1. Sejarah Tayuban (Ibing Tayub)
Kata Tayub berasal dari basa jawa yang artinya kesugemanan atau kalangenan, maka Ibing Tayub disebut juga Ibing Kalangenan.
Seni Tayub (Ibing Sunda) pertama kali ada di daerah Jawa kulon yaitu daerah priangan. Dalam penelitian dari mulai abad-19 kira-kira tahun 1836 sudah ada pagelaran Seni Tayuban di tiap keratin atau di tiap Kabupaten.
Seni Tayub digelar dalam acara pesta kenegaraan dan ada pula pada cara selamatan seperti pernikahan atau khinatan anak. Tayuban di gelar mulai dari tingkat kabupaten hingga ketingkat kelurahan, sedangkan yang ikut serta dalam kegiatan Tayuban kebanyakan orang-orang priyayi atau para menak atau juga inohong-inohong dan para saudagar-saudagar kaya.
Tempat yang digunakan pada jaman dulu yaitu di pendopo-pendopo kabupaten ada juga di tempat terbuka di panggung (balandong).
Dalam pelaksanaan Ibing Tayub biasanya bergantian seorang-seorang tetapi ada pula yang ikut serta di sampingnya yang disebut mairan (ngamair). Berdasarkan pengamatan dan yang dialami oleh para penggemar Nayub bahwa Tayuban atau Ibing Tayub bisa disebut juga tari pergaulan karena merupakan salah satu alat dalam pergaulan di kalangan masyarakat.
Di wewengkon atau daerah priangan terutama di Kabupaten Bandung dan sekitarnya lebih berkembang pada abad ke-20 berdasarkan penelitian Bapak R. Tjetje Somantri dalam buku Seni Budaya Sunda, kira-kira pada tahun 1918 di Jawa Kulon utamanya di puseur dayeuh Bandung Seni Ibing Sunda menjadi kental
Semasa pemerintahan RAA Wiranata Kusumah yang menjadi Bupati Bandung, Beliau suka mengadakan pagelaran acara Tayub (Ibing Tayub) yang pada akhirnya semua perangkat pemerintah pada jaman dulu di kabupaten mulai Patih Wedana, Camat, Lurah dan para Pamong Praja sampai pedagang supaya menari (Ibing Sunda) acara Tayub.
Dalam pelaksanaan tari Tayub tiap orang berbeda mempunyai khas masing-masing senang gagah, lemah gemulai atau lunak. Upamanya Bupati Sumedang, Pangeran Kusumah Adinata senang menari gagah dalam lagu sonteng atau Panglima. Bupati Garut Kanjeng Wiratanudatar senang ngigel lungguh dalam lagu Sentrongmaja. Bupati Sukapura Kanjeng Wiradaningrat senenag ibing lemes atau ladak dalam lagu Wani–wani.
Tayub atau Ibing Sunda untuk hiburan kasugemaan, agar ada pendamping dalam menari ada juru tari lebih dikenal Ronggeng.
Ronggeng pada jaman itu tugasnya menjadi Sinden (juru kawih) sambil menari. Pada waktu menari suka disediakan makanan dan minuman yang memabukan, banyak para penayub yang mabuk.
Setelah para ahli Seni Tayub Ibing Sunda diperbaharui karena banyak mengganggu dalam pelaksanaannya. Dengan jasa para peneliti diantaranya: R Gandakusumah dengan sebutan Aom Doyot, Camat dari Lewiliang, Tayub Ibing Sunda di lemesan. Antara lain, penari temenang mabok, Juru kawih (sinden) harus duduk, juru tari (ronggeng) dikhususkan dan minuman yang memabukan temenang disadiaken,namun sekitar tahun 1963 ternyata minuman keras masih dihidangkan karena merupakan penghormatan kepada para penayub.
2. WADITRA TAYUBAN (SENI TAYUB)
1. Rebab
2. Gendang
3. Saron Bayun (Nembalan pangkat lagu/panyaruk)
4. Gambang
5. Penerus.
6. Peking
7. Bonang
8. Rincik (salukat)
9. Jenglong
10. Ketuk (Cangkung)
11. Goong besar
12. Goong kecil (kempul)
13. Beri
14. Selentrem
15. Kecrek.
3. JURU WIYAGA
Juru Wiyaga pada Tayuban disebut Panayagan dari kata Panayogena yang artinya seragam. Panayagan. Panayagan Tayuban sesuai dengan waditra yang tersedia.
