Pencak silat bukan sekedar olah raga atau ilmu bela diri. Budaya asli Indonesia ini juga punya dua aspek lain, yang terkadang dilupakan orang, yaitu aspek mentalitas spiritual dan seni tradisional. Jika pencak silat dipandang secara utuh, maka tidak berlebihan rasanya jika tokoh-tokoh silat nusantara mengklaim bahwa sesungguhnya bangsa kita sejak dulu sudah memiliki modal untuk menjadi bangsa yang maju.
Silat diperkirakan sudah menyebar di kepulauan nusantara sejak abad ke-7 Masehi, yang diakui sebagai budaya suku Melayu. Penduduk di Pulau Sumatra. Semenanjung Malaka, serta barbagai kelompok etnik yang menggunakan bahasa Melayu di Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi mengembangkan silat dengan gaya sendiri.
Masyarakat Minangkabau mengenal Silat Bungo, Silat Kumango, Silat Sitaralak, Silat Pauah, Silat Lintau, dan Silat Buayo. Di Betawi terdapat Silat Cingkrik, Silat Silau Macan, Silat Sabeni, Silat Tiga Berantai, dan Silat Gerak Saka. Sementara di Jawa Barat yang juga dikenal sebagai “indung” aliran silat di Indoensia, terdapat tiga aliran silat besar, yaitu Cimande, Cikalong, dan Syahbandar atau sahbandar atau Sabandar.
Aliran Cimande diciptakan oleh Mbah Khair pada akhir 1700-an, berpusat di Kampung Tarikolot, Desa Cimande, Kabupaten Bogor. Pada tahun 1800-an, Rd. H Ibrahim mengembangkan aliran Cikalong, setelah berguru kepada tujuh belas guru, termasuk diantaranya Rd. Ateng Alimudin, H. Ma’ruf dan Bang Madi dari Tanah Abang, serta Bang Kari. Pada abad yang sama, Muhammad Kosim yang merantau dari Pulau Sumatra ke kampung Sahbandar-Cianjur juga menyebarkan aliran Sahbandar
Cimande merupakan salah satu aliran pencak silat tertua di Indoensia. Sementara Cikalong dan Sahbandar pun sudah mendapatkan termpat di kalangan para pesilat. Aliran-aliran silat tersebut bahkan disebut-sebut dikembangkan di luar Jawa Barat, seperti Bangkalan Madura, Palembang, dan Sumantra Barat. Dengan kamta lain, Jawa Barat menempati posisi yang penting dalam hal perkembagnan pencak silat.
Dewan Pendekar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jawa Barat, H. Masri Atmadja menjelasakan bahwa pada awal kemunculannya, tidak semua orang bisa mempelajari pencak silat. Hanya orang-orang terpilih yang biasanya berasal dari kaum bangsawan atau menak, serta memiliki ilmu agama yang tinggi yang bisa belajar silat. Itulah sebabnya, silat sangat identik dengan nilai-nilai agama Islam. Sejarah juga mencatat bahwa dahulu latihan silat tidak pernah dilakukan secara terbuka dan pada siang hari. Para pesilat memilih berlatih malam hari setelah salat Isya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Menurut Masri, itu karena saat penjajahan Belanda, pencak silat dilarang. Penjajah khawatir penguasaan bela diri serta nilai-nilai kepemimpinan dan keberanian yang tertanam dalam pencak silat akan digunakan untuk melawan mereka.
Perjalanan perkembangan silat di Indonesia kemudian melahirkan istilah jawara atau pendekar. Penulis Menapaki Jejak Sang Jawara: Entitas Masyarakat Banten dan Jawa Bagian Barat, Gusman “Jali” Natawidjaja menyebutkan bahwa penamaan sosok jawara di Banten muncul sejak abad ke-19. namun seiring berjalannya waktu, persepsi masyarakat terhadap jawara memiliki pemahaman baragam, dari mulai yang positif, hingga negatif.
Di Jawa Barat, pencak silat sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat. Menururt pendiri Lembaga Pewarisan Pencak Silat (Garis Paksi) Gending Raspuzi, dahulu pencak silat merupakan hal yang wajib dipelajari anak lali-laki. Di Kab. Cianjur, laki-laki yang tidak bisa silat dianggap ketinggalan zaman atau euweuh kahayang (tidak punya cita-cita). Orang tua pada saat itu menganggap anak-anaknya perlu mempelajari silat, karena memahami empat aspek yang dimiliki pencak silat, yaitu mentalitas spiritual, seni, bela diri, dan olahraga. Keempat aspek itu sangat penting untuk menghasilkan generasi unggul, dengan segala elemen penunjangnya.
“Mungkin kondisi zaman dulu yang tidak seperti sekarang, memang membuat orang-orang membutuhkan silat sebagai ilmu bela diri,” katanya.
