Suatu kenyataan yang sangat memprihatinkan apabila warisan budaya sebagai peninggalan karuhun nenek moyang masa lampau kalah oleh kepentingan “ekonomi”. Padahal, budaya nenek moyang yang ditengarai lebih berharga dan tidak bisa dinilai dengan materi semata. Jejak beberapa kabuyutan peninggalan sejarah serta budaya masa lampau, seperti Situs Rancamaya Bogor, Pasir Ringgit Selareuma, Gunung Lingga, Gunung Tampomas; Kabuyutan Kawali, Karangkamulyan, Gunung Padang, Cicanting Darmaraja, dan Tangkuban Parahu masih bisakah diselamatkan?
Pakar arkeologi Sunda, Ayatrohaedi menyatakan, ciri-ciri kabuyutan di Tatar Sunda tidak harus ditandai adanya artefak. Menurut dia, “Bangunan suci masyarakat Tatar Sunda tidak selalu harus diidentifikasi sebagai bangunan dengan artefak atau struktur seperti bangunan suci yang dimengerti masyarakat umumnya (candi) atau bangunan lengkap dengan fondasi, dinding, dan atap. Melainkan, lahan bukit alam atau dibuat lambang suatu bukit (bukit buatan=gugunungan) dengan vegetasi hutan yang dibiarkan tumbuh alami….”
Kabuyutan Pasir Ringgit Selareuma, misalnya, jika dilihat dari sistem tata ruang kosmologi Sunda secara mulitidisipliner serta dihubunkan dengan kabuyutan-kabuyutan yang terletak di sekeliling termasuk bentang karuangan Kabupaten Sumedang, bukan saja dalam konteks budaya materialistik, tetapi dalam cakupan yang lebih luas, yaitu dalam tatanan budaya ideliastik.
Pasir ringgit Selareuma merupakan bagian dari satu tatanan kosmologi Sunda secara kasajagatan yang tidak hanya berdekatan dalam hal keruangannya (space), tetapi juga memiliki kedekatan dalam bentuk (form)dan waktu (time) yang terindetifikasi dalam Naskah Putu Sangkara, Naskah Carita Ratu Pakuan, dan sejarah Kebudayaan Sumedanglarang (masa Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung abad ke -8 dan ke ke-9 Masehi). Dalam hal ini, sama seperti bentuk-bentuk kabuyutan di seluruh wilayah Sumedang yang mengacu pada bentuk budaya tradisi megaliti, seperti Kabuyutan Gunung Lingga dan Gunung Tampomas. Kosmologi Sunda secara kasajagatan yang tercermin dalam tradisi naskah dan folklor, menjadi acuan manakala karuhun Sunda membangun keraton, hunian masyarakat, pusat upacara keagamaan, dan bangunan suci lainnya.
Kabuyutan Pasir Ringgit Selareuma dalam persprektif kasajagatan termasuk salah satu kabuyutan yang unik. Dilihat dari keadaannya, bukan kebetulan semata, tetapi karena adanya sentuhan tangan manusia yang berfungsi sebagai patilasan dan “pusat spiritual”. Pasir Ringgit Selareuma dengan keberadaan dan kandungan sumber daya alamnya berupa batu-batu tonggak tersusun rapi dengan kemiringan 60 derajat ke arah timur, terletak di lingkungan pegunungan, termasuk rangkaian Dataran Tinggi Parahyangan yang merupakan benteng pakidulan dan kawasan hulu (girang) aliran sungai-sungai di Tatar Sunda. Secara alamiah, aliran (sungai) Cipeles bermuara ke timur yakni Cimanuk.
Semua tatanan fisiografis terebut bukan kebetulan semata. Pasir Ringgit Selareuma secara kesajagatan beroreintasi ke timur karuhun yang mengawali kehidupan selaras tataram waktu. Sejarah mencacat raja-raja Sumedang keturunan raja-raja yang berjaya di masa lampau berpusat di wetan/timur, yakni Kerajaan Talaga. Batu tonggak yang tersusun rapi tersebut sebagian besar menunjukkan ciri khusus, yakni bagian badan yang diletakan di bawah (di atas tanah) menunjukan permukaan yang rata, sedangkan bagian badan mendongak ke atas berpermukaan kerucut semu “seperti bekas dipangkas kasar”. Hal itu berkelindan erat dengan pola alami bahan bangunan yang secara umum ditemukan pada sebagian besar kebuyutan di Tatar Sunda khususnya yang mengambil corak tradisi Megalitik.
Ditemukannya paseuk semacam lingga di puncak Bukit Pasir Ringgit Selareuma dan bekas undak-undak semacama tangga menuju puncak Pasir Ringgit beserta lorongnya, jelas-jelas karena sentuhan tangan manusia sejak zaman leluhur masyarakat setempat (lebih dari lima puluh tahun).
Pasir Ringgit Selareuma adalah kabuyutan, sebagaimana tertuang dalam sumber tertulis (naskah) dan tradisi lisan (folklor). Kabuyutan adalah mandala kerajaan sehingga setiap kerajaan selalu memilikinya. Oleh karena itu kabuyutan disebut dalam teks naskah Amanat Galunggung; "Kabuyutan ti Galunggung sebagai timbang taraju jawadwipa mandala."
Pasir Ringgit Selareuma bagi masyarakat Sumedang merupakan cadas nangtung nu ngajadi ciriwanci Sumedanglarang. Selaras dengan yang teridentifikasi dalam naskah kuno Purasangkara. Cerita Ratu Pakuan dan Sejarah Sumedanglarang pada masa Prabu Gajah Agung yang harus menemukan Batu Nangtung di tepi Suungai Cipeles sebagai prasyarat berdirinya ibu kota Sumedanglarang ke-2 setelah masa Prabu Tajimalela, sebagai rangkaian fakta sejarah yang sangat penting, baik secara lisan maupun tulisan.
Bukti lain bahwa lokasi Pasir Ringgit Selareuma merupakan kabuyutan dengan adanya kuncen sebagai pemelihara secara turun-temurun (terakhir Bapak Ending pada 1998) yang mengisyaratkan bahwa lokasi tersebut sangat penting bagi masyarakat setempat, masyarakat Sumedang, dan masyarakat Sunda pada umumnya.
Dengan demikian, Kabuyutan Pasir ringgit Selareuma ditinjau dari perspektif kasajagatan jelas merupakan situs yang selayaknya diraksa, diriksa, tur dimumule segenap masyarakat Sunda yang eungeuh dan peduli terhadap warisan karuhun-nya, jangan sampai disia-siakan. (Elis Suryani N.S., dosen dan peneliti Unpad. /”PR”)
“Kabuyutan” di Dalam Perspektif “Kasajagatan”
pepep [saukur dogdong pangrewong]
neundeun
judul : “Kabuyutan” di Dalam Perspektif “Kasajagatan”
url : http://archive69blog.blogspot.com/2010/11/kabuyutan-di-dalam-perspektif.html?m=0
neundeun
judul : “Kabuyutan” di Dalam Perspektif “Kasajagatan”
url : http://archive69blog.blogspot.com/2010/11/kabuyutan-di-dalam-perspektif.html?m=0