Kebiasaan unik sering kita temui dalam masyarakat Sunda. Keunikan tingkah laku maupun kata-kata itu beberapa di antaranya telah menjadi budaya. Seperti halnya masyarakat Ungkal, Kec. Conggeang, Kab. Sumedang. Di sana, masyarakatnya memiliki kebiasan mencemooh orang luar atau tamu, baik dari penampilan maupun secara fisik yang disebut poyok ungkal. Kata-kata cemoohan khas masyarakat Ungkal itu tidak memandang pekerjaan, tempat, dan waktu. Poyok ungkal diucapkan setelah mereka melihat bentuk fisik, perlengkapan, atau perilaku yang menurut mereka menarik untuk dicemooh dengan tujuan iseng. Faktor fisik merupakan yang paling banyak dijadikan bahan cemoohan. Kalimat cemoohan menggunakan gaya bahasa metafora dengan tujuan menyindir (ironi). Konsep penciptaan cemoohan umumnya diambil dari lingkungan yang mereka kenal, seperti hewan ternak, hama, palawija, dan perlengkapan pertanian. Menurut pemerhati budaya, Wahyu Margana ketika ditemui di Desa Cikeruh, Kec. Jatinangor, Kab. Sumedang, Rabu (11/8), pesan sesungguhnya dalam poyok ungkal sengaja disamarkan dengan metafora, sehingga sebagian besar komunikan tidak atau terlambat memahaminya. "Misalnya 'Cabe dikebon geus arasak yeuh' itu untuk menyindir orang yang pakai baju merah menyala. Atau 'Eta buruan meni geus barala cik atuh geura sapuan', sindiran bagi orang yang berjanggut tebal. Ada juga yang moyok cara berbusana seseorang. Seperti 'Usum hujan mah oray di sawah teh barijil nya'. Nah itu kalimat sindiran bagi mereka yang berdasi," katanya. Meski dicemooh, sambung Wahyu, orang tersebut tidak tersinggung. "Karena dia tidak tahu ucapan | itu ditujukan untuk siapa. Lagi pula poyokan itu hanya dimengerti oleh sesama masyarakat Ungkal, orang lain pasti hanya senyum-senyum tanda tidak mengerti atau diam sama sekali, lantaran tidak paham apa yang dikatakan," paparnya. Ia menjelaskan, kegagalan komunikasi (noise) ini memang sengaja dan ciri dari poyok ungkal. "Cemooh ungkal merupakan warisan budaya yang dikuasai penduduk Ungkal secara alami dari pergaulan hidup sehari-hari di desanya. Penduduk Ungkal belum pernah menggunakan kata-kata cemoohan dalam bahasa Indonesia dan mengaku akan mengalami kesulitan bila mencemooh dalam bahasa Indonesia," katanya. Karena telah dianggap budaya, lanjut Wahyu, sudah sepantasnya poyok ungkal dikembangkan, salah satunya menjadi pertunjukan hiburan karena bernilai budaya. "Seperti berbalas pantun, itu 'kan tradisi masyarakat Melayu yang telah menjadi sebuah hiburan. Kenapa tidak poyok ungkal juga dikemas untuk jadi pertunjukan, tidak sekadar cemoohan untuk masyarakat Ungkal saja," cetus Wahyu. Untuk merealisasikan hal tersebut, rencananya Wahyu akan berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, baik pemerintah daerah, masyarakat Ungkal hingga para pendidik di sekolah-sekolah agar mengapreasiasi kebudayaan yang jarang terdengar itu. "Kalau kita kemas dalam sebuah pertunjukan di sekolah tentu akan menghibur. Manfaat lainnya juga untuk melatih siswa dalam berkomunikasi serta kreatif mencari kalimat cemoohan yang cepat dan tepat untuk disampaikan," ujarnya. (mirza/"GM")** Sumber: www.klik-galamedia.com |
Home | Archives for 01/01/11
"Poyok Ungkal" Bernilai Budaya
Celempung dan Celempungan
Celempungan adalah grup musik yang merupakan bagian perkembangan dari celempung. Celempung sendiri merupakan alat musik yang terbuat dari hinis bambu yang memanfaatkan gelombang resonansi yang ada dalam ruas batang bambu. Saat ini celempung yang waditranya mempergunakan bambu masih dipertahankan di Desa Narimbang Kecamatan Conggeang Kabupaten Sumedang. Namun dalam celempungan, waditra celempung-nya sudah diganti oleh kayu yang dibentuk ruang segi delapan yang hinis bambunya diganti dengan plat dari besi.
Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik, b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan, dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter.
Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Kata “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.
Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi. Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.
Sumber, Penulis: Endah Jubaedah, Pemuda Pelopor Jawa Barat 2005 Bidang Pariwisata budaya asal Kab. Sumedang, [sumedangonline.com]
Alat pemukulnya terbuat dari bahan bambu atau kayu yang ujungnya diberi kain atau benda tipis agar menghasilkan suara nyaring. Cara memainkan alat musik ini ada dua cara, yaitu a) cara memukul; kedua alur sembilu dipukul secara bergantian tergantung kepada ritme-ritme serta suara yang diinginkan pemain musik, b) pengolahan suara; Yaitu tangan kiri dijadikan untuk mengolah suara untuk mengatur besar kecilnya udara yang keluar dari bungbung (badan) celempung. Jika menghendaki suara tinggi lubang (baham) dibuka lebih besar, sedang untuk suara rendah lubang ditutup rapat-rapat Suara celempung bisa bermacam-macam tergantung kepada kepintaran si pemain musik. Untuk saat ini alat musik ini sudah jarang dimainkan, dalam ensambel celempungan perannya sudah diganti dengan kendang dan kulanter.
Selain waditra tersebut, dalam celempungan waditranya sudah ditambah dengan kecapi dan biola. Jadi kata celempu-ngan adalah kesenian celempung yang sudah ditambah dengan waditra lain. Kata “ngan” menganalogikan adanya penambahan fungsi waditra dengan maksud untuk membuat celempung lebih halus dan lebih bernada.
Waditra celempung sendiri aslinya adalah alat yang tidak memliki nada baku, karena bunyi celempung keluar ketika alatnya dipukul pada pelat besinya, yang pada sebelum bunyi dihasilkan dengan cara memukul hinis bambu, yang mana nadanya keluar sesuai dengan keinginan atau kepiawaian si penambuh waditra. Dalam celempungan, waditra kacapi dan biola adalah penuntun nada, dimana laras yang dipakai bisa jatuh pada salendro atau pelog, sedangkan dalam celempung nada yang dihasilkan bisa fleksibel yang kondisinya tidak dipatok oleh nada, bahkan celempung ini seringkali jatuh pada nada dimana tidak di salendro ataupun di pelog, nada tersebut sementara ini dinamakan nada timber, dia ada tapi belum terdeskripsikan dengan jelas, tapi jika hal ini di teliti lebih lanjut dia akan bisa memiliki nada yang mana alat yang dipakai bisa disesuaikan dengan keinginan si penabuh, karena bunyi yang dihasilkan dalam celempung sangat tergantung pada tipis tebalanya bambu yang dipakai.
Adapun lagu-lagunya adalah seperti Galuh dan Maung Lugay, juga Kidung Rahayu. Dilihat dari perkembangan nada yang dipakai bisa di pastikan celempungan lahir sesudah musik celempung ada, hanya tepat masanya sampai hari ini belum bisa ditentukan kapan celempung lahir begitu juga celempungan, karena dalam sejarah seni pertunjukan belum ada sumber lisan ataupun tulisan yang merujuk hal ini. Maka kami rekomendasikan hal ini untuk bisa diteliti lebih lanjut oleh para ahli seni yang juga konsen terhadap seni pertunjukan, karena walau bagaimana pun celempung dan celempungan pada sekarang walaupun pelaku dan penikmatnya masih terbatas, bahkan seniman celempung sudah hampir punah, maka hal ini sudah selayaknya untuk bisa lebih diperhatikan lagi. Dan untuk pemerintah dukungan moril mapun materil terhadap perkembangan seni ini, seyogyanya juga bisa lebih besar lagi, karena hampir bisa di pastikan kalau seni ini adalah warisan tak ternilai dari para karuhun Sunda dimasa lampau dengan budayanya yang bersifat agraris, mereka sudah mampu untuk mengembangkan estetika bunyi yang dihasilkan oleh ruas batang bambu yang merupakan salahsatu cirri seni agraris. Dalam celempungan estetikanya semakin kentara karena inovasi penggabungan waditra kacapi dan biola yang nada-nadanya sudah terbentuk sempurna dalam dawai yang mengalun syahdu.
