Nandang Sukanda/"PR" |
Dalam bahasa Sunda, kata “munggah” berarti “naik’ dan mengandung makna “peningkatan” atau “perubahan”. Budayawan Usep Romli mengatakan, dalam konteks menyambut Ramadan, munggah berarti menuju peningkatan demi mencapai tahap yang lebih baik. Apalagi, didalam Surat Albaqarah ayat 183 disebutkan, Ramadan – melalui perintah saum – akan menjadikan orang-orang mukmin mencapai tingkat taqwa. “Urgensinya, ketika masuk ibadah saum, kita sudah siap lahir dan batin karena sudah dibersihkan waktu munggah itu,” ujarnya.
Di dalam syariat Islam, tradisi munggah sebenarnya tidak dikenal. Di arab Saudi, masyarakat hanya memiliki kebiasaan membaca doa melihat hilal menjelang datangnya bulan Ramadan, itu pun dilakukan secara perseorangan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dengan kata lain, tradisi munggah, termasuk takbir keliling dan mamaleman (“mencari” Lailatulkadar), hanya tradisi lokal yang dipadukan dengan unsur religius islam. Usep menyebutkannya sebagai transformasi dan variasi budaya sebagai bentuk “lokalisasi Islam”
Hal itu dibenarkan oleh budayawan Jakob Sumardjo. Menururt dia, sejumlah kegiatan dalam tradisi munggah merupakan kegiatan yang sebenarnya dilakukan pada upacara yang bermakna “manunggal dengan nenek moyang” pada zaman purba. Sisa-sisa upacara itu masih lestari dalam bentuk bersih desa, ngalaksa, seren taun, ngarot, dan sejenisnya. Dalam upacara-upacara semacam itu, dilakukan penyatuan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam sebagai makrokosmos dan arwah nenek moyang berupa mitos, mitos sebagai metakosmos.
Rangkaian upacara dari mulai mandi bersama (bersih badan). Pantang dan puasa, ziarah kubur, seni pertunjukan yang mementaskan kisah mitologi nenek moyang pendiri wilayah, dan akhirnya makan bersama atau kenduri. Tempatnya bisa di tanah lapang balai desa, leuwi, mata air, bisa juga diperkuburan desa. Pada upacara-upacara tahunan seperti itulah semua penduduk kampung berkumpul.
Sewaktu agama Islam masuk Indonesia, tradisi lama itu kemudian disesuaikan dengan kepentingan Islam. Soalnya, jika tak dilakukan, masyarakat akan merasa ada sesuatu yang hilang dari bagian dirinya sebagai kelompok. Momentum yang tepat untuk pelaksanaan upacara pun bergeser. Bukan lagi pada saat panen, melainkan menjelang bulan Puasa dan Lebaran. Artinya, kedua momentum itu dianggap sama istimewanya dengan waktu panen.
Seperti mudik, munggah akan selalau menjadi tradisi yang istimewa karena, entah mengapa, selalu sukses memunculkan suasana religius yang haru dan romantis serta rasa rindu terhadap “rumah”. Selain sejarah yang panjang mengenai tradisi itu, mungkin kesan itulah yang membuat munggah masih eksis dalam peradaban umat Islam Indonesia.
Sumber: Lia Marlia/”Pikiran Rakyat”
Marhaban ya Ramadhan