr Mustafa Mahmud)