Sumber, Penulis: Endah Jubaedah, Pemuda Pelopor Jawa Barat 2005 Bidang Pariwisata budaya asal Kab. Sumedang, [sumedangonline.com]
Salak Bongkok Pencegah Asam Urat
Sebuah daerah bernama Bongkok yang berada di perbatasan Kecamatan Conggeang dan kecamatan Paseh, Kabupaten Sumedang, pernah terkenal akan varietas hasil buahnya. Namanya, salak bongkok. Namun, pada perjalanannya, varietas salak yang diambil dari nama desa aslinya itu ternyata kurang diminati masyarakat, karena mempunyai rasa asam, sepat, dan agak pahit. Ketika para petani setempat mulai meninggalkannya, produksi salak bongkok pada 2001 hingga 2002 mengalami penurunan hingga 36 persen. Kepunahan salak bongkok pun mengancam.
Dosen Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan Dr. Ir. Leni Herliani Afrianti, M.S. mulai melakukan penelitian pada tahun 2007. Ketika itu, Leni yang akan menyelesaikan program doktor pada studi Farmakologi Bahan Alam di Institut Teknologi Bandung, memilih disertasi dengan penelitian salak bongkok dengan judul "Aktivitas Antioksidan dan Antihiperurikemia (Anti asam Urat) Ekstrak dan Komponen Aktif Buah Varietas Bongkok".
Jika melihat hasil penelitian Leni, terlihat bahwa masyarakat hanya menilai salak asam ini sekilas. Hasil penelitian Leni menunjukkan, salak bongkok mengandung antioksidan dan dapat dimanfaatkan sebagai produk suplemen pangan yang dapat menyediakan efek yang baik bagi kesehatan.
Leni menjelaskan, pada dasarnya buah-buahan mengandung zat-zat aktif yang dapat mencegah penyakit degeneratif. Sementara itu, penyakit, degeneratif berpotensi melibatkan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan fungsi sel-sel tubuh.
"Secara fisiologis, timbulnya radikal bebas dalam tubuh harus diimbangi dengan senyawa yang disebut antiradikal bebas yaitu antioksidan" ujar dosen Unpas kelahiran Bandung itu.
Berdasarkan hal itu, Ieni yakin jika salak bongkok berpotensi dijadikan suatu produk makanan tambahan. Ia pun melanjutkan pengembangan penelitiannya, dengan membuat ekstrak salak bongkok. "Hasilnya, ekstrak salak bongkok mampu menghasilkan antihiperurikemia, atau dengan kata lain dapat mencegah penyakit asam urat," ujar Leni.
Pengembangan pun ia lakukan dengan membuat suplemen pangan yang berasal dari ekstrak salak bongkok, yang dibuat dalam bentuk tablet effeivescent. Tablet effeivescent sebenarnya bukan merupakan obat, dan tidak dapat dikonsumsi layaknya makanan biasa. Namun, suplemen pangan tersebut mengandung beberapa substansi yang mencegah penyakit meskipun tidak mengobatinya.
Tablet effervescent yang ia buat terbentuk dari ekstrak salak bongkok yang dijadikan serbuk granula. Granula tersebut adalah partikel-partikel padatan dari proses pembesaran ukuran yang digabungkan menjadi suatu massa. "Bahan granulasi dapat diperoleh dari pembesaran partikel-partikel primer atau pengecilan ukuran dari materi yang dikempa secara kering," ucapnya.
Keunggulan granula dan tablet effervescent adalah kemampuannya untuk menghasilkan gas karbondioksida yang memberikan efek sparkle (rasa soda). Selain menghasilkan larutan yang jernih, tablet effervescent juga menghasilkan rasa yang enak karena adanya karbonat yang dapat memperbaiki rasa.
Bila granula dan tablet effervescent dimasukkan ke air, akan terjadi reaksi kimia secara spontan antara asam natrium yang membentuk garam natrium, karbondioksida, dan air. Sementara itu, larutan karbonat akan menutupi rasa garam atau rasa lain yang tidak diinginkan dari zat obat.
Sumber: Muhammad Fikry Mauludi/TR, (Pikiran Rakyat)
Dosen Jurusan Teknologi Pangan Fakultas Teknik Universitas Pasundan Dr. Ir. Leni Herliani Afrianti, M.S. mulai melakukan penelitian pada tahun 2007. Ketika itu, Leni yang akan menyelesaikan program doktor pada studi Farmakologi Bahan Alam di Institut Teknologi Bandung, memilih disertasi dengan penelitian salak bongkok dengan judul "Aktivitas Antioksidan dan Antihiperurikemia (Anti asam Urat) Ekstrak dan Komponen Aktif Buah Varietas Bongkok".
Jika melihat hasil penelitian Leni, terlihat bahwa masyarakat hanya menilai salak asam ini sekilas. Hasil penelitian Leni menunjukkan, salak bongkok mengandung antioksidan dan dapat dimanfaatkan sebagai produk suplemen pangan yang dapat menyediakan efek yang baik bagi kesehatan.
Leni menjelaskan, pada dasarnya buah-buahan mengandung zat-zat aktif yang dapat mencegah penyakit degeneratif. Sementara itu, penyakit, degeneratif berpotensi melibatkan radikal bebas yang menyebabkan kerusakan fungsi sel-sel tubuh.
"Secara fisiologis, timbulnya radikal bebas dalam tubuh harus diimbangi dengan senyawa yang disebut antiradikal bebas yaitu antioksidan" ujar dosen Unpas kelahiran Bandung itu.
Berdasarkan hal itu, Ieni yakin jika salak bongkok berpotensi dijadikan suatu produk makanan tambahan. Ia pun melanjutkan pengembangan penelitiannya, dengan membuat ekstrak salak bongkok. "Hasilnya, ekstrak salak bongkok mampu menghasilkan antihiperurikemia, atau dengan kata lain dapat mencegah penyakit asam urat," ujar Leni.
Pengembangan pun ia lakukan dengan membuat suplemen pangan yang berasal dari ekstrak salak bongkok, yang dibuat dalam bentuk tablet effeivescent. Tablet effeivescent sebenarnya bukan merupakan obat, dan tidak dapat dikonsumsi layaknya makanan biasa. Namun, suplemen pangan tersebut mengandung beberapa substansi yang mencegah penyakit meskipun tidak mengobatinya.
Tablet effervescent yang ia buat terbentuk dari ekstrak salak bongkok yang dijadikan serbuk granula. Granula tersebut adalah partikel-partikel padatan dari proses pembesaran ukuran yang digabungkan menjadi suatu massa. "Bahan granulasi dapat diperoleh dari pembesaran partikel-partikel primer atau pengecilan ukuran dari materi yang dikempa secara kering," ucapnya.
Keunggulan granula dan tablet effervescent adalah kemampuannya untuk menghasilkan gas karbondioksida yang memberikan efek sparkle (rasa soda). Selain menghasilkan larutan yang jernih, tablet effervescent juga menghasilkan rasa yang enak karena adanya karbonat yang dapat memperbaiki rasa.
Bila granula dan tablet effervescent dimasukkan ke air, akan terjadi reaksi kimia secara spontan antara asam natrium yang membentuk garam natrium, karbondioksida, dan air. Sementara itu, larutan karbonat akan menutupi rasa garam atau rasa lain yang tidak diinginkan dari zat obat.
Sumber: Muhammad Fikry Mauludi/TR, (Pikiran Rakyat)
Seni Tradisi yang Terpinggirkan
KEBUDAYAAN maupun seni tradisi yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, dalam konteks tertentu merupakan suatu ritus yang menghubungkan antara dirinya pribadi dan kelompok dengan sejarah masa lalu primordial masyarakatnya yang sakral. Sakralitas kebudayaan dan seni tradisi terletak pada apresiasi masyarakat terhadap sejarah masa lalunya, bukan pada objek yang diapresiasi. Sakralitas tumbuh dan berkembang tidak bisa diidentikkan dengan sakralitas keagamaan, yang bukan hanya pada apresiasi tapi juga pada objek apresiasinya.
