Api cepat membesar karena 39 rumah itu terbuat dari bambu dan kayu dengan atap ijuk. Titik api berawal dari suatu rumah. Saat itu, penghuninya sedang membuat tape pisang di halaman. Api dari lubang pembuatan tape menjalar ke rumah.
Situs Rumah Adat Cikondang (foto: Pikiran Rakyat)
“Entah kenapa api malah padam saat merambat ke rumah ini. Itu salah satu bukti kekuasaan Allah swt,” tutur juru kunci Situs Rumah Adat Cikondang, Anom Juhana (67), saat dijumpai di lokasi rumah adat, Sabtu (22/2/2014).
Keberadaan Rumah Adat Cikondang merupakan saksi bisu kearifan lokal dan kebudayaan warga ketika itu. rumah panggung bermaterialkan bambu dan kayu menjadi simbol bahwa warga bisa hidup berdampingan dengan alam.
Model rumah panggung membuat keseimbangan alam karena lahan yang terpakai bangunan hanya sedikit. Warga pun yakin, rumah panggung membaut warga terhindar dari penyakit karena tidak lembab.
Dari segi kearifan lokal dan kebudayaan, Juhana menuturkan, warga sangat menjaga kesucian rumah. Tanpa terkecuali, bagi istri atau anak perempuan dewasa penghuni rumah.
Saat haid, penghuni perempuan tidak boleh memasuki ruangan utama rumah. Perempuan yang sedang haid, melakukan segala pekerjaan rumah dan tidur di sekitar bale.
Pada ruangan utama rumah, Juhana menuturkan, hanya ada ruang tengah, kamar, dan goah (ruang penyimpanan). Untuk menerima tamu, dilakukan di bangunan yang terletak beberapa meter dengan rumah utama dan disebut bale paseban.
Rumah Adat Cikondang telah mendapat pengakuan dari Pemkab Bandung sebagai situs cagar budaya. Lantaran bernilai sejarah dan budaya.
Rumah adat sering juga didatangi peziarah untuk bertawasul, mendoakan para leluhur agar diberikan keselamatan akherat oleh Allah swt. Peziarah dan peneliti tidak boleh hadir pada Senin, Selasa dam Jumat. Bagi peziarah perempuan tidak boleh masuk ke lingkungan rumah adat saat haid.
Setiap 15 Muharam, ada ritus tasyakur di Rumah Adat Cikondang. Pada ritus itu, warga bergotong royong membuat tumpeng lulugu dan tumpeng untuk dimakan bersama.
“Tumpeng lulugu, memiliki tiga congcot, ada yang terbuat dari beras biasa, beras ketan, dan beras huma. Filosofi setiap congcot, yakni mengingatkan manusia supaya membersihkan hati, berinisiatif berbuat kebaikan, dan menjauhi sifat serakah,”tutur Juhana.
Sumber: Satira Yudatama/*Pikiran Rayat* Senin, 24 Februari 2014