RETNO HY/PR |
Kesenian tradisional rengkong hatong yang pernah hidup di masyarakat agraris Bogor, Cianjur, dan Sukabumi pada awal tahun 1900-an digelar di Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat (BPTB Jabar), Bnadung, Sabtu (29/9) malam. |
Pergelaran kesenian rengkong hatong diawali dengan “kidung bubuka” yang dibawakan oleh sesepuh kampung atau orang yang dituakan. Seusai semua doa dan pujian dipanjatkan, kaum pria yang membawa geugeusan (ikatan) padi dengan menggunakan rengkong (bambu pemikul) berjalan perlahan.
Gesekan tambang dari ijuk dengan bambu pemikul menimbulkan suara sangat seperti katak sedang bercengkerama. Tidak lama bersama dengan semakin ramainya suara rengkong, beberapa pria lainnya yang mendampingi wanita membawa air dari wadah bambu (bumbung) padi dengan menggunakan hatong, hingga menimbulkan suara saling bersautan.
Bah Mahat (kelahiran 1923) yang sudah memainkan seni rengkong hatong sejak usia 15 tahun. Menuturkan bahwa rengkong hatong berasal dari dua kata yaitu, rengkong dan hatong. Rengkong adalah sejenis alat yang digunakan untuk mengangkut padi yang berbentuk tanggungan (pemikul) terbuat dari bambu guluntung (satu batang utuh) dengan panjang sekitar 2,8 m dan ukuran lingkaran 30 cm.
Sedangkan hatong adalah sejenis alat tiup yang terbuat dari bambu tamiang, terdiri atas beberapa ruas yang disusun menjadi sebuah alat tiup. Biasanya untuk kesenian rengkong hatong, dipergunakan dua hatong dengan tiga bambu tamiang berukuran 5 hingga 8 cm sebagai nginungan, tiga hatong dengan 12 bambu sebagia dalang, serta goong bumbung yang berfungsi sebagai gong.
Seperti kesenian rengkong pada umumnya, rengkong hatong juga berfungsi sebagai sarana upacara ritual mengarak padi dari sawah ke lumbung. Biasanya digunakan saat tradisi pesta panen, yaitu bentuk kegiatan untuk menghormati Dewi Sri.
Rengkong digunakan untuk mengantarkan padi dari sawah ke lumbung atau alat yang digunakan untuk mengangkut padi dari sawah ke lumbung (tempat penyimpan padi). Sedangkan hatong adalah alat tiup uang terbuat dari bahan bambu tamiang yang berfungsi sebagai musik mengiring dan juga sebagai pengusir hama.
Sebelum dilaksanakan upacara mengangkut biasanya suka diadakan dahulu upacara ritual mipit yaitu dengan cara menyajikan sesajen rurujakan.
Tradisi dilakukan berharap pada keridaan alam akan tanaman padi yang hendak dipanen memilki manfaat dan diberkahi oleh Mahakuasa melalui Dewi Sri (Dewi padi). Dengan demikian, berkah itu sampai kepada tanah, air, tumbuhan padi dan manusia.
Sumber: Retno HY/”Pikiran Rakyat”***