Dalam pandangan kosmologi budaya dan seni tradisi Sunda yang tergambar dalam mitologi berpijak pada karakter ke-ambu-an (keibuan), masyarakat Sunda dalam mitologinya menggambarkan Sunan Ambu, Dewi Sri (tokoh-tokoh di Kahiyangan), Purba Sari, Dewi Asri, Dayang Sumbi (tokoh-tokoh di Marcapada), dan yang lainnya, sebagai sosok ideal. Sementara kehadiran tokoh Sangkuriang, Mundinglaya di Kusumah (tokoh di Marcapada), dan Lutung Kasarung atau Guru Minda (tokoh Kahiyangan) merupakan tokoh penegas terhadap sosok ideal tersebut. Dengan kata lain, lewat Sunan Ambu dan Dewi Sri (anak angkat Sunan Ambu) sebagai performa ideal, struktur mitologi Sunda didasarkan pada kearifan tokoh ibu.
Hal ini dapat dipahami, karena mata pencaharian masyarakat Sunda pada umumnya adalah bercocok tanam yang mengedepankan simbol kesuburan, yaitu sosok perempuan. Namun, sosok perempuan tersebut dimunculkan dalam nuansa berwarna keibuan, ambu, dengan diawali terma sunan yang bisa dimakna anu disuhun atau yang diagungkan. Kehadiran sosok perempuan dengan performa "ibu" (ambu) sebagai pusat gravitasi dalam mitologi Sunda, tidak berujung dan tidak pula berawal dari tema-tema dan pesan-pesan erotisme, tetapi lebih pada sisi-sisi moralitas keperempuanan (ibu, ambu) sebagai sosok yang memiliki keteguhan hati, lembut, kharismatis, penuh kasih sayang, dan hal lain yang sejenis.
Namun, dalam konteks kekinian di mana pola pikir dan modernisasi terus berkembang, kebudayaan dan seni tradisi yang pernah ada dan tumbuh berkembang di masyarakat tersebut tidak hanya semakin terpinggirkan, bahkan acapkali berbenturan dengan pemahaman serta pandangan keagamaan. "Padahal sangat jelas, kalau kebudayaan dan seni tradisi adalah segala hal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sementara agama adalah suatu ajaran yang dibawa oleh para nabi untuk umatnya," ujar Dindin Rasidin, S.Sn., M.Hum., praktisi seni tradisi yang juga tenaga pengajar di STSI Bandung, pada salah satu kesempatan.
Memang, bila melihat latar belakang sejarah, kebudayaan dan seni tradisi oleh para wali yang menyebarkan agama Islam pernah dijadikan kendaraan syiar agama. Setidaknya ada struktur dan biografi yang membentuk kebudayaan dan seni tradisi Sunda yang dapat menjadi acuan, terutama saat pendudukan Mataram di Tatar Priangan. Di mana adanya kebudayaan dan seni tradisi Islam Sunda yang merupakan warisan Sunda-Islam masa para wali. Budaya ataupun tradisi ini kemudian sering disebut sebagai tradisi pesantren. Sunda pesantren ini merupakan suatu budaya ataupun tradisi yang telah menyatu antara kebudayaan dan tradisi Sunda dengan tradisi keislaman (merupakan strategi dakwah Sunan Gunung Djati).
Perdebatan antara kebudayaan, seni tradisi, dan agama, kiranya tidak akan pernah berhenti, karena kalangan seniman maupun budayawan memiliki pandangan tersendiri, denikian pula halnya dengan alim ulama, pasti memiliki argumentasi dan dalil juga. Dindin mencontohkan, kasus berkembangnya seni bajidoran dan dombret yang diadopsi Gugum Gumbira menjadi tarian jaipongan dengan seni tayuban. Di sini terjadi resistensi kebudayaan dan seni tradisi Sunda terhadap tradisi Jawa (Mataram). Setidaknya terdapat dua bentuk peta resistensi tersebut. Pertama, resistensi Sunda asli terhadap kebudayaan dan seni tradisi Jawa Mataram asli atau seni tradisi Mataram-Islam. Kedua, resistensi Sunda-Islam terhadap kebudayaan dan seni tradisi Jawa-Mataram atau terhadap Mataram-Islam.
Pada kasus tradisi tayuban terutama di Keraton Kacirebonan, bisa dipandang sebagai resistensi tradisi seni Sunda-asli terhadap seni tradisi Jawa-Mataram, dengan menghilangkan aspek erotik yang diganti dengan unsur-unsur kelembutan. Atau resistensi pesantren-Sunda terhadap Jawa-Mataram terhadap unsur yang sama, dengan memunculkan aspek-aspek religius dalam syair-syairnya.
Demikian juga dengan seni tradisi jaipongan sebagai wujud baru sebagai hasil dari resistensi seni tadisi Sunda terhadap seni bajidoran dan dombret. Bila melihat upaya eliminasi unsur-unsur erotis dalam seni-tradisi Jawa-Mataram yang dilakukan seniman tradisi Sunda-asli dan Sunda-pesantren atau Sunda-Islam, terdapat cara pandang yang "sama" terhadap erotisme (antara Sunda-asli dan Sunda-pesantren). Dengan demikian, asumsi yang berkembang bahwa seni tayuban di daerah Kacirebon, Kasumedangan, dan Cianjuran merupakan resistensi seni-tradisi Sunda-asli terhadap Sunda-pesantren, merupakan asumsi yang sangat tidak berdasar. Karena, seni-seni tradisi tayuban, ronggeng, serta tradisi sejenis seperti seni tradisi dombret, tradisi "warung-remang", dan sejenisnya, merupakan seni dan tradisi warisan pasukan Mataram di Tatar Sunda.
Kini, keterpinggiran kebudayaan dan seni tradisi yang katanya merupakan warisan leluhur yang harus dipelihara dan dilestarikan masih merupakan kalimat retorika yang selalu didengungkan kalangan pemerintah di acara-acara seremonial seni budaya. Demikian pula halnya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Lahirnya UU tersebut yang menuntut perubahan sikap (attitude) pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) untuk lebih mengarah pada steering, assisting, fasilitator, koordinator, dan menjadi mitra, nyatanya kurang begitu terasakan. Pelaku seni budaya tradisi hingga kini masih harus memosisikan dirinya sebagai pewaris tunggal yang senantiasa harus menjaga keutuhannya. Karena memiliki wewenang untuk mengelola daerahnya, hampir semua daerah menjadikan sektor seni budaya sebagai program nomor kesekian dibandingkan dengan program lainnya. Semisal Kota Bandung, meskipun mencanangkan diri pada 2008 sebagai kota seni budaya, nyatanya tidak ada satu pun kegiatan yang diselenggarakan pemerintah yang menandakan sebagai kota seni budaya. Bahkan hingga kini saat tahun 2008 segera berakhir.
Lain lagi dengan yang terjadi di daerah pakaleran, tumbuh dan berkembangnya seni tradisi sering kali dijadikan sapi perahan. Setiap kali seniman bajidoran, dombret, ataupun jaipongdut (jaipong dangdut) akan atau usai tampil, mereka harus membayar uang manggung. Bahkan belakangan, uang pembinaan sanggar yang seharusnya diterima sanggar atau kelompok seni, malah dijadikan ajang bancakan orang yang dekat aparat pemerintahan dengan membentuk sanggar atau kelompok seni baru.
Demikian pula halnya dengan Instruksi Presiden RI Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPD), di mana ditegaskan agar pemerintah daerah mengambil langkah nyata guna mengoptimalkan akselerasi pembangunan kebudayaan dan pariwisata dalam upaya tidak hanya melestarikan tetapi juga menyejahterakan masyarakat, membuka lapangan kerja, dan memeratakan pembangunan. Tapi dalam implementasi di lapangan tidak dirasakan seniman maupun budayawan (tradisi).
Bahkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah secara tegas menyatakan bahwa Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Dinas) tidak memberikan secara langsung bantuan. Pengeluaran bantuan dari bantuan khusus atau dana hibah hanya menjadi wewenang gubernur ataupun kepala daerah (wali kota dan bupati). Kondisi ini menjadikan budaya dan seni tradisi semakin terpuruk serta kurang terperhatikan karena setingkat dinas (kebudayaan dan pariwisata) tidak memiliki wewenang lagi memberikan bantuan kegiatan ataupun pemeliharaan kebudayaan dan seni tradisi.