4. BUSANA (PAKAIAN TAYUBAN)
a. Pakaian Juru Wiyaga seragam Jas Tutup.
b. Pakaian laki–laki para menak atau priyayi jas tutup atau takwa dan kebawahnya disinjang (kain), sedangkan tutup kepala memakai bendo atau udeng.
5. LAGU DAN TARIAN TAYUB
a. Lenyepan.
b. Kering I, Kering II.
c. Jeledra.
d. Gawil.
e. Dermayonan
g. Kembang Jarak.
h. Badud
i. Malo
j. Kalkum Gaplek, dan sebagainya.
k. Polos Tomo
l. Geboy
m. Genjreng
n. Banjaran
o. Kulu–kulu bem
p. Kulu–kulu gancang
q. Serenet
r. Kacang asin
6. PEMENTASAN TAYUBAN
Pelaksanaan Ibing Tayuban digelar pada acara selamatan masarakat seperti Khitanan, pernikahan, dan ulang tahun peringatan kenegaraan.
Jalanya pertunjukan atau pelaksanaan supaya teratur maka dipandu oleh panitia dan juru baksa.
Sebelum acara dimulai terlebih dahulu orang yang dituakan memohon do’a kepada yang Maha Kuasa dengan membakar kemenyan dan menyajikan sesajen.
Adapun sesajen yang bisa disajikan di antaranya :
1. Puncak manik (nasi congcot yang di atasnya disimpan telur ayam kampung)
2. Bakakak ayam.
3. Deuweugan (kelapa muda).
4. Kupat, lepet tangtang angina.
5. Rujak cau rujak kelapa , rujak asam, cikopi manis pait
6. Cerutu dan tektek atau sirih serta lain–lainnya lagi.
Di lingkungan Tayuban atau di balandongan, di tiang balandongan suka dipasang dedaunan sebagai berikut;
a. Daun Palias yang mengandung makna filosofis dalam bahasa sunda, palias teiung lamun terjadi yang tidak diharapkan, mohon supaya aman dan tentram.
b. Daun Darangdan , mengandung makna dalam basa sunda dangdanan pakaian harus pantas, kita harus kuat iman atau mental dalam dangdanan hidup.
c. Daun Jawer Kotok, mengandung makna penglihatan harus obyektif harus bersifat adil dan jujur (ulah kotoken)
d. Daun Beringin, mengandung makna bawa para pemimpin harus mampu memberikan kesejukan kepada rakyat kecil, bisa dipakai naungan dan perlindungan.
Aluran pementasan Tayuban dari sejak jaman dahulu sampai sekarang masih dilaksanakan sebagai berikut :
a. Upacara, pada acara selamatan suka ada sambutan dari atas nama yang punya hajat dan sambutan dari pemerintah.
b. Pada acara peringatan kenegaraan , sambutan hanya disampaikan pihak pemerintah saja
c. Pembukaan pentas seni Tayuban ( Wawayangan)
1. Menyanyikan lagu-lagu hormatan kepada leluhur (karuhun) pada dasarnya untuk mengenang kepada jasa-jasa para leluhur yang telah meninggal dunia (wafat).
2. Adapun lagu-lagu yang biasa disajikan diantaranya:
a. Kembang gadung
b. Kembang Beureum
c. Titi Pari dan lagu lainnya sesuai dengan kebiasaan daerahnya.
d. Tatakrama dalam tari serta urutan pembagian soder disampaikan dan diaturoleh juru baksa :
1. Jurubaksa dengan didampingi juru tari (ronggeng) memberikan baksa kepada
tamu undangan (para penari) dengan alat Bantu karembong di atas baki, dengan piringan macan Ucul. Adapun pembagian baksa berurutan dari yang paling tua sampai yang paling muda atau sesuai dengan pangkat atau golongannya. Begitu pula juru soder tidak boleh sembarangan, harus sesuai dengan level atau tingkatan orang yang akan diberi soder.
2. Jurubaksa ada beberapa tingkatan, biasanya meneyediakan tiga tingkatan juru baksa atau dua tingkatan.
a. Jurubaksa untuk golongan priyayi atau menak serta para saudagar.
b. Jurubaksa untuk masyarakat biasa baik untuk kaum tua dan kaum muda.