Bukti lain bahwa sisi mentalitas spritualitas pencak silat sangat kuat adalah, ritual pengambilan “talek” atau sumpah/janji yang selalu dilakukan oleh setiap perguruan sebelum seseorang diterima sebagai murid.
Talek ini pada umumnya merupakan sumpah/janji calon-calon murid untuk tidak menyalahgunakan ilmun silat yang akan dipelajarinya, dengan membangun mentalitas spiritual yang kokoh. Seperti bersumpah akan bertakwa kepada Tuhan, taat kepada orang tua, serta setia kepada Negara. Ini bukti bahwa selain olah fisik lewat jurus, seorang pesilat juga harus hidup sebagai orang baik.
Sekretaris Umum IPSI Jabar Prijatna Danusubrata mengakui, pada praktiknya ada orang yang memperdalam silat dengan dibumbui oleh kegiatan nonfisik. Padahal sebenarnya, tingkatan “spiritual” merupakan pembinaan puncak serta sasaran akhir untuk menjawab mengapa seseorang mendalami pencak silat. Lalu dengan tingginya penalaran para sesepuh dan tokoh sialt, pencak silat pun mulai dibungkus oleh aspek seni. Beberapa generasi kemudian, muncullah pencak silat sebagai seni tradisional yang hadir dalam berbagai upacara adat.
Membicarakan pencak silat di tatar Sunda tidak terelepas dari corak usik dan musik yang berwarna-warni. Dan musik yang paling menonjol di samping terbang/rudat, bedug, dan patingtung, adalah kendang penca. Kini, mengolah pencak silat sebagai olah seni menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jawa Barat dan Banten. Karenan dengan begitu, pencak silat benar-benar sudah mendarah daging setelah mencakup keempat aspek tersebut.
Pada perkembagan selanjutnya, pencak silat diajarkan secara terbuka kepada siapa pun yang tertarik untuk mempelajarinya, termasuk orang-orang asing dari Negara lain. Saat ini, dunia persilatan bahkan mengenal perguruan modern dan perguruan tradisional. Masing-masing memiliki cara dan sistem tersendiri dalam mengajarkan jurus-jurus silat, termasuk mewariskan nilai-nilai kebaikan melalui tradisi lisan dari guru ke murid. Bahkan ada pesilat yang membuat program latihan silat jarak jauh secara online, khusus untuk murid-murid dari Negara lain.
Ajaran silat secara umum memang bersifat universal. Melihat kenyataan itu, pencak silat sangat relevan untuk kehidupan saat ini, baik sebagai pembangun mentalitas spiritual, ilmu bela diri, sebagai seni, mampun sebagai olahraga.
Sumber: Lia Marlia/*Pikiran Rakyat**
Silat diperkirakan sudah menyebar di kepulauan nusantara sejak abad ke-7 Masehi, yang diakui sebagai budaya suku Melayu. Penduduk di Pulau Sumatra. Semenanjung Malaka, serta barbagai kelompok etnik yang menggunakan bahasa Melayu di Pulau Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi mengembangkan silat dengan gaya sendiri.
Masyarakat Minangkabau mengenal Silat Bungo, Silat Kumango, Silat Sitaralak, Silat Pauah, Silat Lintau, dan Silat Buayo. Di Betawi terdapat Silat Cingkrik, Silat Silau Macan, Silat Sabeni, Silat Tiga Berantai, dan Silat Gerak Saka. Sementara di Jawa Barat yang juga dikenal sebagai “indung” aliran silat di Indoensia, terdapat tiga aliran silat besar, yaitu Cimande, Cikalong, dan Syahbandar atau sahbandar atau Sabandar.
Aliran Cimande diciptakan oleh Mbah Khair pada akhir 1700-an, berpusat di Kampung Tarikolot, Desa Cimande, Kabupaten Bogor. Pada tahun 1800-an, Rd. H Ibrahim mengembangkan aliran Cikalong, setelah berguru kepada tujuh belas guru, termasuk diantaranya Rd. Ateng Alimudin, H. Ma’ruf dan Bang Madi dari Tanah Abang, serta Bang Kari. Pada abad yang sama, Muhammad Kosim yang merantau dari Pulau Sumatra ke kampung Sahbandar-Cianjur juga menyebarkan aliran Sahbandar
Cimande merupakan salah satu aliran pencak silat tertua di Indoensia. Sementara Cikalong dan Sahbandar pun sudah mendapatkan termpat di kalangan para pesilat. Aliran-aliran silat tersebut bahkan disebut-sebut dikembangkan di luar Jawa Barat, seperti Bangkalan Madura, Palembang, dan Sumantra Barat. Dengan kamta lain, Jawa Barat menempati posisi yang penting dalam hal perkembagnan pencak silat.