Dalam laporan jelang pergantian tahun ini, Kasubdin Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Drs. Wawan Irawan mengatakan, secara kuantitas terjadi peningkatan. Tapi secara kualitas kebudayaan dan seni tradisi terjadi penurunan. "Kondisi ini terjadi karena jumlah seniman maupun budayawan terus mengalami peningkatan dan seiring dengan hal tersebut, banyak bermunculan sanggar-sanggar seni baru diikuti karya-karya seni baru dengan budaya dan seni tradisi sebagai pijakan. Sementara budaya dan seni tradisi yang aslinya sendiri ditinggalkan dan akhirnya kembali orang tua lagi-orang tua lagi yang menjadi penjaga, pelestari dan menjalankannya. Dalam posisi seperti ini tongkat estafet budaya dan seni tradisi dari orang yang dituakan kepada generasi penerus tidak terjadi. Bukan karena orang tua tidak mempercayai generasi muda, tapi lebih disebabkan anak-anak muda lebih menyukai seni kekinian," ujar Wawan.
Berdasarkan catatan akhir tahun Disbudpar Jabar, potensi kebudayaan Jawa Barat, untuk naskah kuno tinggal 143, cerita rakyat (364), ungkapan tradisional (140), permainan tradisional (284), upacara tradisional (533), sistem kemasyarakatan (385), sistem religi (75), sistem perekonomian (85), sistem teknologi (49), pola lingkungan budaya (83), perubahan lingkungan budaya (86), dan hubungan antarbudaya (75). Data kesenian, dari 35 rumpun dan 391 jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat, yang berkembang hanya 39 , sangat berkembang (61), tidak berkembang (248), dan mengalami kepunahan (43).
Sementara organisasi atau sanggar seni yang tercatat mencapai 3.424. Untuk sanggar seni karawitan ada 1.008, seni teater (235), seni padalangan (97), seni sastra (212), seni rupa (334), seni musik (472), seni pertunjukan (525), dan seni tari (541). Jumlah seniman maupun budayawannya mencapai 49.534 orang, terdiri dari 30.085 orang pria dan 18.938 orang wanita.
Namun sejalan dengan cara pandang masyarakat yang lebih cenderung pada hal-hal yang berbau materi, kegiatan yang dianggap kurang mendatangkan keuntungan akan ditinggalkan. "Padahal dalam kondisi kekinian segala sesuatu yang berbau tradisi, baik kebudayaan maupun kesenian banyak dicari dan bila di-manage secara benar dengan sendirinya akan menghasilkan materi," ujar Wawan.
Akan tetapi, karena kondisi dan unsur-unsur luar berseberangan dengan prinsip kosmologi kebudayaan dan seni tradisi itu sendiri, yang otentik bagi masyarakat Sunda, persoalannya menjadi lain. Artinya, terjadi perkembangan atau bahkan peralihan paradigma baru dan itu dianggap biasa dalam masyarakat. Padahal disadari atau tidak, modernisasi telah menciptakan kemandulan dalam budaya dan seni tradisi suatu daerah. Bahkan menafikan nilai-nilai primordial bangsanya.
Sumber: Retno HY (Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Desember 2008)
Dalam pandangan kosmologi budaya dan seni tradisi Sunda yang tergambar dalam mitologi berpijak pada karakter ke-ambu-an (keibuan), masyarakat Sunda dalam mitologinya menggambarkan Sunan Ambu, Dewi Sri (tokoh-tokoh di Kahiyangan), Purba Sari, Dewi Asri, Dayang Sumbi (tokoh-tokoh di Marcapada), dan yang lainnya, sebagai sosok ideal. Sementara kehadiran tokoh Sangkuriang, Mundinglaya di Kusumah (tokoh di Marcapada), dan Lutung Kasarung atau Guru Minda (tokoh Kahiyangan) merupakan tokoh penegas terhadap sosok ideal tersebut. Dengan kata lain, lewat Sunan Ambu dan Dewi Sri (anak angkat Sunan Ambu) sebagai performa ideal, struktur mitologi Sunda didasarkan pada kearifan tokoh ibu.
Hal ini dapat dipahami, karena mata pencaharian masyarakat Sunda pada umumnya adalah bercocok tanam yang mengedepankan simbol kesuburan, yaitu sosok perempuan. Namun, sosok perempuan tersebut dimunculkan dalam nuansa berwarna keibuan, ambu, dengan diawali terma sunan yang bisa dimakna anu disuhun atau yang diagungkan. Kehadiran sosok perempuan dengan performa "ibu" (ambu) sebagai pusat gravitasi dalam mitologi Sunda, tidak berujung dan tidak pula berawal dari tema-tema dan pesan-pesan erotisme, tetapi lebih pada sisi-sisi moralitas keperempuanan (ibu, ambu) sebagai sosok yang memiliki keteguhan hati, lembut, kharismatis, penuh kasih sayang, dan hal lain yang sejenis.
Namun, dalam konteks kekinian di mana pola pikir dan modernisasi terus berkembang, kebudayaan dan seni tradisi yang pernah ada dan tumbuh berkembang di masyarakat tersebut tidak hanya semakin terpinggirkan, bahkan acapkali berbenturan dengan pemahaman serta pandangan keagamaan. "Padahal sangat jelas, kalau kebudayaan dan seni tradisi adalah segala hal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sementara agama adalah suatu ajaran yang dibawa oleh para nabi untuk umatnya," ujar Dindin Rasidin, S.Sn., M.Hum., praktisi seni tradisi yang juga tenaga pengajar di STSI Bandung, pada salah satu kesempatan.
Memang, bila melihat latar belakang sejarah, kebudayaan dan seni tradisi oleh para wali yang menyebarkan agama Islam pernah dijadikan kendaraan syiar agama. Setidaknya ada struktur dan biografi yang membentuk kebudayaan dan seni tradisi Sunda yang dapat menjadi acuan, terutama saat pendudukan Mataram di Tatar Priangan. Di mana adanya kebudayaan dan seni tradisi Islam Sunda yang merupakan warisan Sunda-Islam masa para wali. Budaya ataupun tradisi ini kemudian sering disebut sebagai tradisi pesantren. Sunda pesantren ini merupakan suatu budaya ataupun tradisi yang telah menyatu antara kebudayaan dan tradisi Sunda dengan tradisi keislaman (merupakan strategi dakwah Sunan Gunung Djati).
Perdebatan antara kebudayaan, seni tradisi, dan agama, kiranya tidak akan pernah berhenti, karena kalangan seniman maupun budayawan memiliki pandangan tersendiri, denikian pula halnya dengan alim ulama, pasti memiliki argumentasi dan dalil juga. Dindin mencontohkan, kasus berkembangnya seni bajidoran dan dombret yang diadopsi Gugum Gumbira menjadi tarian jaipongan dengan seni tayuban. Di sini terjadi resistensi kebudayaan dan seni tradisi Sunda terhadap tradisi Jawa (Mataram). Setidaknya terdapat dua bentuk peta resistensi tersebut. Pertama, resistensi Sunda asli terhadap kebudayaan dan seni tradisi Jawa Mataram asli atau seni tradisi Mataram-Islam. Kedua, resistensi Sunda-Islam terhadap kebudayaan dan seni tradisi Jawa-Mataram atau terhadap Mataram-Islam.
Pada kasus tradisi tayuban terutama di Keraton Kacirebonan, bisa dipandang sebagai resistensi tradisi seni Sunda-asli terhadap seni tradisi Jawa-Mataram, dengan menghilangkan aspek erotik yang diganti dengan unsur-unsur kelembutan. Atau resistensi pesantren-Sunda terhadap Jawa-Mataram terhadap unsur yang sama, dengan memunculkan aspek-aspek religius dalam syair-syairnya.
Demikian juga dengan seni tradisi jaipongan sebagai wujud baru sebagai hasil dari resistensi seni tadisi Sunda terhadap seni bajidoran dan dombret. Bila melihat upaya eliminasi unsur-unsur erotis dalam seni-tradisi Jawa-Mataram yang dilakukan seniman tradisi Sunda-asli dan Sunda-pesantren atau Sunda-Islam, terdapat cara pandang yang "sama" terhadap erotisme (antara Sunda-asli dan Sunda-pesantren). Dengan demikian, asumsi yang berkembang bahwa seni tayuban di daerah Kacirebon, Kasumedangan, dan Cianjuran merupakan resistensi seni-tradisi Sunda-asli terhadap Sunda-pesantren, merupakan asumsi yang sangat tidak berdasar. Karena, seni-seni tradisi tayuban, ronggeng, serta tradisi sejenis seperti seni tradisi dombret, tradisi "warung-remang", dan sejenisnya, merupakan seni dan tradisi warisan pasukan Mataram di Tatar Sunda.