3. Orang yang telah menerima soder dari juru baksa biasanya mendekatitukang gendang (juru gendang) untuk meminta lagu yang diminatinya dan langsung membelakang panayagan dengan selendang berada di puncak sampai selesai menari
4. Yang tidak senang menari cukup berdiri atau diwakilkan kepada orang lain tetapi tetap memberi uang kepada juru tari dan panayagan (masak dalam basa Sunda)
5. Untuk yang ikut mairan diatur oleh juru baksa dengan memberikan minuman (pada jaman dulu minuman keras)
6. Tingkatan para pemair baik usia maupun levelnya disesuaikan dengan orang yang punya soder dan banyaknya pemair dibatasi paling banyak tiga orang.
7. Posisi pemair waktu akan ikut mairan ada di depan orang yang punya soder dengan adegan hormat (rengkuh kedua tangan ke depan dan kedua jempol didekatkan).
8. Gerakan menari pemain tidak boleh melebihi yang punya soder kecuali diberi kesempatan pada lagu (tanda tarik) seperti lagu kembang jarak atau dermayon, juru tari pada awalnya ada dihadapan orang yang punya soder.
9. Selesai menari para penari duduk kembali ke tempat duduk semula dan soder tetap dipakai sampai ke tempat duduk (maksudnya agar juru tari tidak usah ragu kepada siapa mengambil uang dan soder dibawa oleh juru tari disimpan ke tempat semula di atas baki).
10. Juru tari mengambil uang dengan pirigan lagu asal tadi waktu menari kulu-kulu
11. Lagu-lagu dalam tayuban disesuaikan dengan kegemarannya gerakan tari sederhana tidak ada patokan, kecuali setelah ada perkembangan
12. Berdasarkan penelitian sekitar tahun 1918 para inohong topeng Cirebon diantaranya Bapak Wentarm dan BapakKoncer seperti diceritakan oleh Bapak R. Tjetje Somantri pada buku Budaya, para inohong topeng telah ada di Bandung (Jawa Kulon) untuk mengembangkan tari Topeng (ngamen). Pada kesempatan itu banyak para priyayi yang memanfaatkan tariTopeng untuk melengkapi tari Tayub menjadi tari Keureusan (Ibing Keureus) seperti lenyepan.
7. PERKEMBANGAN TAYUBAN
Pada tahun 1952 mulai adaperkembangan Tayuban (Tari Tayub) di Kabupaten Sumedang,terutama di wewengkon Garut, Subang, Sumedang dan daerah lainnya.
Setelah masuk ke daerah masing-masing, Tayuban mempunyai ciri khas tersendiri seperti di Kabupaten Sumedang tepatnya di desa Pajagan Kecamatan Cisitu Situraja, dan Tayuban ini merupakan seni paling merakyat sampai sekarang diminati oleh semua kalangan.
Pakaian dan tatakrama pada seni Tari Tayub ini sudah banyak perubahan yang drastis akibat arus jaman yang terus meningkat. Tatakrama sudah jauh menurun, para penari Tayub tidak pilih bulu baik jabatan, usia,pangkat dan sebagainya.
Pakaian laki-laki sudah tidak disinjang lagi atau dibendo, sekarang cukup memakai celana panjang dan baju biasa.
Dalam pelaksanaan Tayuban banyak pelengkap-pelengkap supaya tayuban
lebih meriah dengan menggantungkan bermacam-macam hasil bumi rakyat di balandongan.
Khusus untuk para penayub disediakan gantungan pisang dan makanan lainnya untuk dibawa pulang dipagi hari setelah selesai pertunjukan. Sisiran pisang yang digantungkan tidak kurang dari lima sisir pisang, setiap penayub kebagian satu sisir pisang yang sudah bernomor sesuai dengan nomor kebagian soder.
Untuk panayaga pun dipersiapkan gantungan di atas panggung sebagai oleh-oleh dimana bubaran panggung.
Pada waktu kegiatan di malam hari biasa diberikan jamuan makan malam dan makanan ringan, makanan ringan disajikan antara jam 21.00 atau jam 22.00 WIB sedangkan makan malam antara jam 00.00 s.d jam 01.00 dengan istilah turun kokoh.
Sampai jam 04.00 acara Tayuban selesai ditutup dengan kebo jiro dan panitiaan balandongan membagikan gantungan kepada para penayub untuk di bawa pulang ke rumahnya masing-masing.