Dewan Pendekar Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Jawa Barat, H. Masri Atmadja menjelasakan bahwa pada awal kemunculannya, tidak semua orang bisa mempelajari pencak silat. Hanya orang-orang terpilih yang biasanya berasal dari kaum bangsawan atau menak, serta memiliki ilmu agama yang tinggi yang bisa belajar silat. Itulah sebabnya, silat sangat identik dengan nilai-nilai agama Islam. Sejarah juga mencatat bahwa dahulu latihan silat tidak pernah dilakukan secara terbuka dan pada siang hari. Para pesilat memilih berlatih malam hari setelah salat Isya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Menurut Masri, itu karena saat penjajahan Belanda, pencak silat dilarang. Penjajah khawatir penguasaan bela diri serta nilai-nilai kepemimpinan dan keberanian yang tertanam dalam pencak silat akan digunakan untuk melawan mereka.
Perjalanan perkembangan silat di Indonesia kemudian melahirkan istilah jawara atau pendekar. Penulis Menapaki Jejak Sang Jawara: Entitas Masyarakat Banten dan Jawa Bagian Barat, Gusman “Jali” Natawidjaja menyebutkan bahwa penamaan sosok jawara di Banten muncul sejak abad ke-19. namun seiring berjalannya waktu, persepsi masyarakat terhadap jawara memiliki pemahaman baragam, dari mulai yang positif, hingga negatif.
Di Jawa Barat, pencak silat sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat. Menururt pendiri Lembaga Pewarisan Pencak Silat (Garis Paksi) Gending Raspuzi, dahulu pencak silat merupakan hal yang wajib dipelajari anak lali-laki. Di Kab. Cianjur, laki-laki yang tidak bisa silat dianggap ketinggalan zaman atau euweuh kahayang (tidak punya cita-cita). Orang tua pada saat itu menganggap anak-anaknya perlu mempelajari silat, karena memahami empat aspek yang dimiliki pencak silat, yaitu mentalitas spiritual, seni, bela diri, dan olahraga. Keempat aspek itu sangat penting untuk menghasilkan generasi unggul, dengan segala elemen penunjangnya.
“Mungkin kondisi zaman dulu yang tidak seperti sekarang, memang membuat orang-orang membutuhkan silat sebagai ilmu bela diri,” katanya.
Bukti lain bahwa sisi mentalitas spritualitas pencak silat sangat kuat adalah, ritual pengambilan “talek” atau sumpah/janji yang selalu dilakukan oleh setiap perguruan sebelum seseorang diterima sebagai murid.
Talek ini pada umumnya merupakan sumpah/janji calon-calon murid untuk tidak menyalahgunakan ilmun silat yang akan dipelajarinya, dengan membangun mentalitas spiritual yang kokoh. Seperti bersumpah akan bertakwa kepada Tuhan, taat kepada orang tua, serta setia kepada Negara. Ini bukti bahwa selain olah fisik lewat jurus, seorang pesilat juga harus hidup sebagai orang baik.
Sekretaris Umum IPSI Jabar Prijatna Danusubrata mengakui, pada praktiknya ada orang yang memperdalam silat dengan dibumbui oleh kegiatan nonfisik. Padahal sebenarnya, tingkatan “spiritual” merupakan pembinaan puncak serta sasaran akhir untuk menjawab mengapa seseorang mendalami pencak silat. Lalu dengan tingginya penalaran para sesepuh dan tokoh sialt, pencak silat pun mulai dibungkus oleh aspek seni. Beberapa generasi kemudian, muncullah pencak silat sebagai seni tradisional yang hadir dalam berbagai upacara adat.
Membicarakan pencak silat di tatar Sunda tidak terelepas dari corak usik dan musik yang berwarna-warni. Dan musik yang paling menonjol di samping terbang/rudat, bedug, dan patingtung, adalah kendang penca. Kini, mengolah pencak silat sebagai olah seni menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Jawa Barat dan Banten. Karenan dengan begitu, pencak silat benar-benar sudah mendarah daging setelah mencakup keempat aspek tersebut.
Pada perkembagan selanjutnya, pencak silat diajarkan secara terbuka kepada siapa pun yang tertarik untuk mempelajarinya, termasuk orang-orang asing dari Negara lain. Saat ini, dunia persilatan bahkan mengenal perguruan modern dan perguruan tradisional. Masing-masing memiliki cara dan sistem tersendiri dalam mengajarkan jurus-jurus silat, termasuk mewariskan nilai-nilai kebaikan melalui tradisi lisan dari guru ke murid. Bahkan ada pesilat yang membuat program latihan silat jarak jauh secara online, khusus untuk murid-murid dari Negara lain.
Ajaran silat secara umum memang bersifat universal. Melihat kenyataan itu, pencak silat sangat relevan untuk kehidupan saat ini, baik sebagai pembangun mentalitas spiritual, ilmu bela diri, sebagai seni, mampun sebagai olahraga.
Sumber: Lia Marlia/*Pikiran Rakyat**