Kini, keterpinggiran kebudayaan dan seni tradisi yang katanya merupakan warisan leluhur yang harus dipelihara dan dilestarikan masih merupakan kalimat retorika yang selalu didengungkan kalangan pemerintah di acara-acara seremonial seni budaya. Demikian pula halnya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Lahirnya UU tersebut yang menuntut perubahan sikap (attitude) pemerintah daerah (provinsi, kota, dan kabupaten) untuk lebih mengarah pada steering, assisting, fasilitator, koordinator, dan menjadi mitra, nyatanya kurang begitu terasakan. Pelaku seni budaya tradisi hingga kini masih harus memosisikan dirinya sebagai pewaris tunggal yang senantiasa harus menjaga keutuhannya. Karena memiliki wewenang untuk mengelola daerahnya, hampir semua daerah menjadikan sektor seni budaya sebagai program nomor kesekian dibandingkan dengan program lainnya. Semisal Kota Bandung, meskipun mencanangkan diri pada 2008 sebagai kota seni budaya, nyatanya tidak ada satu pun kegiatan yang diselenggarakan pemerintah yang menandakan sebagai kota seni budaya. Bahkan hingga kini saat tahun 2008 segera berakhir.
Lain lagi dengan yang terjadi di daerah pakaleran, tumbuh dan berkembangnya seni tradisi sering kali dijadikan sapi perahan. Setiap kali seniman bajidoran, dombret, ataupun jaipongdut (jaipong dangdut) akan atau usai tampil, mereka harus membayar uang manggung. Bahkan belakangan, uang pembinaan sanggar yang seharusnya diterima sanggar atau kelompok seni, malah dijadikan ajang bancakan orang yang dekat aparat pemerintahan dengan membentuk sanggar atau kelompok seni baru.
Demikian pula halnya dengan Instruksi Presiden RI Nomor 16 Tahun 2005 tentang Kebijakan Pembangunan Kebudayaan dan Pariwisata dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 48 Tahun 2006 tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPD), di mana ditegaskan agar pemerintah daerah mengambil langkah nyata guna mengoptimalkan akselerasi pembangunan kebudayaan dan pariwisata dalam upaya tidak hanya melestarikan tetapi juga menyejahterakan masyarakat, membuka lapangan kerja, dan memeratakan pembangunan. Tapi dalam implementasi di lapangan tidak dirasakan seniman maupun budayawan (tradisi).
Bahkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah secara tegas menyatakan bahwa Satuan Kerja Pemerintah Daerah (Dinas) tidak memberikan secara langsung bantuan. Pengeluaran bantuan dari bantuan khusus atau dana hibah hanya menjadi wewenang gubernur ataupun kepala daerah (wali kota dan bupati). Kondisi ini menjadikan budaya dan seni tradisi semakin terpuruk serta kurang terperhatikan karena setingkat dinas (kebudayaan dan pariwisata) tidak memiliki wewenang lagi memberikan bantuan kegiatan ataupun pemeliharaan kebudayaan dan seni tradisi.
Dalam laporan jelang pergantian tahun ini, Kasubdin Kesenian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Drs. Wawan Irawan mengatakan, secara kuantitas terjadi peningkatan. Tapi secara kualitas kebudayaan dan seni tradisi terjadi penurunan. "Kondisi ini terjadi karena jumlah seniman maupun budayawan terus mengalami peningkatan dan seiring dengan hal tersebut, banyak bermunculan sanggar-sanggar seni baru diikuti karya-karya seni baru dengan budaya dan seni tradisi sebagai pijakan. Sementara budaya dan seni tradisi yang aslinya sendiri ditinggalkan dan akhirnya kembali orang tua lagi-orang tua lagi yang menjadi penjaga, pelestari dan menjalankannya. Dalam posisi seperti ini tongkat estafet budaya dan seni tradisi dari orang yang dituakan kepada generasi penerus tidak terjadi. Bukan karena orang tua tidak mempercayai generasi muda, tapi lebih disebabkan anak-anak muda lebih menyukai seni kekinian," ujar Wawan.
Berdasarkan catatan akhir tahun Disbudpar Jabar, potensi kebudayaan Jawa Barat, untuk naskah kuno tinggal 143, cerita rakyat (364), ungkapan tradisional (140), permainan tradisional (284), upacara tradisional (533), sistem kemasyarakatan (385), sistem religi (75), sistem perekonomian (85), sistem teknologi (49), pola lingkungan budaya (83), perubahan lingkungan budaya (86), dan hubungan antarbudaya (75). Data kesenian, dari 35 rumpun dan 391 jenis kesenian yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat, yang berkembang hanya 39 , sangat berkembang (61), tidak berkembang (248), dan mengalami kepunahan (43).
Sementara organisasi atau sanggar seni yang tercatat mencapai 3.424. Untuk sanggar seni karawitan ada 1.008, seni teater (235), seni padalangan (97), seni sastra (212), seni rupa (334), seni musik (472), seni pertunjukan (525), dan seni tari (541). Jumlah seniman maupun budayawannya mencapai 49.534 orang, terdiri dari 30.085 orang pria dan 18.938 orang wanita.
Namun sejalan dengan cara pandang masyarakat yang lebih cenderung pada hal-hal yang berbau materi, kegiatan yang dianggap kurang mendatangkan keuntungan akan ditinggalkan. "Padahal dalam kondisi kekinian segala sesuatu yang berbau tradisi, baik kebudayaan maupun kesenian banyak dicari dan bila di-manage secara benar dengan sendirinya akan menghasilkan materi," ujar Wawan.
Akan tetapi, karena kondisi dan unsur-unsur luar berseberangan dengan prinsip kosmologi kebudayaan dan seni tradisi itu sendiri, yang otentik bagi masyarakat Sunda, persoalannya menjadi lain. Artinya, terjadi perkembangan atau bahkan peralihan paradigma baru dan itu dianggap biasa dalam masyarakat. Padahal disadari atau tidak, modernisasi telah menciptakan kemandulan dalam budaya dan seni tradisi suatu daerah. Bahkan menafikan nilai-nilai primordial bangsanya.
Sumber: Retno HY (Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 27 Desember 2008)
Tantangan “Kearifan” Budaya Sunda
Kerangka acuan atau term of reference (TOR) yang diajukan panitia penyelenggara diskusi akhir tahun Pikiran Rakyat berpangkal pada banyaknya seniman Jawa Barat terkenal yang meninggal dunia pada 2010. Inti soal yang diajukan, sejauh mana “kesiapan” masyarakat Jawa Barat umumnya, sepeninggalnya para mendiang itu: tentang dokumen-dokumen yang ditinggalkannya, dan seperti apa harapan berlanjutnya “tradisi” kreativitas berkesenian pada generasi penerusnya.
Untuk mendiskusikannya secara konkret, dan untuk upaya perancangan agenda strategis ke depan, saya kira kita perlu mengadakan inventarisasi dan pemetaan permasalahannya. Dalam diskusi pertama ini, saya akan menyampaikan dasar-dasar pemikiran lain, yang walaupun tidak langsung mengarah pada pemasalahan di atas, merupakan soal dasar yang menurut saya perlu dicermati.
Pertama adalah tentang Jawa Barat dan Sunda. Sampai sepuluh tahun yang lalu, Jawa Barat umumnya dianggap identik dengan Sunda, karena penghuni mayoritasnya orang Sunda, dan orang Sunda pun hampir terkonsentrasi berada di provinsi itu–berbeda dengan “orang Jawa” yang terbagi di tiga daerah: Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Adalah isu menarik, ketika Anjungan Jawa Barat di Taman Mini Indonesia Indah mengambil model istana Cirebon, yang adalah daerah yang “paling tidak nyunda.” Kemungkinan pertimbangannya ada dua. Pertama, Cirebon dianggap Sunda. Kedua, yang dipilih adalah bangunan adiluhung, sebagai simbol “puncak kebudayaan” Jawa Barat.
Walaupun pendekatan yang kedua mungkin lebih kuat, mengikuti prinsip tersurat dalam Penjelasan UUD 45: “puncak-puncak kebudayaan.” Pendekatan pertama pun bukan mustahil, yaitu seluruh wilayah Jawa Barat ikut pada mayoritas, yaitu budaya Sunda. Paling tidak sampai akhir 1970-an, seluruh sekolah di provinsi ini memakai bahasa Sunda sebagai pelajaran bahasa daerah. Bahasa setempat, seperti bahasa Jawa yang dipakai oleh penduduk di daerah-daerah Kabupaten/Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka, Subang, Karawang, dan Banten, tidak dianggap sebagai “lokal yang arif,” yang patut dipelajari dalam dunia pendidikan--pendekatan mana yang dimulai juga sejak sekolah-sekolah didirikan untuk orang pribumi oleh pemerintah kolonial. “Budaya kecil” terlalu merepotkan untuk diperhatikan oleh birokrasi. Dengan kata lain, budaya kecil, yang lemah, dianggap remeh-temeh yang harus tunduk pada yang besar. Realitas budaya, yang tak lain adalah realitas kehidupan sosial di masing-masing “wilayah kecil” yang sangat bineka itu, dipetakan oleh pendekatan politik dengan menyederhanakan, meringkas, atau meringkusnya, untuk masuk pada kolom-kolom tertib sehingga menjadi kotak-kotak “kesatuan” administratif–hal itu bukan hanya terjadi di Jawa Barat, melainkan di seantero nusantara, dan bahkan di dunia.
Modernisme barat, berdampingan dengan revolusi industri, adalah zaman konstruktif, struktural, pragmatis (efektif-efisien), yang meninggalkan atau memangkas persepsi generalis holistis. Profesionalisme merumuskan spesialisasi, sehingga terbentuklah kotak-kotak dikotomis. Seluruh dunia terdidik dan terpukau pada sistem itu. Dalam bidang kesenian, misalnya, terjadi pengelompokan disiplin (yang tampak) rapi tertata: musik, rupa, sastra, tari, teater, dan lain-lain. Sementara dalam realitas budaya lokal, semua disiplin itu tidak terpisah-pisah, melainkan terjalin satu sama lain secara “holistis,” merupakan “kesatuan.”
Kemudian lahirlah kritik pemikiran besar terhadap itu, yang dikenal dengan postmodernisme, dekonstruksionisme, sejak 1960an-di Barat. Dalam tataran praktis, di Indonesia baru muncul menjelang abad 21, adalah tumbangnya Orde Baru, lahirnya Reformasi, yang disusul dengan sistem otonomi daerah. Banten menjadi provinsi tersendiri, pisah dari Jawa Barat. Masyarakat dan budaya Sunda yang mayoritas itu pun kini tidak lagi berada pada genggaman satu provinsi.
Jika kita berpegang pada acuan “ketertiban” dan “kesatuan” konstruktif, peristiwa itu mungkin dianggap sebagai pengaburan, atau perpecahan. Akan tetapi, jika dilihatnya sebagai proses pendewasaan “kelokalan yang plural,” bisa dianggap sebaliknya: sebagai peluang proses desentralisasi sosiokultural di kedua provinsi tersebut, untuk bersama-sama walau dalam ruang sistem administrasi-politik terpisah, menumbuhkan vitalisasi budaya Sunda. Dengan falsafah atau mental dan etik “bhinneka,” perkembangan positif lebih bisa diharapkan: dua provinsi turut bertanggung jawab (handarbeni) kebudayaan Sunda. Akan tetapi jika sebaliknya, dengan filsafat keekaan Sunda, kedua provinsi bisa berebut, memperjuangkan hak kepemilikan (posesif), sehingga yang satu menjadi saingan bahkan oponen dari yang lain, sehingga pembagian provinsi ini merupakan petaka bagi Ki Sunda.
Hal yang terakhir, petaka dan bukan berkah, mungkin mustahil terjadi, karena realitas sosialnya dari dahulu hingga kini demikianlah. Baduy yang berada di Banten, kita ketahui sebagai budaya Sunda tertua yang hidup hingga sekarang. Akan tetapi, kita pun tahu, budaya Sunda tidak berhenti pada platform atau paradigma tradisi Baduy. Sunda telah jauh melampaui (beyond) peradaban Baduy.
Dalam jiwa atau “ruh” budaya Sunda, di Jawa Barat maupun di Banten, terdapat ruh-ruh budaya lain, terlepas dianggap positif ataupun negatif, yang telah menjadi ruh diri sendiri. Ruh budaya Jawa adalah contoh yang jelas: proses penghalusan bahasa dan kesenian, adat (tatakrama), sampai ke tataekonomi pertanian. Demikian juga budaya Barat (Eropa) yang tertanam sejak zaman kolonial, dan telah turut mengembangkan “kecerdasan” kita hingga mampu melahirkan revolusi kemerdekaan, melahirkan sistem pendidikan hingga tingkat universitas, sistem birokrasi pemerintahan, dan sebagainya, yang berasal dari ruh Barat. Dan demikian pula ruh pelbagai agama (Hindu, Budha, Konghucu, Islam, dan Kristen), telah memodali kecerdasan (“kearifan”) hidup, tertanam dalam “ruh” Sunda secara “meng-satu”. “Meng-satu” bukan secara sederhana (rapi, tertib luarnya), melainkan secara kompleks, atau “tebal,” hingga tampak seperti ribuan jaringan laba-laba atau awan mendung tumpang-tindih berseliweran. Akan tetapi itu, menurut saya, adalah realitas.
Dengan demikian, secara kultural, penerjemahan bhinneka tunggal ika itu bukanlah “beraneka tetapi [harus] satu,” melainkan mungkin lebih baik dimaknai sebagai keber-banyak-an (beda) dan ke-satu-an (sama) adalah dua hal integral dalam suatu “ruh” (baca: semangat) kebudayaan. Ruang cyber (virtual, tetapi nyata), yang juga telah menjadi ruang hidupnya ruh budaya Sunda sekarang, merupakan misal dari kompleksitas itu. Ajaran-ajaran konstruktif (mendefinisikan) bergulung dengan yang sebaliknya. Ensiklopedia ala Britanicca, Oxford, dan Encarta, diimbangi oleh Wikipedia dan Wiki-Wiki yang lain, dan dalam pelbagai bahasa (termasuk Sunda); Linux mengimbangi Windows; dan lain-lainnya.
Dalam realitas yang semakin kompleks itu, serta semakin laju perubahannya, yang menjadi tantangan kita adalah dalam mengembangkan kecerdasan, kemampuan, untuk menghadapinya. Dunia tak mungkin dikembalikan pada ideologi “tertib dan rapi,” seperti halnya sistem demokrasi yang tak mungkin dikembalikan ke fasis otoriter, desentralisasi ke konstruksi sentral, internet ditertibkan-walaupun demokrasi adalah suatu sistem yang paling kompleks, sulit, dan “mahal.” Yang kita perlukan adalah tumbuhnya kemampuan, kecerdasan, dan kejujuran, yang tidak munafik, dalam menghadapinya. Itulah yang laiknya menjadi agenda bagi setiap kelompok sosial-budaya (geokultural) dan administrasi (geopolitik), karena kita tak akan bisa mengelak.
Alih-alih, yang jadi keprihatinan saya, mungkin kita semua, tahun demi tahun yang banyak dilakukan adalah seminar-seminar, yang tampak atau kedengarannya sangat baik, tetapi tak menghasilkan yang berarti, tak bisa dilihat gunanya. Seminar-seminar yang bertema “pembangunan” atau “pendidikan” moral, jati diri, karakter bangsa, dan lain-lain, hebat dan baik kedengarannya. Akan tetapi forum itu bak pertemuan keluarga, seperti untuk kangen-kangenan bernostalgia, dan secara administratif untuk menghabiskan anggaran tahunan. Yang tampaknya “baik-baik” itu tak ubah slogan-slogan yang tertulis dalam spanduk-spanduk di jalanan; atau hanya untuk membuat rumusan, mendefinisikan sesuatu tanpa pendalaman makna (tautologi); atau sebagai forum ekspresif mengungkapkan nostalgia romantik, kebanggaan masa lampau, keprihatinan masa kini, disertai menyalahkan pihak lain. Bagi saya, itu yang paling merisaukan: sementara terkepung oleh dunia kompleks, tetapi mengelak dengan mengambil jalan pintas “meng-gampang-kan”, tanpa kajian serius, dan kejujuran-keikhlasan. Sloganisme, tautologi, dan romantisme, menjadi media pelarian untuk menghindari kesulitan, excuse terhadap ketidakmampuan.
Sumber, Penulis: Endo Suanda, budayawan, pengamat seni tradisi. (Pikiran Rakyat)
Untuk mendiskusikannya secara konkret, dan untuk upaya perancangan agenda strategis ke depan, saya kira kita perlu mengadakan inventarisasi dan pemetaan permasalahannya. Dalam diskusi pertama ini, saya akan menyampaikan dasar-dasar pemikiran lain, yang walaupun tidak langsung mengarah pada pemasalahan di atas, merupakan soal dasar yang menurut saya perlu dicermati.
Pertama adalah tentang Jawa Barat dan Sunda. Sampai sepuluh tahun yang lalu, Jawa Barat umumnya dianggap identik dengan Sunda, karena penghuni mayoritasnya orang Sunda, dan orang Sunda pun hampir terkonsentrasi berada di provinsi itu–berbeda dengan “orang Jawa” yang terbagi di tiga daerah: Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Adalah isu menarik, ketika Anjungan Jawa Barat di Taman Mini Indonesia Indah mengambil model istana Cirebon, yang adalah daerah yang “paling tidak nyunda.” Kemungkinan pertimbangannya ada dua. Pertama, Cirebon dianggap Sunda. Kedua, yang dipilih adalah bangunan adiluhung, sebagai simbol “puncak kebudayaan” Jawa Barat.
Walaupun pendekatan yang kedua mungkin lebih kuat, mengikuti prinsip tersurat dalam Penjelasan UUD 45: “puncak-puncak kebudayaan.” Pendekatan pertama pun bukan mustahil, yaitu seluruh wilayah Jawa Barat ikut pada mayoritas, yaitu budaya Sunda. Paling tidak sampai akhir 1970-an, seluruh sekolah di provinsi ini memakai bahasa Sunda sebagai pelajaran bahasa daerah. Bahasa setempat, seperti bahasa Jawa yang dipakai oleh penduduk di daerah-daerah Kabupaten/Kota Cirebon, Indramayu, Majalengka, Subang, Karawang, dan Banten, tidak dianggap sebagai “lokal yang arif,” yang patut dipelajari dalam dunia pendidikan--pendekatan mana yang dimulai juga sejak sekolah-sekolah didirikan untuk orang pribumi oleh pemerintah kolonial. “Budaya kecil” terlalu merepotkan untuk diperhatikan oleh birokrasi. Dengan kata lain, budaya kecil, yang lemah, dianggap remeh-temeh yang harus tunduk pada yang besar. Realitas budaya, yang tak lain adalah realitas kehidupan sosial di masing-masing “wilayah kecil” yang sangat bineka itu, dipetakan oleh pendekatan politik dengan menyederhanakan, meringkas, atau meringkusnya, untuk masuk pada kolom-kolom tertib sehingga menjadi kotak-kotak “kesatuan” administratif–hal itu bukan hanya terjadi di Jawa Barat, melainkan di seantero nusantara, dan bahkan di dunia.
Modernisme barat, berdampingan dengan revolusi industri, adalah zaman konstruktif, struktural, pragmatis (efektif-efisien), yang meninggalkan atau memangkas persepsi generalis holistis. Profesionalisme merumuskan spesialisasi, sehingga terbentuklah kotak-kotak dikotomis. Seluruh dunia terdidik dan terpukau pada sistem itu. Dalam bidang kesenian, misalnya, terjadi pengelompokan disiplin (yang tampak) rapi tertata: musik, rupa, sastra, tari, teater, dan lain-lain. Sementara dalam realitas budaya lokal, semua disiplin itu tidak terpisah-pisah, melainkan terjalin satu sama lain secara “holistis,” merupakan “kesatuan.”
Kemudian lahirlah kritik pemikiran besar terhadap itu, yang dikenal dengan postmodernisme, dekonstruksionisme, sejak 1960an-di Barat. Dalam tataran praktis, di Indonesia baru muncul menjelang abad 21, adalah tumbangnya Orde Baru, lahirnya Reformasi, yang disusul dengan sistem otonomi daerah. Banten menjadi provinsi tersendiri, pisah dari Jawa Barat. Masyarakat dan budaya Sunda yang mayoritas itu pun kini tidak lagi berada pada genggaman satu provinsi.
Jika kita berpegang pada acuan “ketertiban” dan “kesatuan” konstruktif, peristiwa itu mungkin dianggap sebagai pengaburan, atau perpecahan. Akan tetapi, jika dilihatnya sebagai proses pendewasaan “kelokalan yang plural,” bisa dianggap sebaliknya: sebagai peluang proses desentralisasi sosiokultural di kedua provinsi tersebut, untuk bersama-sama walau dalam ruang sistem administrasi-politik terpisah, menumbuhkan vitalisasi budaya Sunda. Dengan falsafah atau mental dan etik “bhinneka,” perkembangan positif lebih bisa diharapkan: dua provinsi turut bertanggung jawab (handarbeni) kebudayaan Sunda. Akan tetapi jika sebaliknya, dengan filsafat keekaan Sunda, kedua provinsi bisa berebut, memperjuangkan hak kepemilikan (posesif), sehingga yang satu menjadi saingan bahkan oponen dari yang lain, sehingga pembagian provinsi ini merupakan petaka bagi Ki Sunda.
Hal yang terakhir, petaka dan bukan berkah, mungkin mustahil terjadi, karena realitas sosialnya dari dahulu hingga kini demikianlah. Baduy yang berada di Banten, kita ketahui sebagai budaya Sunda tertua yang hidup hingga sekarang. Akan tetapi, kita pun tahu, budaya Sunda tidak berhenti pada platform atau paradigma tradisi Baduy. Sunda telah jauh melampaui (beyond) peradaban Baduy.
Dalam jiwa atau “ruh” budaya Sunda, di Jawa Barat maupun di Banten, terdapat ruh-ruh budaya lain, terlepas dianggap positif ataupun negatif, yang telah menjadi ruh diri sendiri. Ruh budaya Jawa adalah contoh yang jelas: proses penghalusan bahasa dan kesenian, adat (tatakrama), sampai ke tataekonomi pertanian. Demikian juga budaya Barat (Eropa) yang tertanam sejak zaman kolonial, dan telah turut mengembangkan “kecerdasan” kita hingga mampu melahirkan revolusi kemerdekaan, melahirkan sistem pendidikan hingga tingkat universitas, sistem birokrasi pemerintahan, dan sebagainya, yang berasal dari ruh Barat. Dan demikian pula ruh pelbagai agama (Hindu, Budha, Konghucu, Islam, dan Kristen), telah memodali kecerdasan (“kearifan”) hidup, tertanam dalam “ruh” Sunda secara “meng-satu”. “Meng-satu” bukan secara sederhana (rapi, tertib luarnya), melainkan secara kompleks, atau “tebal,” hingga tampak seperti ribuan jaringan laba-laba atau awan mendung tumpang-tindih berseliweran. Akan tetapi itu, menurut saya, adalah realitas.
Dengan demikian, secara kultural, penerjemahan bhinneka tunggal ika itu bukanlah “beraneka tetapi [harus] satu,” melainkan mungkin lebih baik dimaknai sebagai keber-banyak-an (beda) dan ke-satu-an (sama) adalah dua hal integral dalam suatu “ruh” (baca: semangat) kebudayaan. Ruang cyber (virtual, tetapi nyata), yang juga telah menjadi ruang hidupnya ruh budaya Sunda sekarang, merupakan misal dari kompleksitas itu. Ajaran-ajaran konstruktif (mendefinisikan) bergulung dengan yang sebaliknya. Ensiklopedia ala Britanicca, Oxford, dan Encarta, diimbangi oleh Wikipedia dan Wiki-Wiki yang lain, dan dalam pelbagai bahasa (termasuk Sunda); Linux mengimbangi Windows; dan lain-lainnya.
Dalam realitas yang semakin kompleks itu, serta semakin laju perubahannya, yang menjadi tantangan kita adalah dalam mengembangkan kecerdasan, kemampuan, untuk menghadapinya. Dunia tak mungkin dikembalikan pada ideologi “tertib dan rapi,” seperti halnya sistem demokrasi yang tak mungkin dikembalikan ke fasis otoriter, desentralisasi ke konstruksi sentral, internet ditertibkan-walaupun demokrasi adalah suatu sistem yang paling kompleks, sulit, dan “mahal.” Yang kita perlukan adalah tumbuhnya kemampuan, kecerdasan, dan kejujuran, yang tidak munafik, dalam menghadapinya. Itulah yang laiknya menjadi agenda bagi setiap kelompok sosial-budaya (geokultural) dan administrasi (geopolitik), karena kita tak akan bisa mengelak.
Alih-alih, yang jadi keprihatinan saya, mungkin kita semua, tahun demi tahun yang banyak dilakukan adalah seminar-seminar, yang tampak atau kedengarannya sangat baik, tetapi tak menghasilkan yang berarti, tak bisa dilihat gunanya. Seminar-seminar yang bertema “pembangunan” atau “pendidikan” moral, jati diri, karakter bangsa, dan lain-lain, hebat dan baik kedengarannya. Akan tetapi forum itu bak pertemuan keluarga, seperti untuk kangen-kangenan bernostalgia, dan secara administratif untuk menghabiskan anggaran tahunan. Yang tampaknya “baik-baik” itu tak ubah slogan-slogan yang tertulis dalam spanduk-spanduk di jalanan; atau hanya untuk membuat rumusan, mendefinisikan sesuatu tanpa pendalaman makna (tautologi); atau sebagai forum ekspresif mengungkapkan nostalgia romantik, kebanggaan masa lampau, keprihatinan masa kini, disertai menyalahkan pihak lain. Bagi saya, itu yang paling merisaukan: sementara terkepung oleh dunia kompleks, tetapi mengelak dengan mengambil jalan pintas “meng-gampang-kan”, tanpa kajian serius, dan kejujuran-keikhlasan. Sloganisme, tautologi, dan romantisme, menjadi media pelarian untuk menghindari kesulitan, excuse terhadap ketidakmampuan.
Sumber, Penulis: Endo Suanda, budayawan, pengamat seni tradisi. (Pikiran Rakyat)
Mengenal Pengobatan Nabi
Di antara maraknya praktik pengobatan alternatif, pengobatan cara Nabi Muhammad (thibbun al-Nabawi), merupakan metode yang banyak diminati. Salah satu cara pengobatan yang diminati masyarakat adalah bekam. Di Bandung sendiri terdapat tujuh cabang tempat terapi bekam yang tergabung dalam Asosiasi Bekam Rukyah Center, di antaranya terletak di Jalan Cinunuk, Cibiru, Bandung. Dalam Islam, ajaran tentang kesehatan dirujuk dari ayat Alquran dan Sunnah Nabi. Salah satu kitab yang memberikan penjelasan tentang pengobatan cara Nabi adalah kitab Al-Thibb al-Nabawi. Kitab ini ditulis oleh Ibn Qayyim Al-Jawziyah yang hidup di Damaskus antara tahun 1292-1350 Masehi. Kitab Al-Thibb al-Nabawi dalam versi Arab diterbitkan tahun 1992 oleh penerbit Dar al-Fikr, Beirut. Ibn Qayyim tidak belajar ilmu kedokteran (medis) secara khusus. Ia adalah seorang ulama yang mewarisi lembaga pendidikan terkenal di Kota Damaskus, bernama Al-Jawziyyah. Lembaga pendidikan ini dirintis ayahnya, Qayyim al Jawziyyah. Ia sendiri bernama Abu Abdullah Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakr bin Ayyub. Dalam riwayat pendidikannya, Ibn Qayyim pernah belajar kepada sejumlah ulama terkenal, satu di antaranya syaikhul Islam Ibn Taimiyyah. Dengan kapasitas keilmuannya tersebut, kelak Ibnu Qayyim melahirkan generasi ulama yang populer, seperti Ibn Katsir, penulis kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah. Kitab Al-Thibb al-Nabawi (Pengobatan Cara Nabi) bukanlah kitab pengobatan yang pertama dalam sejarah literatur Islam. Sebelumnya sudah ada beberpa kitab lain yang mengupas tentang cara pengobatan menurut ajaran Islam. Pada tahun 994 Hijriah, telah beredar kitab Al Kamil fi al-Shianaa yang ditulis Ali Ibn Al Abbas al Mijisi. Kitab ini konon merupakan kitab yang paling banyak dirujuk sebelum terbitnya kitab pengobatan lain yang lebih populer, yaitu Al-Qanun karya Ibnu Sina. Al-Qanun inilah yang kemudian banyak dibincangkan dan mewarnai kajian medis modern. Nama pengarangnya pun diabadikan dalam literatur Barat sebagai Avi Cenna. Kandungan kitab Al-Thibb al-Nabawi dapat dikategorikan menjadi tiga tema besar. Pertama, penjelasan mengenai pengobatan dengan obat alamiah. Cara ini bersumber pada kekayaan hayati dan nabati. Misalnya pengobatan dengan air, madu, dan susu. Ibn Qayyim menguraikan jenis pengobatan ini dalam tiga puluh lima pasal pada kitabnya tersebut. Kedua, penjelasan tentang perawatan dan terapi menggunakan kekuatan spiritual. Cara ini mengandalkan pada kekuatan nasihat dan hikmah yang dieksplorasi dari Alquran dan Sunnah Nabi. Cara pengobatan ini diperuntukkan bagi jenis penyakit yang bersumber dari hati (qalb). Penjelasan untuk model kedua ini ada sekitar 23 pasal. Ketiga, penjelasan tentang indikasi obat-obatan dan makanan yang disebutkan Nabi untuk mengobati penyakit dan penyembuhan. Kitab ini menguraikannya menjadi 132 pasal. | Dalam kitab ini juga diterangkan tentang definisi sakit. Dengan merujuk pada beberapa ayat Alquran dan Hadis Nabi, Ibn Qayyim mendefinisikan penyakit dengan mengaitkannya pada fungsi biologis dan spiritual dari hati (qalb). Konseptualisasi ini diturunkan dari hadis yang berbunyi, "Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging, jika ia baik maka baiklah seluruh tubuh dan jika rusak, rusak pula tubuh. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim). Ibn Qayyim membagi jenis penyakit menjadi dua macam, penyakit hati dan penyakit badan (fisik). Penyakit hati (psikis) hakikatnya merupakan gejala dari berbagai penyakit yang dirasakan orang yang sedang sakit. Jenis penyakit ini sulit dideteksi secara empiris medis. Misalnya orang yang mengeluh sakit, tetapi tidak ditemukan wujud penyakitnya. Menurut Ibn Qayyim, gejala ini muncul karena faktor eksternal dalam tubuh manusia, seperti rasa takut. Penjelasan ini dirujuk dari hadis Nabi bahwa penyakit hati memiliki indikasi seperti adanya rasa waswas, ragu, munculnya hasrat berlebih, serta kehendak melakukan penyelewengan dalam hati manusia. Dengan hadis itu, Ibn Qayyim membagi penyakit hati pada dua kelompok, rasa ragu dan waswas serta hasrat untuk berlaku menyimpang. Alquran banyak menjelaskan kategori penyakit ini. Misalnya orang munafik sebagai contoh orang yang berpenyakit hati. Jenis yang kedua adalah penyakit badan (organ tubuh). Sakit pada fisik terkait dengan kondisi hati. Jika hati dalam keadaan galau dan waswas akan bedampak pada tubuh fisik. Kesehatan tubuh juga terkait dengan kecukupan asupan pada tubuh. Selama kebutuhan asupan terpenuhi, tubuh dalam kondisi normal. Dalam organ tubuh manusia terdapat mekanisme pertalian (antibodi) untuk menjaga stabiltas tubuh. Mekanisme seperti buang air dan rasa lelah merupakan salah satu dari cara tubuh menjaga kestabilannya. Stabilitas tubuh dapat terganggu karena faktor internal seperti penyakit hati tadi serta faktor eksternal seperti masuknya racun, suhu udara yang ekstrim, dan luka fisik. Prinsip pengobatan Nabi bersifat integral (menyeluruh). Pengobatannya mencakup terapi tubuh sekaligus mental-psikis. Konsep integral ini terkait dengan hakikat manusia yang terdiri atas tubuh fisik dan mental psikis. Oleh karena itu, pengobatan cara Nabi bersifat holistik. Dalam praktiknya, pengobatan menyangkut dua bagian itu, yakni tubuh dan mental. Dalam terapi cara Nabi tidak hanya mengandalkan doa, apalagi hanya mengeksploitasi ayat Alquran menjadi jampi-jampi dan takhayul. Semestinya, proses pengobatan cara Nabi juga menyertakan tindakan yang bersifat medis, meskipun sederhana. Di antara tindakan medis yang diyakini sebagai warisan Nabi adalah bekam. |
Sumber: (Dede Syarif, peneliti Institut for Study Religion, Culture, and Public Affair, UIN Bandung. “Pikiran Rakyat”)
Langganan:
Postingan (Atom)